Floresa.co – Warga Desa Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat menyatakan sikap untuk tetap menolak proyek geotermal yang pengerjaannya hendak dilanjutkan setelah vakum selama lebih dari setahun.
Rofinus Rabun, salah satu warga desa itu berkata, sikap mereka tidak berubah, sebagaimana yang sudah disuarakan selama ini.
“Kami tetap menolak [proyek ini] karena akan merusak ruang hidup kami,” katanya kepada Floresa.
Ia menggambarkan ruang hidup sebagai kesatuan utuh antara golo lonto, mbaru kaeng, natas labar [perkampungan adat], uma duat [lahan pertanian/perkebunan], wae teku [sumber mata air], compang takung, lepah boa [tempat-tempat adat], puar [hutan] dan sano [danau].
Proyek itu, katanya, persis berada di ruang hidup mereka.
Yosep Erwin Rahmat, warga lainnya juga menyatakan, sikapnya tidak berubah sejak 2018, tahap awal rencana eksplorasi proyek itu.
Rumah Yosep hanya berjarak sekitar 50 meter dari titik pengeboran yang ditentukan perusahaan, sementara di dua kampung lainnya, Dasak dan Lempe, permukiman warga berjarak sekitar 100 meter dengan titik pengeboran.
Karena itu, katanya, “sekali tolak proyek ini, tetap tolak.”
“Apapun dalil dan argumentasinya.”
Penegasan itu merespons pernyataan Direktur Utama PT Geo Dipa Energi, Yudistian Yunis, yang mengklaim akan menggencarkan sosialisasi proyek yang berlokasi sekitar 34 kilometer arah tenggara Labuan Bajo itu.
“Sebagai pelaksana eksplorasi, sebagai kepanjangan tangan pemerintah, kami akan berupaya untuk semaksimal mungkin,” ujarnya dikutip dari Media Indonesia.
Yudistian mengklaim, pemerintah kabupaten, termasuk camat hingga desa, sudah pada posisi mendukung proyek yang memiliki potensi listrik 30 Megawatt itu.
Pernyataan Yudistian disampaikan saat berdiskusi dengan pimpinan Media Indonesia di Kantor Geo Dipa Energi Jakarta, pada 15 Januari.
Yudistian berkata, setelah Bank Dunia mundur dari pendanaan proyek itu karena adanya pro kontra di masyarakat, pemerintah memutuskan akan menggunakan dana APBN.
PT Geo Dipa, sambungnya, telah mempersiapkan seluruh aspek dan melakukan sosialisasi ke masyarakat.
“Tinggal kami memulai kegiatan fisiknya di lapangan,” kata Yudistian.
Pada kesempatan itu, Direktur Utama Media Indonesia, Gaudensius Suhardi menyatakan, masih banyak warga di NTT yang belum memahami pentingnya keberadaan proyek geotermal Wae Sano.
“Ada kesenjangan komunikasi di sana. Biasanya, sosialisasi baru masif dilakukan jika sudah ada persoalan,” ujar Gaudiensius, yang berasal dari Manggarai Barat.
Rofinus Rabun berkata, apapun dalil dari PT Geo Dipa atau pemerintah untuk melanjutkan proyek ini, warga tetap menolak.
Ia juga mengkritisi pernyataan Gaudiensius Suhardi bahwa banyak warga di NTT yang belum memahami pentingnya keberadaan proyek itu.
Menurut Rofinus, penolakan warga justru dilandasi pemahaman yang mendalam akan dampak negatif pengembangan geotermal bagi masyarakat di lokasi proyek.
“Anggapan [Gaudensius Suhardi] itu sangat buta,” ujarnya.
Proyek geotermal Wae Sano adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional bidang energi dan sumber daya mineral, yang dirancang pasca penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi [Geothermal Island] pada 2017.
Proyek itu ditetapkan melalui SK Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 yang berisi usulan “lima lokasi kegiatan pengeboran sumur eksplorasi oleh pemerintah” dan Wae Sano berada dalam daftar “dengan cadangan terduga 30 megawatt.”
Awalnya proyek itu dikerjakan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur [PT SMI], yang mulai gencar melakukan sosialisasi pada 2018. Belakangan, proyek itu dialihkan dari PT SMI ke PT Geo Dipa Energi.
Sementara pendana, semula adalah Bank Dunia dan sebuah lembaga pemerintah Selandia Baru, New Zealand Foreign Affairs and Trade Aid Programme, dengan skema dana dari Geothermal Energy Upstream Development Project (GEUDP).
Pada November 2023, Bank Dunia mengumumkan angkat kaki dari proyek itu, merespons sikap warga yang terus menolak.
Pemerintah dan PT Geo Dipa kemudian menyatakan pendanaan proyek itu akan menggunakan skema Pembiayaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi.
Dalam catatan Floresa, tidak ada aktivitas lagi terkait proyek ini sejak November 2023, hingga muncul kabar terbaru awal tahun ini soal rencana tindak lanjut pengerjaannya.
Warga Wae Sano telah melakukan beragam cara untuk menyatakan sikap penolakan sejak proyek ini muncul.
Mereka melakukan aksi unjuk rasa setiap kali pemerintah dan perusahaan menggelar kegiatan di desa mereka, aksi protes di Labuan Bajo, hingga menulis surat kepada berbagai pihak terkait, termasuk Bank Dunia.
Mereka juga meminta dukungan dari lembaga-lembaga advokasi, seperti Jaringan Advokasi Tambang, Sunspirit for Justice and Peace, lembaga Gereja Katolik JPIC-SVD dan JPIC-OFM dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Keteguhan mereka menolak proyek itu juga berujung pada aksi protes terhadap Keuskupan Ruteng, menyusul perubahan sikap Uskup Siprianus Hormat, yang kendati semula mendukung sikap mereka, kemudian beralih berdiri bersama pemerintah dan perusahaan.
Mereka juga telah melakukan studi banding ke beberapa titik geothermal, baik di Flores maupun di daerah lain, seperti di Pulau Jawa.
Wae Sano merupakan salah satu dari beberapa titik geotermal di Flores, yang diklaim bagian dari transisi energi ke energi hijau atau bersih.
Kendati demikian, polemik terus mencuat di berbagai titik, setelah warga melihat dampaknya bagi hidup mereka.
Beberapa aksi penolakan diwarnai tindakan represif aparat keamanan, seperti yang dilakukan terhadap warga Poco Leok di Kabupaten Manggarai yang terus menolak proyek perluasan PLTP Ulumbu.
Baru-baru ini, Uskup Agung Ende, Msgr. Paulus Budi Kleden, SVD secara terbuka menyatakan sikap menolak proyek geotermal di wilayahnya. Selain mendukung resistensi warga, ia juga menyatakan bahwa keuskupan akan memberi bantuan kepada warga.
Pernyataannya muncul tidak lama setelah sejumlah semburan lumpur dan uap panas terjadi di sekita lokasi proyek geotermal Mataloko, Kabupaten Ngada, yang masuk wilayah keuskupannya.
Editor: Petrus Dabu