Saat Bupati Edi Endi Klaim Reklamasi Tidak Haram, Kendati Mawatu Resort Ambil Pasir Laut secara Ilegal

Pemerhati isu lingkungan mengkritik pernyataan Edi Endi, menyebut tindakan Mawatu Resort sebagai perampasan ruang laut untuk kepentingan pebisnis dan oligarki

Floresa.co – “Reklamasi itu bukan kegiatan yang haram,” demikian kata Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi pekan lalu.

Pernyataannya merespons terungkapnya kasus penambangan pasir laut ilegal oleh Mawatu Resort, sebuah kawasan hunian mewah di pesisir Labuan Bajo yang sedang dalam pengerjaan.

“Reklamasi itu bagian dari upaya penyelamatan. Jadi yang itu reklamasi atau semacam kegiatan untuk menahan abrasi,” kata Edi pada 5 Maret, seperti dilansir oleh Detik.com.

Pernyataannya saat sidang paripurna di DPRD Manggarai Barat itu hanya selang sehari setelah dalam pidato pada perayaan puncak Hari Ulang Tahun ke-22 Kabupaten Manggarai Barat, ia menyoroti pemanfaatan ruang laut di Labuan Bajo yang tidak terkontrol. 

Ia menyebutnya sebagai salah satu tantangan kabupaten itu ke depan yang “akan memberikan dampak buruk bagi laut dan ekosistemnya.” 

Pernyataan Edi Endi yang membolehkan reklamasi, bertolak belakang dengan pengakuannya soal pemanfaatan ruang laut yang tidak terkontrol, mendapat catatan dari para pemerhati lingkungan.

Parid Ridwanuddin, aktivis yang sering meriset isu kawasan pesisir, termasuk di Labuan Bajo, berkata, klaim bahwa reklamasi untuk mengamankan wilayah pantai dari ancaman kenaikan air laut atau abrasi adalah “kesalahan besar.” 

Bagaimana pun, kata dia, reklamasi selalu melahirkan kerusakan di dua tempat, yakni di wilayah reklamasi sendiri dan di tempat pengambilan pasir. 

Salah satu titik bekas penambangan pasir ilegal di Pantai Bale. (Dokumentasi Floresa)

Parid, yang kini menjadi anggota Bidang Kajian Politik Sumber Daya Alam Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkata, abrasi dipicu oleh “buruknya tata ruang yang kalah dengan tata uang.” 

Kalau di wilayah-wilayah pesisir diberikan beban berat untuk kepentingan industri pariwisata, jelasnya, maka akan memicu penurunan muka tanah dan menyebabkan kenaikan air laut.

“Kenaikan air laut terjadi karena daratan menanggung beban ekologis yang sangat berat.”

Mengkritisi penggunaan istilah ‘bukan haram’ versi Edi Endi, kata Parid, “kalau ada dimensi kerusakan, sudah pasti haram karena mengakibatkan kemerosotan bagi yang lain, baik manusia maupun non manusia.” 

Ia berkata, “pernyataan pejabat publik tidak boleh memakai bahasa fikih — istilah dalam hukum Islam yang mengandung pengertian yang mendalam — seperti soal haram “karena dia belum tentu memahami maknanya.”

Haram dan halal, katanya, mempunyai dimensi yang mendalam, “tidak sesederhana label yang disematkan Majelis Ulama Indonesia” dalam produk-produk untuk kepentingan bisnis.

“Jangan memanipulasi bahasa agama untuk kepentingan ekonomi politik. Karena kalau dikejar lebih jauh, saya yakin yang bersangkutan nggak paham yang dimaksud haram dan halal itu,” katanya kepada Floresa.

Mawatu Resort dilaporkan mereklamasi pantai di sebelah utara Labuan Bajo untuk membangun hunian mewah yang eksklusif.

Mawatu Resort, yang berada di bawah naungan Vasanta Group atau PT Sirius Surya Sentosa Tbk, memanfaatkan nelayan tradisional di Kampung Rangko, Desa Tanjung Boleng untuk menggali pasir laut di Pantai Bale. 

Beberapa di antara nelayan itu sempat ditangkap dan ditahan oleh Tim Patroli Keamanan Laut Pangkalan TNI Angkatan Laut [LanAl] Labuan Bajo, namun kemudian dilepaskan.

Berdasarkan hasil penyelidikan awal, diperkirakan sekitar 2.000 meter kubik pasir telah diangkut ke Mawatu.

Kasus penambangan pasir laut itu telah dilimpahkan kepada Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan [PSDKP] Kupang.

Koordinator PSDKP Labuan Bajo, Aloysius Tube Kola, berkata kepada Floresa bahwa penambangan pasir ilegal tersebut melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dan UU Nomor 1 Tahun 2014 Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Floresa sebelumnya meminta penjelasan Mawatu soal kasus ini, namun tidak mendapat respons. 

Tidak hanya soal pengambilan pasir laut ilegal, dari pantauan Floresa, kawasan di sekeliling Mawatu Resort yang langsung menghadap ke pantai merupakan hutan mangrove. Di bagian yang sedang dalam proses reklamasi, mangrove telah dibabat.

Gambar desain resort dan hunian mewah Mawatu Labuan Bajo. Pembangunannya dilaporkan mengambil pasir laut secara ilegal untuk reklamasi pantai, yang kasusnya sedang ditangani otoritas terkait. (Mawatu.co.id)

Parid memberi catatan bahwa mangrove “jelas sekali tidak boleh dikonversi untuk kepentingan industri, termasuk industri pariwisata” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang [UU] Nomor 27 Tahun 2007 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.

Merujuk pada UU itu, kata dia, pembabat mangrove dikenakan sanksi berupa denda maksimal Rp10 miliar dan kurungan penjara 10 tahun. 

UU itu, katanya, juga menyebut sempadan pantai — titik nol sampai 100 meter titik pasang tertinggi ke arah darat  — “tidak boleh ada bangunan, apalagi untuk kepentingan bisnis.” 

“Harusnya [sempadan pantai] digunakan untuk ruang terbuka hijau atau ruang publik, tidak boleh ada ruang untuk kepentingan bisnis,” katanya.

Parid berkata mangrove mempunyai fungsi alamiah untuk menjaga ekosistem di pesisir. 

Kalau mangrove ditebang, kata dia, maka abrasi akan terjadi lebih cepat.

“Jadi, klaim reklamasi akan menyelamatkan wilayah pesisir dari abrasi sebetulnya keliru besar. Jangan-jangan bupatinya tidak paham,” katanya.

Parid, yang pernah melakukan riset di kawasan pesisir Labuan Bajo berkata, mangrove di wilayah itu terancam oleh industri pariwisata, hal yang turut memicu penurunan jumlah mangrove secara signifikan. 

Persoalan tersebut, kata dia, makin pelik karena di dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan Rencana Peraturan Pemerintah tentang Mangrove, para perusak mangrove hanya diberikan sanksi administratif saja. 

“Artinya, kalau dia merusak, diberikan sanksi berupa teguran tertulis dan pencabutan izin. Kalau izinnya dicabut, ya gampang, tinggal mengajukan izin baru,” katanya. 

Perampasan Ruang Laut

Sementara itu, Afdillah Chudiel, Juru Kampanye Lingkungan Greenpeace menyebut, reklamasi yang dilakukan Mawatu Resort merupakan bentuk praktik perampasan ruang laut untuk kepentingan pebisnis dan oligarki, seraya mengabaikan kepentingan ekologi dan komunitas. 

Sama seperti Parid, ia menilai maraknya reklamasi pantai merupakan dampak kehadiran UU Cipta Kerja.

Ia menyebut UU tersebut merupakan regulasi yang paling efektif untuk merusak lingkungan dan merampas ruang hidup masyarakat, termasuk kawasan pesisir.

UU itu, kata dia, mempunyai banyak kelemahan, salah satunya terkait sanksi yang berikan kepada para penjahat lingkungan yang hanya berupa sanksi administrasi dan denda. 

“Kalau ketahuan, mereka [para pelanggar] tinggal urus izin. Kalau nggak ketahuan, syukur. Sekarang modusnya begitu,” katanya kepada Floresa.

Menyoroti soal reklamasi oleh Mawatu, kata dia, kendati diklaim untuk pembangunan pariwisata, tapi “kita tahu yang mendapatkan keuntungan dari aktivitas itu adalah pengusaha-pengusaha pariwisata yang juga merupakan bagian dari oligarki, bukan masyarakat lokal.”

Ia juga menyoroti tindakan Mawatu yang “menjerumuskan nelayan kecil untuk menambang secara ilegal,” sementara “pemilik proyek cuci tangan.” 

“Ini adalah sesuatu yang secara logika kemanusiaan tidak bisa diterima,” katanya. 

“Kalau nanti ada yang salah dari proses proyek ini, masyarakat kecil yang disalahkan. Tapi, mereka [aparat penegak hukum] tidak mengejar pihak pengusahanya,” tambahnya. 

Afdil berkata, penegakan hukum seharusnya tidak boleh berhenti pada membongkar penambangan ilegal, tetapi juga mengejar “siapa saja yang mendapatkan manfaatnya.” 

Bagaimanapun juga, ada aturan yang harus dihormati bersama yaitu etika dan “para pemilik resort sudah terlibat dalam perusakan lingkungan.” 

Ia berkata, dalam banyak kasus, membabat hutan mangrove dan memagari laut kerap dianggap “tidak melanggar aturan”, tetapi hal tersebut belum tentu benar.

Walaupun pemerintah menganggap proyek reklamasi tidak melanggar aturan, tetapi secara etika, “hal itu tidak benar.” 

“Membabat mangrove dan memagari laut tentu berdampak buruk terhadap ekosistem dan juga komunitas yang ada di wilayah tersebut,” katanya.

Tim Patroli Keamanan Laut Pangkalan TNI Angkatan Laut [LanAl] Labuan Bajo saat berbicara dengan para nelayan tradisional yang dimanfaatkan Mawatu Resort untuk menambang pasir laut di Pantai Bale, Desa Tanjung Boleng. (Dokumentasi Ven Darung)

Kontradiksi Niat Baik

Ignasius Jaques Juru, peneliti isu sosial berkata “jika memang reklamasi bertujuan menahan abrasi, mengapa penambangan pasirnya terindikasi dilakukan secara ilegal bahkan berpotensi merusak ekologi pantai.”

Ia menilai tujuan dan proses reklamasi itu terlihat sangat kontradiktif. 

“Dengan kata lain, proses itu sendiri membatalkan tujuan yang dianggap mulia tadi,” katanya kepada Floresa. 

Parid Ridwanuddin berkata, perlindungan mangrove merupakan sebuah ironi terutama karena di forum-forum internasional, “kita selalu mempromosikan mangrove sebagai suatu ekosistem yang penting.”

Indonesia, kata dia, mempunya lebih dari 30 persen spesies mangrove di dunia, hal yang membuatnya dipilih sebagai Ketua Mangrove Alliance for Climate [MAC] saat Konferensi Para Mitra atau Conference of Partners di Dubai, Uni Emirat Arab pada 2023.  

MAC merupakan organisasi yang terdiri dari 34 negara, dengan kawasan mangrove yang berkontribusi 70 persen dari total mangrove dunia.

“Itu artinya kan duitnya ngalir. Tetapi, sayangnya di dalam negeri sendiri kebijakannya malah tidak melindungi mangrove,” kata Parid.

Ia menjelaskan, Labuan Bajo secara umum didorong menjadi wilayah pariwisata sehingga pemerintah harus “memoratorium ekspansi proyek-proyek tersebut karena mengokupasi wilayah-wilayah publik terutama pantai.” 

Selama ini, kata dia, ekspansi pariwisata terbukti mendorong percepatan okupasi sektor swasta. 

Sementara itu, Afdil menilai reklamasi yang dilakukan Mawatu memperlihatkan “karut marut tata kelola ruang laut di kawasan pesisir.” 

Perampasan ruang laut, jelasnya, juga merugikan nelayan kecil dan masyarakat di sekitar pesisir.

Karena itu, pemerintah seharusnya berkonsentrasi memulihkan ruang laut yang terdampak oleh berbagai hal, termasuk perubahan iklim.

Apalagi, kata dia, Indonesia sedang berkomitmen membangun dan memperluas kawasan pesisir sebagai ruang lindung, terutama bagi mangrove dan terumbu karang.

“Banyaknya proyek di kawasan pesisir tidak sejalan dengan semangat itu. Jauh panggang dari api,” katanya.

Ignasius Jaques Juru berkata, sudah saatnya pemerintah daerah hadir untuk mendekati pembangunan di Manggarai Barat dengan “memastikan aspek keadilan ruang dan hak atas lanskap.”

Ia juga mendesak pemerintah daerah untuk tidak tunduk pada logika kapital yang cenderung eksploitatif dan koruptif.

Kecenderungan koruptif itu, katanya, tidak hanya terjadi dalam prosesnya, tetapi dalam arti yang lebih luas yakni bagaimana pembangunan yang eksesif itu berdampak buruk secara sosial dan ekologis.

Floresa meminta tanggapan Edi Endi melalui pesan WhatsApp pada 7 dan 12 Maret. 

Hingga artikel ini terbit, ia tidak merespons kendati pesan yang dikirim ke ponselnya bercentang dua, tanda telah sampai kepadanya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA