Uskup Agung Ende Tolak Proyek Geotermal: Umat Berterima Kasih, Berharap Uskup Lain di Flores Nyatakan Sikap Serupa

Tidak hanya menolak proyek yang diklaim bagian dari transisi energi ini, Uskup Budi juga meminta para imam membantu umat yang melakukan resistensi

Floresa.co – Pernyataan Uskup Agung Ende, Msgr. Paulus Budi Kleden, SVD yang secara terbuka menolak proyek geotermal ramai dibicarakan sejak viral pada pekan lalu.

Tidak hanya diberitakan media lokal dan nasional, pernyataan uskup yang ditahbiskan pada Agustus 2024 juga disorot media Katolik internasional, seperti Catholic News Agency dan UCA News.

Pernyataan itu muncul di tengah ramainya proyek geotermal di Flores dan perbedaan sikap internal Gereja Katolik, termasuk di antara para uskup.

Tanggapan terhadap pernyataan Uskup Budi kemudian tersebar luas di media sosial.

Dalam pernyataan yang disampaikan pada 7 Januari saat acara Natal Bersama para imam se-Keuskupan Agung Ende itu, Budi menyatakan menolak proyek geotermal setelah “mendengar berbagai kesaksian dari sejumlah orang di Sokoria dan Mataloko serta usai berdiskusi dengan sejumlah imam.”

Sokoria dan Mataloko merupakan dua dari titik proyek geotermal di wilayahnya.

“Saya menentukan sikap menolak geotermal di sejumlah titik yang sudah diidentifikasi di ketiga kevikepan kita,” kata Uskup Budi, merujuk kepada Kevikepan Ende, Bajawa dan Nagekeo.

Ia juga mendorong resistensi umat dan masyarakat dengan memberikan perhatian dan informasi, baik yang “ilmiah maupun [mendengarkan] kesaksian dari orang-orang di Sokoria dan Mataloko.”

“Saya meminta tema geotermal dibicarakan di tingkat kevikepan, sembari berharap Lembaga Bantuan Hukum Keuskupan Agung Ende membantu proses ini,” kata Budi.

Apa Kata Umatnya?

Bagi Antonius ‘Tony’ Anu, pernyataan Uskup Budi “membuat kami yakin dan percaya bahwa perjuangan warga yang menolak proyek ini sudah benar.”

Tony merupakan warga Desa Radabata, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, salah satu dari beberapa desa yang terkena dampak proyek geotermal Mataloko.

Proyek yang berulang kali gagal sejak pengeboran pertama kali dua dekade silam tersebut kini dibangun kembali oleh PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN], kendati menghadapi penolakan warga.

Tony yang sejak 2020 bergabung bersama Komunitas Warga Mataloko Tolak Geotermal menyebut pernyataan Budi “tegas dan tidak neko-neko.”

Berkaca pada pengalaman kegagalan proyek tersebut di Mataloko, ia menyebut geotermal adalah “proyek yang rakus air dan tanah serta banyak menimbulkan bencana.”

Tony mengaku kerap mendengar kesaksian dari orang tuanya soal proyek itu yang menyulut konflik horizontal antarwarga.

“Terjadi rekayasa informasi kepada publik dan sosialisasi hanya menghadirkan pemilik lahan dan orang yang mendukung,” katanya kepada Floresa pada 10 Januari.

Melihat sikap Uskup Budi, Tony mengatakan akan semakin gencar melakukan sosialisasi, edukasi, dan terus menyuarakan penolakan.

Laporan Floresa pada 17 Desember 2024 mengungkap soal munculnya lubang semburan baru yang mengeluarkan lumpur dan uap panas. Semburan itu terjadi di lahan yang berjarak sekitar 300 meter dari Kampung Turetogo, Desa Wogo.

Sementara itu, Ruben Rai dari Desa Sokoria, Kabupaten Ende yang berbicara dengan Floresa pada 10 Januari berkata ia ikut senang mendengar pernyataan Budi. 

Warga Sokoria tetap menolak proyek geotermal, katanya, kendati pembangkit listrik yang dikelola PT Sokoria Geothermal Indonesia [SGI] telah beroperasi sejak 2022.

PT SGI merupakan salah satu anak perusahaan KS Orka Renewables Pte. Ltd yang berbasis di Singapura dan memiliki hubungan dengan PT Sorik Marapi Geothermal Power, pengembang PLTP Sorik Merapi di Mandailing Natal, Sumatera Utara.

Sejak 2021, PLTP Sorik Merapi beberapa kali mengalami insiden kebocoran gas Hidrogen Sulfida atau H2S dan menelan korban jiwa. Dalam peristiwa pertama pada Januari 2021, lima warga meninggal, dua anak-anak, serta 49 warga dirawat di rumah sakit.

“Sikap kami jelas menolak,” kata Ruben. 

Ia beralasan, Desa Sokoria Selatan, Dusun Detuboti dan Dusun Sokoria-Nuria sudah merasakan dampak langsung akibat proyek tersebut. 

Sampai sekarang, katanya, warga tidak lagi dapat memanfaatkan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena sudah tercemar.

“Perjuangan kami [menolak proyek ini] untuk masa depan dan kehidupan anak-cucu kelak,” kata Ruben.

Dalam laporan Floresa pada 2023, warga di sekitar proyek geotermal Sokoria menghadapi pencemaran air hingga penurunan produktivitas tanaman.

Selain itu, proses pembebasan lahan untuk proyek tersebut juga menuai polemik karena para pemimpin adat atau Mosalaki dimanipulasi oleh aparat keamanan di Markas Kodim di Ende.

Mereka diminta menandatangani dokumen, yang ternyata berisi pernyataan menghibahkan tanah kepada perusahaan.

Berharap Uskup Lain Ikut Jejak Uskup Budi

Pulau Flores ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi berdasarkan keputusan pemerintah tahun 2017. 

Pulau ini memiliki total potensi panas bumi 902 Megawatt, atau 65 persen dari total kapasitas di NTT, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Pemerintah telah mengidentifikasi 16 titik proyek di sepanjang Flores hingga Pulau Lembata di sebelah timur, yakni Wae Sano, Ulumbu, Wae Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Mataloko, Komandaru, Detusoko, Sokoria, Jopu, Lesugolo, Oka Ile Ange, Atadei, Bukapiting, Roma-Ujelewung dan Oyang Barang.

Proyek di titik-titik itu yang sebagian sudah dikerjakan mendapat resistensi dari warga lokal, sebagian memicu aksi kekerasan.

Sementara umat Katolik yang mayoritas di Flores melakukan penolakan, perbedaan sikap terjadi di dalam hierarki.

Budi adalah uskup pertama di Flores yang secara publik menentang proyek geotermal. Sementara rekannya sesama uskup, seperti Msgr. Siprianus Hormat telah menyatakan mendukung.

Pada Mei 2020, Uskup Ruteng itu mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo, yang merekomendasikan agar proyek geotermal Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat dilanjutkan. 

Surat tersebut menuai protes dari umatnya, menganggap Siprianus mengabaikan suara mereka.

Surat itu juga muncul saat Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan dari Ordo Fransiskan dan Serikat Sabda Allah [SVD] tetap memilih mendampingi perjuangan warga yang menolak.

Agustinus Tuju, warga adat Poco Leok yang juga menolak proyek geotermal berkata, perbedaan sikap antara Uskup Agung Ende dan Uskup Ruteng dilatari perbedaan kepentingan.

Gusti yang berbicara Floresa kepada 13 Januari berkata, Uskup Budi lebih melihat kepentingan umat, alam ciptaan, serta lingkungan yang “harus dijaga dan dilestarikan.”

Sebaliknya, kata dia, Uskup Ruteng hanya percaya bahwa geotermal demi pembangunan, tanpa melihat risiko atau dampaknya bagi “kami masyarakat terdampak”.

“Kami sangat senang mendengar pernyataan Uskup Budi yang menunjukkan kepedulian pada kehidupan umat di Flores,” kata Gusti, yang juga menjabat Ketua Dewan Stasi Lungar, Paroki Ponggeok, Keuskupan Ruteng.

Agustinus berharap Siprianus mengikuti jejak Budi, “agar umat bersatu kembali membangun iman dan Gereja, sehingga alam Poco Leok dijaga secara bersama-sama dari pengrusakan oleh geotermal.”

“Terima kasih kepada Bapak Uskup Agung Ende yang telah mendorong kami untuk menolak geotermal di Poco Leok dan Flores. Kami tidak mau proyek ini ada di sini,” kata Maria Teme, perempuan adat Poco Leok.

“Sebagai perempuan adat, saya merasa Uskup Budi mengetahui dampak negatif proyek geotermal,” tambahnya.

Uskup Budi “sungguh memperhatikan apa yang dirasakan umatnya” 

Maria berharap “uskup-uskup yang lain mendengar suara kenabian Uskup Budi”, termasuk Siprianus agar “menanggapi suara itu.”

“Sekarang kami menunggu pernyataan sikap Uskup Ruteng terhadap proyek geotermal Poco Leok,” katanya.

Budi ditunjuk menjadi uskup saat sedang berbasis di Roma, Italia karena menjabat Superior General atau Pemimpin Umum SVD seluruh dunia.

Sebelumnya, ia menjadi dosen di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, di mana ia dikenal memberi perhatian intens pada isu-isu hak asasi manusia.

Setelah ditahbiskan menjadi uskup, ia sering berbicara soal isu perdagangan manusia dan baru-baru ini melancarkan program pastoral ramah anak, menanggapi meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayahnya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA