Floresa.co – Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat ikut menandatangani pernyataan bersama para uskup lain di wilayah Nusa Tenggara-Bali yang salah satunya menolak eksploitasi sumber daya alam yang merusak dan menyebut ‘geotermal bukan pilihan.’
Sebelumnya uskup itu menjadi sasaran kritik karena mendukung geotermal dan diam terhadap represi yang dialami umatnya karena menentang proyek.
Pernyataan itu tertuang dalam ‘Surat Gembala Pra-Paskah Para Uskup Provinsi Gerejawi Ende’ yang salinannya diperoleh Floresa pada 20 Maret.
Surat itu diteken dalam ‘Sidang Tahunan Para Uskup Provinsi Gereja Ende’ di Seminari Tinggi Santu Petrus Ritapiret, Maumere pada 10—13 Maret 2025.
Para uskup yang meneken surat itu adalah Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD; Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung; Uskup Maumere, Mgr. Martinus Ewaldus Sedu; Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat; Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus dan Uskup Denpasar, Mgr. Silvester San.
Mereka menyatakan dalam surat itu bahwa “Kristus datang membawa hidup berkelimpahan.”
“Namun, realitas menunjukkan banyak saudara kita menghadapi ancaman. Dalam semangat persaudaraan, kami menyampaikan keprihatinan mendalam atas beberapa persoalan mendesak,” tulis para uskup.
Pernyataan menolak proyek geotermal muncul dalam poin pertama surat itu, dengan ajakan untuk “memilih masa depan secara bijaksana.”
“Eksploitasi sumber daya alam, termasuk energi geotermal di Flores dan Lembata, menimbulkan pertanyaan: Apakah kita membangun masa depan yang lebih baik atau justru merusaknya?”
Para uskup menyatakan Pulau Flores dan pulau-pulau kecil lainnya memiliki ekosistem yang rapuh dan berisiko besar, sehingga eksploitasi yang tidak bijaksana, termasuk proyek geotermal berdampak pada lingkungan, ketahanan pangan, keseimbangan sosial dan keberlanjutan kebudayaan.
Penolakan terhadap geotermal, kata mereka, berangkat dari sejumlah persoalan yang muncul dari rencana eksplorasi dan eksploitasi geotermal di Flores dan Lembata, “dengan topografinya yang dipenuhi gunung dan bukit dan sumber mata air permukaan yang amat terbatas.”
Selain itu mereka menilai kebijakan proyek geotermal di kawasan itu bertentangan dengan arah utama pembangunan “yang menjadikan wilayah ini sebagai daerah pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan unggulan serta pertanian dan kelautan.”
“Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menekankan bahwa krisis sosial dan lingkungan saling terkait. Kami mendorong penggunaan energi ramah lingkungan, seperti energi surya, dengan tanggung jawab dan visi keberlanjutan,” kata mereka.
Para uskup menyebut hal ini searah dengan Surat Pastoral Konferensi Federasi Para Uskup Se-Asia kepada Gereja-Gereja Lokal di Asia tentang “Pemeliharaan Ciptaan: Panggilan untuk Pertobatan Ekologis” yang dikeluarkan pada 15 Maret.
Lawan Kebijakan ‘Flores Pulau Geotermal’
Pernyataan sikap bersama para uskup tersebut bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah yang pada 2017 menetapkan Flores sebagai Pulau Geotermal.
Dengan SK Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2268 K/MEM/2017, pemerintah telah menargetkan 16 titik proyek tersebut di sepanjang Pulau Flores dan Pulau Lembata di sebelah timur.
Flores memiliki total potensi panas bumi 902 Megawatt, atau 65 persen dari total kapasitas di NTT, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Dalam catatan Floresa, warga di setiap lokasi proyek menyatakan penolakan, di antaranya Wae Sano di Manggarai Barat, Poco Leok di Manggarai, Mataloko di Ngada, Sokoria di Ende dan Atadei di Lembata.
Titik lainnya yang ditargetkan adalah Wae Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Komandaru, Detusoko, Jopu, Lesugolo, Oka Ile Ange, Bukapiting, Roma-Ujelewung dan Oyang Barang.

Perbedaan Sikap Para Uskup Sebelumnya
Paulus Budi Kleden adalah uskup pertama di Flores yang menentang secara publik proyek geotermal di wilayah kegembalaannya.
Sikap itu, yang dinyatakan pada 6 Januari memicu reaksi luas dari berbagai kalangan, termasuk mendasari demonstrasi besar-besaran di Ngada pada 12 Maret, menuntut pembatalan proyek geotermal Mataloko.
Ia juga tetap pada sikap menolak proyek geotermal saat pada 15 Maret menerima kunjungan dari pihak pemerintah dan pimpinan perusahaan proyek geotermal.
Berbeda dengan rekannya itu, Siprianus Hormat menjadi sasaran protes umatnya sendiri karena menyatakan dukungannya untuk geotermal.
Ia juga dinilai diam terhadap aspirasi umatnya sendiri, seperti di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, termasuk saat mereka mengalami represi karena menolak geotermal.
Dukungan Siprianus terjadi ketika pada Mei 2020, ia mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo, yang merekomendasikan agar proyek geotermal Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat dilanjutkan.
Surat tersebut menuai protes dari umatnya, menganggap Siprianus mengabaikan suara mereka.
Langkahnya kala itu membuat Kementerian ESDM membentuk tim bersama keuskupan, yang ditugaskan melakukan pendekatan kepada warga.
Wae Sano kini berada di bawah Keuskupan Labuan Bajo yang baru terbentuk tahun lalu.
Uskup Labuan Bajo, Maksimus Regus belum menyatakan sikap soal proyek itu yang hendak dikerjakan kembali.
Dukungan Siprianus terhadap geotermal juga muncul dalam sebuah wawancara dengan Radio Veritas Asia pada Juni 2024, Siprianus, menyebutnya sebagai “energi bersih dan ramah lingkungan.”
Ia juga menyebut “banyak kelompok datang dan pergi melakukan propaganda tentang dampak negatif geotermal,” kendati tidak menjelaskan kelompok yang dimaksud.
Pasca munculnya sikap Uskup Paulus Budi Kleden, umat Katolik di Keuskupan Ruteng terus berharap agar Siprianus juga mengambil sikap serupa dan mendengarkan rintihan mereka.
Seruan untuk Kesejahteraan Sosial dan Kelestarian Alam
Selain isu geotermal, para uskup Provinsi Gerejawi Ende juga menyatakan pendapat terkait perdagangan orang, menyebutnya sebagai hal yang “memilukan” dan “kejahatan terhadap kemanusiaan yang membutuhkan tanggapan konkret dan segera.”
“Gereja tidak boleh diam. Kita harus menjadi suara bagi yang tak bersuara. Kami mengajak semua pihak—pemerintah, organisasi sosial, komunitas keagamaan, pemuka adat, dan umat—untuk ikut serta dalam pencegahan, perlindungan, dan pemberantasan perdagangan manusia.”
Mereka juga menyatakan pentingnya penyadaran dan edukasi di tingkat keluarga dan komunitas untuk mencegah kejahatan itu terus berulang.
Isu lainnya yang diangkat adalah stunting atau tengkes, yakni kondisi kronis yang terjadi akibat kekurangan gizi dalam jangka panjang, terutama pada 1000 hari pertama kehidupan anak, yang menyebabkan pertumbuhan anak terhambat.
Mereka menyebut stunting “bukan sekadar persoalan kesehatan, tetapi juga ketidakadilan sosial”, hal yang harus ditanggapi semua pihak, mengingat “setiap anak berhak atas gizi yang cukup” dan “masa depan mereka adalah tanggung jawab kita bersama.”
Sementara terkait wabah peternakan dan pertanian, para uskup menyebut khusus “flu babi dan penyakit tanaman” yang “jika tidak ditangani serius, dampaknya besar bagi ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.”
Mereka mendesak penanganan wabah tersebut dengan kebijakan yang berpihak pada petani dan peternak, yang berbasis riset dan inovasi ilmu pengetahuan.
Editor: Ryan Dagur