Floresa.co – Umat Katolik Keuskupan Labuan Bajo merespons surat gembala uskup mereka yang menyinggung “pertobatan ekologis” sebagai perjalanan menyongsong Paskah tahun ini, menilainya belum sepenuhnya menjawab keresahan mereka.
“Setiap tahun kami mendapat surat gembala, tapi apa yang sudah dilakukan Gereja dengan kami hingga saat ini?,” kata Heri Jem, warga Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo dan umat Paroki Roh Kudus Labuan Bajo.
“Kami belum mendapat respons Gereja terhadap penguasaan lahan oleh Badan Pelaksana Otoritas Pariwisata Labuan Bajo-Flores [BPO-LBF],” tambahnya.
Selama beberapa tahun terakhir, Heri bersama warga lainnya dari Komunitas Racang Buka berjuang melawan alih fungsi Hutan Bowosie untuk proyek pariwisata karena sebagian dari lahan itu telah mereka kuasai bertahun-tahun.
BBPO-LBF mengelola 400 hektare lahan di kawasan itu setelah mendapat karpet merah penguasaannya dari Presiden Joko Widodo lewat Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2018.
BPO-LBF, yang sejak 2021 statusnya menjadi Badan Layanan Umum, telah menamai kawasan itu sebagai Parapuar dan memasarkannya kepada para investor.
Dalam sebuah pernyataan saat ke Labuan Bajo pada April 2023, Sandiaga Salahuddin Uno yang kala itu menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menargetkan investasi Rp800 miliar di Parapuar.

Pesan Uskup Labuan Bajo
Ensiklik Laudato Si dari Paus Fransiskus yang terbit pada 2015 menjadi titik tolak mengenai perjalanan pertobatan ekologis yang disinggung Uskup Maksimus Regus dalam suratnya.
“Dalam keheningan perjalanan puasa dan sukacita menyambut terang Paskah, kita mengisi pertobatan ekologis ini dengan ‘merawat ciptaan’ sekaligus ‘menghadirkan harapan’ di tengah ancaman krisis ekologis dan kehidupan yang semakin nyata,” tulisnya.
Dalam surat itu, tak hanya mengajak umat untuk merenungkan tema umum ‘pertobatan ekologis’, uskup pertama di keuskupan yang terbentuk tahun lalu itu secara spesifik mendorong “pariwisata berkelanjutan: ekonomi dan ekologi sejalan, dan seruan menolak geotermal.”
Pada poin pertama, ia menyoroti pariwisata Labuan Bajo yang hanya dapat berkembang jika didukung oleh ekosistem yang sehat dan berkelanjutan.
“Jika pembangunan tidak memperhitungkan keseimbangan ekologis, maka sektor pariwisata akan menghadapi ancaman serius,” katanya.
Lebih lanjut Maksimus menyebut pariwisata yang mengabaikan kelestarian alam akan membawa bencana, baik dalam bentuk kerusakan lingkungan, meluasnya ketidakadilan ekonomi, maupun konflik sosial.
Dalam konteks pariwisata, tulisnya, orientasi keuntungan ekonomi semata tanpa memperkuat basis keberlanjutan hanya akan mempersiapkan bahaya bagi generasi masa depan.
Heri, yang konsisten menolak untuk pindah dari tempat tinggal mereka di tepi Hutan Bowosie berkata, Gereja dan pemerintah mestinya sudah lama membuka mata melihat persoalan utama kerusakan alam di Labuan Bajo.
Ia menjelaskan, salah satu penyumbang kerusakan Hutan Bowosie adalah karena pemerintah pusat memberikan “karpet merah” bagi BPO-LBF untuk mendatangkan pemodal yang secara leluasa menguasai alam dan ruang hidup yang sebagiannya sudah ditempati warga.
“Saya meminta uskup dan pemerintah daerah segera mendesak pembubaran BPO-LBF karena banyak merugikan kami selama ini,” kata Heri kepada Floresa pada 4 April.
Sementara pariwisata yang dianggap membawa keuntungan bagi warga hanyalah isapan jempol, sebab “faktanya mereka yang punya modal saja yang menikmati, bukan warga lokal.”
Karena itu, Keuskupan Labuan Bajo “jangan menutup mata” dengan hanya mengeluarkan surat gembala, tetapi juga melihat langsung keadaan dan situasi masyarakat.
“Kalau persoalan pariwisata ini tidak serius diindahkan, jangan-jangan Gereja ‘bermain mata’ dengan pihak investor. Apa gunanya pariwisata kalau merugikan masyarakat kecil?” kata Heri.
Persoalan Lingkungan di Labuan Bajo
Simfroanus Gusti, Anggota Lembaga Pengembangan Pariwisata dan Desa Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia atau PMKRI Labuan Bajo berkata, surat gembala uskup masih belum spesifik menyebut beberapa lokasi di Labuan Bajo yang kini tengah mengalami persoalan.
Sama seperti Heri, menurut Gusti, Gereja perlu memberi penekanan khusus pada persoalan deforestasi di Hutan Bowosie.
“Saya berharap Gereja bersama pemerintah daerah mempertimbangkan kembali keberadaan lembaga BPO-LBF di Manggarai Barat dan segera melakukan reboisasi di kawasan Hutan Bowosie,” katanya kepada Floresa pada 4 April.
Ia juga berharap Keuskupan Labuan Bajo berkontribusi terhadap kajian yang objektif terkait persoalan pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata yang berhubungan langsung dengan masyarakat.
“Keuskupan Labuan Bajo bisa kaji privatisasi pantai, pembangunan hotel dan resto yang merusak lingkungan, pembatasan ruang gerak masyarakat di Pulau Komodo dan polemik pembangunan jalan ke kawasan Golo Mori,” katanya.
Sementara Doni Parera, salah satu aktivis di Labuan Bajo berkata, ‘pertobatan ekologis’ yang digaungkan Keuskupan Labuan Bajo tidak relevan dengan pembangunan di wilayah itu jika tidak ditindaklanjuti dengan aksi nyata oleh para imam se-keuskupan.
Kondisi di Labuan Bajo saat ini,“ibarat orang yang sedang mati perlahan karena minum racun, tapi berharap dirinya sehat dan bugar,” katanya.
“Semua sadar kalau keindahan dan kekayaan alam kita adalah daya tarik utama bagi pariwisata. Tapi, lihat bagaimana kita perlakukan alam?” kata Doni pada 4 April.
Ia mencontohkan beberapa kasus yang “terjadi akibat ulah oknum yang merusak keindahan alam Labuan Bajo, seperti mangrove pada zona penyangga ditebang untuk kepentingan investor dan perburuan satwa dalam kawasan Taman Nasional Komodo terus terjadi.”
“Ruang hidup komodo dipersempit dengan kehadiran investor dan aktivitas manusia untuk keuntungan usaha,” kata Doni, menyinggung soal izin pembangunan hotel dan resort di wilayah taman nasional.
Dalam kasus Hutan Bowosie, Doni berkata “dampak penyerobotan hutan yang dibuat legal oleh pemerintah demi kepentingan investor langsung ditunjukkan dengan petaka banjir, namun tetap dilanjutkan.”

Ia juga menyinggung kasus penambangan ilegal pasir laut di Pelabuhan Multipurpose Wae Kelambu di sebelah utara Labuan Bajo untuk proyek milik Mawatu Resort, yang hingga kini proses hukumnya belum jelas.
Bahkan, Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi menyatakan langkah Mawatu mereklamasi pantai, kendati mengambil pasir laut secara ilegal, adalah tidak haram.
“Sikap pemerintah kompromi dan mendukung pengrusakan alam demi kepentingan investor ini berbanding terbalik dengan upaya mereka yang getol melirik tiap potensi pungutan dari usaha pariwisata,” kata Doni.
“Mulai dari level pusat sampai tingkat desa, berupaya mendapat kue paling enak dari usaha jasa pariwisata. Namun, tidak ada yang mampu bertindak tegas terhadap pengrusakan sumber daya alam kita,” tambahnya.
Apa Kata Warga Wae Sano?
Dalam surat gembala itu, Uskup Maksimus juga menyerukan menolak “beban eksploitasi sumber daya yang tidak seimbang bagi wilayah kecil seperti Flores, yang justru mengancam masa depan generasi kita.”
Ia menyatakan “menolak eksploitasi energi dan sumber daya alam tanpa batas, termasuk rencana eksplorasi dan eksploitasi geotermal, karena dampaknya dapat merusak keseimbangan ekologis di daerah yang kecil ini dan sekaligus berdampak pada suasana sosial budaya.”
Maksimus pun mendukung secara penuh usaha dan langkah pemerintah daerah memperjuangkan keadilan ekonomi bagi masyarakat lokal dari keuntungan industri pariwisata.
Selain itu, ia mengajak semua pihak menjaga lingkungan hidup dengan tindakan konkret seperti mengurangi sampah, menanam pohon menjaga sumber air, dan aksi-aksi ekologis lainnya.
Ia juga mengajak untuk “mengedukasi generasi muda agar memiliki kesadaran ekologis yang tinggi.”
Seruan penolakan geotermal muncul usai Uskup Maksimus bersama lima uskup se-daratan Flores dan Bali mengikuti ‘Sidang Tahunan Para Uskup Provinsi Gereja Ende’ di Seminari Tinggi Santu Petrus Ritapiret, Maumere pada 10—13 Maret 2025.
Dalam pertemuan itu, mereka meneken pernyataan menolak proyek geotermal yang tertuang dalam ‘Surat Gembala Pra-Paskah Para Uskup Provinsi Gerejawi Ende’.
Rofinus Rabun, warga Wae Sano yang termasuk Paroki St. Mikhael Nunang mengapresiasi langkah Uskup Maksimus Regus yang bertekad menolak proyek geotermal di wilayah keuskupan itu.
Wae Sano di Kecamatan Sano Nggoang, sekitar 34 kilometer sebelah timur Labuan Bajo, menjadi satu-satunya titik lokasi rencana proyek geotermal di Manggarai Barat.
Pada Januari lalu, PT Geo Dipa Energi yang mengerjakan proyek itu menyatakan akan melanjutkannya setelah vakum beberapa tahun terakhir karena penolakan warga.
Menurut Rofinus, dalam kurun waktu kurang lebih delapan tahun terakhir warga yang tergabung dalam kelompok masyarakat adat menolak keras proyek itu karena “mengganggu ruang hidup kami.”
“Kami seperti berjalan sendiri dan hanya sedikit yang peduli terhadap perjuangan kami. Kami juga pernah dicap bodoh serta dianggap tidak menjemput kemajuan,” kata Rofinus kepada Floresa 4 April.

Namun, “saat mendengar Surat Gembala Prapaskah Uskup Labuan Bajo, hati kami sangat senang karena ternyata perjuangan kami didukung oleh Gereja,” kata Rofinus.
Ia pun berharap agar para imam yang selama ini masih mendukung dan memilih diam terhadap rencana eksplorasi dan eksploitasi geotermal mendukung posisi warga.
“Mari kita bersama sama menjaga bumi, sebagai ibu kita bersama. Buat yang memilih diam, bersuaralah demi menjaga bumi ibu kita,” kata Rofinus.
Sebelumnya, saat wilayah itu masih tergabung dalam Keuskupan Ruteng, Uskup Siprianus Hormat merekomendasikan agar proyek itu dilanjutkan dengan mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo pada 2020, hal yang memantik kemarahan dan protes umat.
Sementara Yosef Erwin Rahmat, warga Wae Sano lainnya berkata, “selama ini kami menunggu sikap Uskup Labuan bajo secara khusus dan ternyata hari ini sudah menyatakan sikapnya.”
Editor: Anno Susabun