Floresa.co – Jaringan bisnis taipan Tomy Winata masuk ke dalam wilayah Taman Nasional (TN) Komodo di Kabupaten Manggarai Barat melalui perusahaan yang menangani konservasi di habitat binatang langka komodo itu.
Melalui PT Palma Hijau Cemerlang atau PT PHC, grup usaha Tomy itu telah meneken Perjanjian Kerja Sama dengan Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), lembaga khusus di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menangani TN Komodo.
Keberadaan PT PHC ramai dibicarakan menyusul adanya pelarangan terhadap wisatawan yang berkunjung ke wilayah konsesinya di Pulau Padar bagian utara baru-baru ini.
Petugas keamanan PT PHC sempat beralasan pelarangan karena di wilayah itu akan dibangun hotel.
Hugo, seorang pemandu wisata di Labuan Bajo yang pada 6 April mengantar tamu ke Pulau Padar berkata, saat singgah di bagian utara, tepatnya di pos yang memiliki jetty atau dermaga kecil, “kami dilarang menikmati pantai oleh (petugas) yang jaga.”
Seperti dikutip Journalpost.id, Hugo berkata, orang yang melarang itu mengaku dari PT PHC.
Mereka kemudian disarankan untuk pergi ke Long Beach dan Pink Beach, beralasan atasannya segera datang untuk mengecek bangunan.
Saat Hugo menanyakan alasan melarang menikmati pantai, petugas itu memberitahu bahwa empat atau lima tahun ke depan akan dibangun hotel di kawasan tersebut.
Merespons hal ini, Kepala BTNK, Hendrikus Rani Siga, membantah tidak ada larangan masuk lokasi tersebut, “hanya diarahkan menuju lokasi yang memang untuk kegiatan wisata.”
Lokasi yang dikunjungi Hugo, kata Hendrikus, tidak masuk dalam zona yang bisa dikunjungi wisatawan.
Kalau melakukan aktivitas di luar zona wisata, kata dia, maka harus disertai Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi atau Simaksi.
Hendrikus menjelaskan, kehadiran PT PHC untuk mendukung kegiatan konservasi di Pulau Padar lewat Perjanjian Kerja Sama dengan BTNK.
Perjanjian bernomor PKS.38/T.17/KUM.3.1/10/2024 dan 001/P.X/OP-PHC/18/2024 tertanggal 18 Oktober 2024 itu mencakup area seluas 5.815,3 hektare untuk penguatan pengelolaan TN Komodo.
Penguatan tersebut termasuk secara kelembagaan, perlindungan pengamanan kawasan, pemberdayaan masyarakat, pengawetan flora dan fauna, pemulihan ekosistem serta pengembangan wisata alam di Pulau Padar dan sekitarnya.
Imas, perwakilan PT PHC juga membantah rencana pembangunan hotel di Pulau Padar, yang merupakan salah satu dari tiga pulau besar di TN Komodo, selain Pulau Komodo dan Rinca.
Dilansir Detik.com, ia menjelaskan, yang dibangun adalah gedung untuk tempat tinggal pegawai perusahaan “guna menjalankan kegiatan konservasi di Pulau Padar dan sekitarnya.”
PT PHC dan Tomy Winata
PT PHC merupakan anak perusahaan Artha Graha Peduli milik Tomy Winata.
Tommy pernah berkunjung ke Pulau Padar pada 29 Oktober 2024 bersama Kepala BTNK, Hendrikus Rani Siga, beberapa hari usai penandatanganan kerja sama.
Saat itu Tomy menyampaikan komitmennya terhadap pemulihan habitat baik di darat maupun laut.
Ia antara lain berencana meningkatkan populasi rusa hingga 1.000 ekor dan menjaga kelestarian ekosistem laut, termasuk terumbu karang, demi kelangsungan hidup berbagai satwa.
Mengklaim komodo di Pulau Padar hanya sekitar 34 ekor, ia berkata, “dalam beberapa tahun mendatang, populasi komodo bisa mencapai 70 ekor.”
Seperti dilansir RRI.co.id, Tomy juga menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat di tiga desa dalam kawasan TN Komodo, yakni Komodo, Pasir Panjang dan Papagarang.
Meski desa-desa ini berada di luar wilayah kerja PT PHC, katanya, dukungan dan kolaborasi dengan kepala desa tetap diharapkan.
Sementara Hendrikus Rani Siga menyatakan, kerja sama ini diharapkan dapat mengatasi keterbatasan anggaran, sumber daya manusia, serta sarana dan prasarana lembaganya.
“Kami berharap perjanjian kerja sama ini dapat mengefektifkan pengelolaan TN Komodo dengan adanya dukungan anggaran, keamanan kawasan, dan personel dari pihak mitra,” ujar Hendrikus kala itu.
Rencananya, kata dia, tidak lebih dari 100 tenaga kerja akan direkrut dari masyarakat lokal untuk mendukung upaya konservasi.
Mereka tidak hanya sebagai pekerja, tetapi juga penjaga kelestarian lingkungan, katanya.
Sempat Masuk Lewat PT Flobamor
Sebelum masuk lewat PT PHC, jaringan usaha Tomy Winata sempat masuk ke TN Komodo pada 2022 melalui PT Flobamor, perusahaan milik Pemerintah Provinsi NTT.
Dalam Perjanjian Kerja Sama dengan BTNK, PT Flobamor mendapat izin usaha di lahan seluas 712,12 hektare yang tersebar di tujuh lokasi berbeda di Pulau Komodo dan Pulau Padar.
Perjanjian itu diteken saat NTT dipimpin Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat, yang dikenal punya kedekatan personal dan bisnis dengan Tomy.
PT Flobamor yang kala itu berupaya memegang kendali pengurusan jasa wisata di kawasan itu pernah menggandeng Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) untuk melatih para pemandu wisata.
TWNC adalah nama kawasan konservasi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Provinsi Lampung. Sejak 1996, kawasan itu dikelola oleh PT Adhiniaga Kreasi Nusa, salah satu anak perusahaan jaringan Grup Artha Graha milik Tomy.
PT Flobamor tidak bertahan lama di kawasan TN Komodo karena protes luas warga, pelaku wisata dan aktivis terhadap kebijakannya yang secara drastis menaikkan tarif masuk ke Pulau Komodo mencapai 3,75 juta rupiah per orang atau 15 juta dalam sistem keanggotaan untuk 4 orang.
Selain itu, perusahaan itu juga dikritik karena tidak memiliki rekam jejak di bidang pariwisata maupun konservasi.
Pada Mei 2024, PT Flobamor akhirnya angkat kaki, diganti oleh PT Nusa Digital Creative dan PT Pantar Liae Bersaudara.
Menurut Kepala BTNK, Hendrikus Rani Siga, kedua perusahaan baru itu mengantongi “izin yang sama dengan PT Flobamor, yakni pengelolaan jasa pemanduan wisata alam di TN Komodo.” Hingga kini belum ada kabar aktivitas kedua perusahaan itu.
Saat Floresa mendatangi Kantor BTNK di Labuan Bajo pada 8 April untuk mencari tahu soal keberadaan dan aktivitas perusahaan-perusahaan ini, termasuk PT PHC, staf kantor itu beralasan pimpinan mereka sedang berada di Jakarta.
Mereka menolak berkomentar, beralasan semua informasi lewat satu pintu.
Seperti Apa Bentuk Bisnis PT THC?
Saat ini, belum ada informasi soal model bisnis PT PHC yang akan dikembangkan di wilayah konsensinya.
Venan Haryanto, peneliti yang satu dekade terakhir ikut mengkaji pembangunan pariwisata di Labuan Bajo berkata, kendati dibalut dengan klaim untuk mendukung konservasi, keberadaan perusahaan ini tentu punya tujuan bisnis.
Ia menyebut tujuan kerja sama dalam rangka penguatan fungsi pengelolaan TN Komodo adalah “istilah teknis yang perlu dijabarkan lebih lanjut.”
“Apa saja yang akan dilakukan? Bagaimana bentuknya? Dilakukan di zona mana? Penguatan konservasi atau ekonomi pariwisata?” katanya kepada Floresa.
Ia menjelaskan, penguatan fungsi ini dilakukan di atas lahan lebih dari 5.000 hektare di Pulau Padar, jauh dari luas zona pemanfaatan di pulau itu.
“Luas zona pemanfaatan di Pulau Padar 300an hektar dan hampir seluruhnya sudah dikuasai perusahaan lain, PT Komodo Wildlife Ecotourism, yang juga mengantongi izin di sana. Dengan begitu, 5000an hektar ini ada di zona mana saja?”
Ia juga mempertanyakan soal skema penguatan ekonomi bagi warga dalam kawasan TNK.
“Skema ini dilakukan dengan cara apa? Apakah dengan dua skema sebelumnya yang terus ditentang publik yaitu dengan pembangunan fasilitas pariwisata seperti hotel dan resort atau jasa pariwisata seperti pengelolaan eksklusif atas Pulau Padar dan Komodo yang pernah direncanakan oleh PT Flobamor?” kata Venan.
Ia menjelaskan, jangan-jangan sebagaimana model bisnis ekowisata lainnya yang dikembangkan Tomy di wilayah lain, hal serupa juga akan dilakukan di TN Komodo.
Venan merujuk pada model bisnis Tomy di TNBBS yang mengembangkan paket ekoturisme eksklusif dengan biaya wisata sebesar US$3.000 untuk tiga hingga empat malam.
Beberapa paket yang ditawarkan adalah Wildlife Photography, Wildlife Observation, Safari, Night Safari, Lake Safari, Jungle Tracking, Horse Riding, jogging dan camping.
Perusahaan Lain Pemilik Konsesi di TN Komodo
Selain PT PHC, terdapat sejumlah perusahaan lain yang masih memiliki konsesi di wilayah TN Komodo, yakni PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE), PT Sagara Komodo Lestari (PT SKL) dan PT Synergindo Niagatama (PT SN).
Semuanya belum beraktivitas karena derasnya protes publik yang mengkhawatirkan dampaknya bagi ekosistem di dalam kawasan.
PT SN awalnya mendapatkan hak konsesi pada tahun 2014 untuk lahan seluas 6,49 hektare di Pulau Tatawa, sebelah utara Pulau Padar.
Pada 2020 lahan konsesinya naik mejadi 15,32 hektare usai dua tahun sebelumnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meningkatkan ruang usaha di pulau itu menjadi 17.497 hektare.
Sementara PT KWE dan PT SKL, yang seperti PT SN mendapat konsesi melalui skema Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) dalam bentuk Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA), disebut akan membangun resor, villa dan jetty.
Izin dua PT itu masuk dalam daftar izin yang dievaluasi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 5 Januari 2022. Namun, sejauh ini belum ada kabar soal hasil evaluasi itu.
PT KWE memiliki konsesi seluas 274,81 hektar di Pulau Padar dan 154,6 hektare di Pulau Komodo. Sementara PT SKL diberikan konsesi lahan seluas 22,1 hektare di Pulau Rinca.
PT SKL sempat mulai melakukan aktivitas di Pulau Rinca pada 2018, namun berhenti setelah diprotes kelompok sipil.
Perusahaan ini merupakan milik David Makes yang pernah menjabat sebagai Ketua Tim Percepatan Pengembangan Ekowisata pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
David Makes adalah adik dari Yozua Makes, Pemilik Grup Plataran, yang menguasai berbagai bisnis pariwisata di ibukota dan di Labuan Bajo. Yozua juga memiliki kapal pinisi mewah yang pernah dinikmati mantan Presiden Joko Widodo saat kunjungan ke Labuan Bajo dan TN Komodo.
Pada 2022, Yozua Makes mengaku telah mengakuisisi PT SKL menjadi milik Grup Plataran.
Editor: Ryan Dagur