Floresa.co – Umat Katolik di Keuskupan Labuan Bajo merespons surat gembala Natal uskup mereka dengan harapan agar kata-kata yang dirumuskan tidak hanya sebatas slogan, tapi diwujudkan dalam langkah nyata berpastoral.
“Di mana peran Gereja di tengah perjuangan kami? Apa mesti harus tunggu berdarah-darah?” demikian respons Heri Jem, warga Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo dan umat Paroki Roh Kudus Labuan Bajo.
Pernyataan Heri menanggapi Surat Gembala Natal Uskup Maksimus Regus yang telah dibacakan di seluruh gereja paroki Keuskupan Labuan Bajo, yang secara administratif mencakup Kabupaten Manggarai Barat.
Dalam surat itu, Maksimus mengajak umatnya untuk “memperjuangkan dunia yang lebih adil di tengah krisis ekologis, ketidakadilan sosial, dan eksploitasi alam serta sesama.”
“Kita dipanggil hidup selaras dengan kehendak Allah, termasuk dalam memperlakukan ciptaan-Nya,” tulisnya.
Maksimus juga mengutip pernyataan Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si yang menyebut “bumi, rumah kita bersama sedang menderita akibat gaya hidup yang egoistis-destruktif.”
Natal, kata dia, adalah momen untuk bertanya: “Apakah kita sudah bertanggung jawab sebagai penjaga bumi dan saksi cinta Allah bagi sesama?”
Heri Jem selama beberapa tahun terakhir bersama warga lainnya dari Komunitas Racang Buka berjuang melawan alih fungsi Hutan Bowosie untuk proyek pariwisata karena sebagian dari lahan itu telah mereka kuasai bertahun-tahun.
Badan Pelaksana Otoritas Pariwisata Labuan Bajo-Flores [BPO-LBF] mengelola 400 hektar lahan kawasan itu setelah mendapat karpet merah penguasaannya lewat Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2018.
BPO-LBF, yang sejak 2021 statusnya menjadi Badan Layanan Umum, telah menamai kawasan itu sebagai Parapuar dan memasarkannya kepada para investor.
Heri, yang selama ini masih bertahan di lahan itu berkata, di tengah geliat pembangunan pariwisata di Labuan Bajo, tanpa disadari banyak kerusakan lingkungan yang dibuat karena kerakusan manusia.
Karena itu, ia berharap Uskup Maksimus dapat melihat secara jeli tentang “ketimpangan sosial yang terjadi karena penguasaan lahan oleh korporasi.”
“Isu ekologi yang diangkat [uskup] jangan hanya menjadi slogan semata. Jangan hanya [menjadi] isu lepas, lalu Gereja sendiri tidak kawal,” katanya kepada Floresa.
“Gereja harus mempunyai sikap yang relevan dengan perjuangan masyarakat,” tambahnya.
Sementara itu, Rofinus Rabun, warga Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang dan umat Paroki St. Mikael Nunang yang tengah berjuang menentang proyek geotermal berterima kasih kepada Maksimus karena “mengingatkan umatnya untuk menjaga bumi sebagai rumah bersama.”
Ia menyebut Wae Sano sebagai “surga” sehingga “kami akan terus berjuang melawan rencana eksplorasi dan eksploitasi geotermal.”
“Surga kami adalah tanah kelahiran kami. Itulah ruang hidup kami. Surga kami tidak mau dieksplorasi dengan dalil apapun,” katanya.
Rofinus juga meyakini bahwa Wae Sano adalah “rumah bersama” bagi para imam, biarawan/biarawati dan umat Keuskupan Labuan Bajo.
Karena itu, ia berharap agar elemen-elemen itu berjalan bersama umat di parokinya “menolak dengan tegas eksplorasi dan eksploitasi geotermal di Wae Sano.”
Ia juga berharap Uskup Maksimus “selalu mendoakan kami supaya penolakan kami selama kurang lebih delapan tahun terakhir tidak sia-sia.”
Proyek geotermal di Wae Sano menargetkan listrik 45 megawatt. Awalnya dikerjakan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur, belakangan yang muncul adalah PT Geo Dipa Energy.
Bank Dunia telah undur diri dari proyek itu karena kuatnya penolakan warga, diganti oleh pemerintah Indonesia, dengan skema Pembiayaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi.
Maksimus merupakan uskup pertama untuk Keuskupan Labuan Bajo yang baru diresmikan tahun ini, pemekaran dari Keuskupan Ruteng.
Keuskupan ini mencakup 25 paroki dan berpusat di kota Labuan Bajo, wilayah yang sejak 2019 ditetapkan sebagai destinasi wisata super prioritas oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Selama beberapa tahun terakhir, di wilayah ini terjadi sejumlah masalah sosial, khususnya yang terkait dengan pembangunan sektor pariwisata dan energi.
Dalam polemik geotermal di Wae Sano, sikap Gereja Katolik menjadi salah satu sasaran kritik warga, ketika Uskup Ruteng, Siprianus Hormat menulis surat kepada Presiden Joko Widodo pada 2022 mendukung proyek itu, menganulasi surat sebelumnya yang mendukung aspirasi warga.
Editor: Herry Kabut