Beroperasi Malam Hari Sebelum Akhirnya Dihentikan Aparat, Aktivitas Tambang Ilegal Pasir Laut untuk Proyek Hunian Mewah Mawatu Labuan Bajo

Pemerintah mengonfirmasi pasir yang diambil dari pantai publik di utara Labuan Bajo itu untuk reklamasi pantai oleh perusahaan properti Mawatu. Proses hukum sedang berjalan

Floresa.co – Johan Asmara Geby, warga Kampung Menjerite, sekitar 300 meter dari pintu gerbang Pelabuhan Multipurpose Wae Kelambu di sebelah utara Labuan Bajo, sedang duduk bersama beberapa warga lain di beranda rumahnya saat ditemui pekan lalu.

Mendengar tujuan Floresa hendak meliput kasus penambangan ilegal pasir laut di kawasan itu, ia antusias mengajak untuk mengunjungi Pantai Bale.

Pantai yang berjarak sekitar dua kilometer ke arah timur laut dari rumahnya, kata Geby, menjadi lokasi tambang ilegal pasir laut.

“Ini bekas-bekas penggalian oleh oknum penambang,” katanya setibanya di Pantai Bale pada 13 Februari.

“Mereka ambil pasir yang bersih saja, yang kotor ditinggalkan.”

Pantai itu terletak di Desa Tanjung Boleng, perbatasan Kecamatan Boleng dan Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.

Dari jalan raya jalur pantai utara Flores, pantai itu berjarak sekitar 800 meter. Sebagian akses masuknya berupa jalan rabat beton, sebagiannya lagi jalan tanah yang diapit beragam jenis pohon.

Pada beberapa bagian pantai berpasir putih itu, tampak bekas-bekas galian pasir, yang menyisakan beberapa cekungan di sepanjang sekitar 300 meter garis pantai. 

Salah satu titik bekas penambangan pasir ilegal di Pantai Bale. (Dokumentasi Floresa)

Geby berkata, cekungan bekas penggalian itu sudah berangsur-angsur tertimbun pasir usai disapu ombak.

Meski begitu, salah satu titik bekas penggalian menyebabkan air laut tergenang pada cekungan terbesar yang berjarak sekitar 10 meter dari titik terluar air laut.

Beberapa karung yang digunakan untuk mengangkut pasir tampak masih berserakan di beberapa titik.

“Aktivitas mereka pada malam hari atau saat sedang hujan, sehingga aman dari pantauan warga sekitar,” kata Geby.

Merasa ada aktivitas yang mencurigakan selama sekitar seminggu pada akhir Januari hingga awal Februari, ia bersama seorang warga lainnya sepakat memantau lokasi itu.

Pada 4 Februari sekitar pukul 16.00, mereka menemukan ratusan orang yang tengah menambang dan mengangkut pasir ke atas sekitar 30 unit kapal kecil. 

“Saya cegat, minta mereka berhenti beraktivitas dan suruh pulang,” katanya.

Ia juga menemui Syarif, seseorang yang menurut para penambang adalah “yang dituakan,” memintanya menghentikan aktivitas.

“Mereka bilang pasirnya dibawa ke Mawatu,” kata Geby, merujuk pada Mawatu Labuan Bajo, kompleks hunian mewah di wilayah pesisir sebelah utara Labuan Bajo yang sedang dibangun.

Mawatu Labuan Bajo yang kompleksnya berada di pesisir dan sedang dalam proses pembangunan. (Dokumentasi Floresa)

Geby mengaku mencegat aktivitas penggalian pasir itu “untuk menjaga pantai agar tetap bisa dinikmati publik.”

Ulayat Mbehal, katanya, merujuk pada komunitas adat di wilayah tersebut “turut menjaga pasir ini sehingga semua orang bisa mandi dengan enak.”

Apalagi, jelas Geby, Pantai Bale merupakan salah satu dari sedikit kawasan pantai di pesisir Labuan Bajo yang masih bisa diakses oleh publik. 

“Itu dasarnya kita jaga pantai ini.” 

Selain mempertimbangkan kepentingan berwisata, Geby mencegat aktivitas penambangan itu untuk menjaga lingkungan di sekitar pantai. 

“Ketika pasir diambil, bekas galian ini tergenang air. Tidak ada lagi pasir yang menahan air laut.”

Setelah siang hari mereka mencegat aktivitas penambang, katanya, malamnya mereka kembali beraksi.

Keesokannya, pada 5 Februari pagi, ia kembali melihat bekas pengerukan pasir tersebut.

“Aktivitas mereka berlanjut hingga mereka ditangkap.”

Karung yang ditinggalkan penambang pasir di Pantai Bale. (Dokumentasi Floresa)

Untuk Reklamasi Mawatu 

Aktivitas penambangan ilegal tersebut akhirnya dihentikan Tim Patroli Keamanan Laut Pangkalan TNI Angkatan Laut [LanAl] Labuan Bajo pada 10 Februari.

Danlanal Labuan Bajo, Letkol Laut Iwan Hendra Susilo memastikan bahwa penambangan pasir laut itu untuk reklamasi pantai oleh Mawatu.

Dalam operasi tersebut, kata dia, tim patroli menghalau kapal yang mengangkut pasir laut dan mengamankan empat kapal nelayan dari Kampung Rangko, Desa Tanjung Boleng.

Masing-masing kapal membawa sekitar dua meter kubik pasir, dengan total muatan sebanyak delapan meter kubik, katanya.

Ia menambahkan, pasir laut yang dibawa kapal nelayan berasal dari pesisir Pantai Rangko dengan koordinat 8°27’42.3″S 119°55’44.6″E.

Berdasarkan hasil penyelidikan awal, diperkirakan sekitar 2.000 meter kubik pasir telah diangkut ke Mawatu.

LanAl telah melimpahkan kasus tersebut kepada Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan [PSDKP] Wilayah Kerja Labuan Bajo.

Koordinator PSDKP Labuan Bajo, Aloysius Tube Kola, mengonfirmasi kepada Floresa pada 17 Februari bahwa serah terima barang bukti dari LanAl kepada PSDKP telah dilakukan. 

Mereka juga telah meninjau lokasi penambangan itu pada 11 Februari.

Menyusul penyerahan barang bukti, tambahnya, PSDKP telah memeriksa enam pelaku pada 12 Februari.

Dari keterangan mereka, jelas Aloysius, “memang benar ada kegiatan yang diduga dilakukan oleh sekelompok nelayan kecil.”

“Mereka mengangkut dan menambang pasir di daerah pesisir Rangko dan dibawa ke area reklamasi Mawatu.” 

Dokumen hasil pemeriksaan telah diteruskan ke Stasiun PSDKP Kupang yang merupakan lembaga struktural di atasnya. 

“Kewenangan tindak lanjutnya ada di sana. Terkait sanksi, termasuk sanksi hukum, tergantung pertimbangan kantor pusat di Kupang,” katanya.

Tindakan terhadap Mawatu Labuan Bajo, kata dia, juga merupakan kewenangan Stasiun PSDKP Kupang dan mesti berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Yang jelas, katanya, penambangan ilegal tersebut melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dan UU Nomor 1 Tahun 2014 Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Sama seperti keterangan LanAl, dari hasil pengecekan, kata dia, pasir tersebut memang dibawa ke Mawatu untuk reklamasi. 

Hingga kini, Mawatu yang berada di bawah naungan Vasanta Group atau PT Sirius Surya Sentosa Tbk belum berkomentar soal kasus ini.

Pada 14 Februari, Floresa mengunjungi Mawatu dan bertemu dengan seorang satpam dan seorang pengawas proyek. Keduanya melarang Floresa memasuki area proyek dan memotret fasilitas yang sedang dikerjakan.

Tampak depan kompleks Mawatu Labuan Bajo. (Dokumentasi Floresa)

Floresa juga telah mengirimkan pertanyaan klarifikasi ke manajemen Vasanta Group melalui surat elektronik sekretaris perusahaan pada 19 Februari.

Pada hari yang sama, Floresa juga mengirimkan pertanyaan tersebut ke manajemen Mawatu melalui surat elektronik. Permintaan penjelasan juga disampaikan via nomor WhatsApp yang tertera pada akun Instagram Mawatu. 

Namun, hingga berita ini dipublikasi, belum ada yang merespons.

Mawatu Labuan Bajo merupakan salah satu di antara beberapa proyek properti milik Vasanta yang berlokasi di Ketentang, Desa Batu Cermin. Perusahaan yang berdiri pada 2015 ini berkantor pusat di Kota Tangerang, Provinsi Banten.

Dari informasi di web resminya, Mawatu Labuan Bajo menyebut diri sebagai kawasan resort dan komersil terpadu. Peletakan batu pertama proyek Mawatu dilakukan pada 30 April 2021, dengan total investasi Rp1,3 triliun, menurut Bisnis.com.

Di lahan seluas 12 hektar, perusahaan tersebut membangun hotel, pusat bisnis dan kawasan hunian yang dijual antara Rp1,8 miliar hingga Rp5 miliar per unit.

Mawatu merupakan salah satu dari sejumlah kawasan mewah di sepanjang garis pantai Labuan Bajo yang menguasai secara eksklusif wilayah sempadan pantai.

Selain sejumlah hotel yang sudah berdiri lama, beberapa hotel mewah lainnya juga sedang dibangun di pesisir kota pariwisata super premium itu.

Sementara infrastruktur terus menjamur, ketiadaan pantai publik yang masih bisa diakses bebas oleh warga lokal menjadi soal serius di Labuan Bajo.

Setidaknya 11 bangunan hotel dan resort dari Pantai Wae Cicu hingga Pantai Pede dinyatakan melanggar ketentuan terkait garis sempadan pantai dan Rancangan Tata Ruang dan Wilayah [RTRW], merujuk pada SK Bupati Manggarai Barat Nomor: 285/KEP/HK/2019.

SK itu mengatur tentang denda administratif bagi hotel dan resort yang melanggar.

Kesebelas hotel itu adalah Ayana Komodo Resort, La Prima Hotel, Sylvia Resort Komodo, Plataran Komodo Wae Cicu, Bintang Flores, Sudamala Resort, Waecicu Beach Inn, Jayakarta Suites, Puri Sari Beach, Atlantis Beach Club dan Luwansa Beach Resort.

Editor: Petrus Dabu dan Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA