Yang Tak Layak Ditiru dari Pariwisata Bali untuk Labuan Bajo

Pemerintah sedang gencar bangun 10 Bali Baru, termasuk Labuan Bajo. Apa yang layak ditiru jadi catatan penting karena pariwisata Bali tidak lepas dari berbagai persoalan serius, seperti degradasi lingkungan dan  keterpinggiran warga lokal dari akses terhadap sarana produksi.

Judul Buku: Contemporary Bali: Contested Space and Governance; Penulis: Agung Wardana; Jumlah Halaman: xix + 289;  Tahun Terbit: 2019; Penerbit: Palgrave Macmillan


Telah lama diklaim sebagai yang terbaik di Indonesia, bahkan dunia, pariwisata Bali bukan tanpa masalah.

Problemnya justeru pelik dan sistemik, sebagaimana yang telah banyak diangkat dalam sejumlah kajian kritis.

Salah satunya adalah studi komprehensif Agung Wardana dalam bukunya yang berjudul Contemporary Bali: Contested Space and Governance (Bali Kontemporer: Ruang dan Pemerintahan yang Diperebutkan)

Menggunakan lensa ekonomi-politik, pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini menempuh rute yang berbeda dari penjelasan-penjelasan dominan terkait krisis pariwisata di Bali.

Baginya, masalah-masalah pariwisata seperti degradasi lingkungan, keterpinggiran warga lokal dari akses terhadap sarana produksi [tanah] dan kemiskinan merupakan dampak langsung dari dominasi ekonomi-politik pariwisata kapitalistik.

Dalam penelusurannya, sejak awal mulai dikembangkan pada era Orde Baru hingga era desentralisasi sekarang ini, kebijakan pariwisata di Bali terus memfasilitasi kaum pemodal dan pengusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari sumber daya yang ada.

Mengkritisi Tiga Perspektif Arus Utama

Agung berusaha melawan tiga konstruksi cara berpikir yang selama ini dominan dipakai ketika menjelaskan masalah pariwisata di Bali.

Ketiga cara berpikir tersebut yaitu teori pilihan rasional, perspektif konservatif dan pendekatan institusionalisme.

Ketiga cara berpikir itu, menurut dia, cenderung mengabaikan faktor-faktor ekonomi-politik seperti isu-isu ketidakadilan akses, ketimpangan relasi kuasa sebagai akar utama krisis pembangunan pariwisata di Bali.

Perspektif pilihan rasional misalnya dominan dipakai ketika menjelaskan masifnya peralihan lahan-lahan pertanian (subak) menjadi kawasan investasi pariwisata melalui pembangunan infrastruktur seperti hotel, restoran atau vila.

Secara sederhana, teori pilihan rasional berpendapat bahwa tindakan yang diambil oleh seseorang/sekelompok orang semata didasarkan pada kalkulasi untung rugi atas suatu hal.

Menggunakan cara pandang ini, Pemerintah Provinsi Bali menjelaskan bahwa alasan para petani menjual tanah adalah karena mereka merasa pertanian tak lagi menguntungkan. Tingginya biaya untuk membeli pupuk, benih, dan biaya-biaya produksi yang lain berbanding terbalik dengan hasil yang didapatkan.

Dengan kata lain, cara pandang pilihan rasional melihat bahwa konversi lahan yang masif di Bali semata terjadi karena kalkulasi efisiensi dalam sektor pertanian itu sendiri.

Sementara itu, cara pandang konservatisme beranggapan bahwa masalah pariwisata di Bali merupakan dampak yang tak terelakkan dari globalisasi dan modernisasi, yang menggerus nilai-nilai kebudayaan asli orang Bali. Spiritualisme Hindu orang Bali misalnya telah digantikan oleh nilai-nilai dari luar seperti individualisme, hedonisme atau konsumerisme.

Yang bermasalah dari cari pandang ini, demikian ditulis dalam buku ini, adalah ketika itu berkaitan dengan ekonomi.

Argumen ini tidak lagi melihatnya dalam konteks pertarungan kelas yaitu posisi keterpinggiran warga Bali dari akses terhadap sarana produksi seperti tanah. Yang justeru ditekankan adalah berpikir dalam kerangka identitas kebudayaan, orang Bali versus bukan orang Bali.

Dengan kata lain, ketimbang melihat dampak lingkungan, ekonomi, dan kebudayaan yang berakar kuat pada struktur ekonomi-politik industri pariwisata, tanggapan yang lebih dominan justru diarahkan pada politik identitas yang sempit tentang “Kebalian” (Balinesenes).  

Sementara itu, perspektif institusionalis beranggapan bahwa desain institusi yang tepat merupakan kunci keberhasilan utama dari pariwisata Bali.

Bertolak dari cara pandang seperti ini, sejumlah akademisi di Bali berpendapat bahwa fungsi otonomi daerah yang dijalankan pada level pemerintah kabupaten/kota sangat tidak cocok, dengan mempertimbangkan kondisi geografi, ekologi, ekonomi dan situasi kebudayaan Bali.

Menurut mereka, desain institusi baru yang disebut “satu pulau satu manajemen” di bawah Pemerintah Provinsi Bali lebih tepat untuk dapat mengawasi pembangunan atau investasi yang berdampak lintas wilayah otonomi kabupaten atau kota.

Konsep ini pun secara politik mendapat momentum dengan disahkannya produk UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Mendorong distribusi ekonomi pariwisata yang lebih merata, penyatuan kembali kebudayaan Pulau Bali, menekan praktik rent-seeking pada level kabupaten diklaim dapat dicapai melalui desain institusional yang baru ini.

Konsekuensinya, area-area yang signifikan secara potensi ekonomi, lingkungan dan budaya, yang ada dalam wilayah administrasi kabupaten/kota dijadikan sebagai bagian dari Kawasan Strategis Provinsi (Provincial Strategic Area).

Beberapa area utama yang dibahas dalam buku ini seperti kompleks Candi Uluwatu (Bab 4), area persawahan Jatiluwih (Bab 5) dan Teluk Benoa (Bab 6). Intervensi atas wilayah-wilayah ini pun kemudian menjadi wewenang Pemerintah Provinsi.

Penulis buku ini menilai kebijakan reorganisasi ruang itu bukanlah sesuatu yang muncul dalam ruang kosong, tanpa konteks pertarungan kepentingan tertentu. Ia menyoroti fenomena elite capture yang selama ini menjadi sorotan utama terhadap desentralisasi sebagai desain institusi di Indonesia.

Situasi di lapangan, demikian yang ia temukan, dengan jelas membuktikan bahwa desain “satu pulau satu manajemen” justru melayani kepentingan ekonomi-politik para elite di Bali.  

Dengan demikian, baik otonomi khusus Pemerintah Kabupaten maupun Pemerintah Provinsi, keduanya sama sekali tidak mengarah kepada distribusi pendapatan yang adil bagi warga. 

Dua-duanya sama sekali tidak imun terhadap fenomena elite capture.

Contoh Kasus: Polemik Reklamasi Teluk Benoa

Kita bisa belajar dari salah satu polemik terkenal di Bali, terkait reklamasi Teluk Benoa, salah satu yang disorot dalam buku ini.

Alih-alih diklaim dalam rangka revitalisasi kondisi lingkungan setempat, kebijakan pemerintah menyerahkan pengelolaan kawasan tersebut kepada sektor swasta yaitu perusahaan Tirta Wahana Bali International [TWBI], milik pengusaha Tomy Winata, justru memperlihatkan kenyataan bencana ekologi dan sosial yang disebabkan oleh model kebijakan yang hanya menguntungkan kepentingan para elite.

Rencana reklamasi ini mendapat perlawanan keras dari berbagai kalangan, mulai dari warga setempat [nelayan, petani rumput laut], pekerja pariwisata, organisasi-organisasi lingkungan hingga berbagai forum masyarakat sipil.

Yang menarik adalah bagaimana buku ini menyingkap berbagai strategi pembenaran rencana pengelolaan oleh PT TWBI ini yang mengabaikan isu-isu ekonomi-politik yang telah lama menjadi dasar sikap kritis warga Bali.  

Pertama-tama, telah lama menjadi memori kolektif warga Bali bahwa krisis lingkungan yang terjadi di kawasan Teluk Benoa tidak terlepas dari pembangunan yang masif dan sangat kolusif sejak Orde Baru.

Sebagai contoh, sementara diklaim sebagai upaya mengembangkan potensi pariwisata laut di Provinsi Bali, kebijakan Tata Ruang Provinsi tahun 1995 dengan jelas justru hanya menyiapkan basis legal bagi penguasaan atas kawasan sekitar Teluk Benoa oleh Bali Turtle Island Development [BTID] dan Bali Benoa Marine (BBM) yang dua-duanya merupakan milik keluarga Soeharto.

Dalam perjalanannya, proyek reklamasi di Teluk Serangan dekat Teluk Benoa oleh BTID telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang hingga sekarang ini terus dikritik warga Bali.

Abai terhadap krisis lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas kedua perusahaan ini, berbagai pihak, secara khusus pemerintah, malah datang dengan pandangan yang berbeda.

Degradasi lingkungan di Teluk Benoa, demikian klaim pandangan ini, ditimpakan kepada faktor-faktor lain, mulai dari keadaan geografis sebagai muara dari sungai, kondisi demografi dengan padatnya jumlah penduduk, serta rendahnya kesadaran lingkungan dari penduduk setempat. 

Atas dasar itu, pengelolaan kawasan ini penting dilakukan oleh pihak yang lebih profesional.

Tak hanya dari sisi lingkungan, pengelolaan ini juga diklaim akan mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar.

Bagi TWBI, demikian diuraikan dalam buku ini, merancang pulau-pulau buatan melalui reklamasi ini lebih menguntungkan secara ekonomi ketimbang membeli lahan dengan luas serupa di Bali.

Pandangan ini kian diperkuat oleh Pemerintah Provinsi Bali yang mengatakan proyek ini sangat penting dalam rangka membuka lapangan pekerjaan.

Demi membenarkan proyek ini, TWBI bersama pemerintah juga menggunakan rekomendasi beberapa ahli yang melibatkan beberapa universitas seperti Universitas Udayana, Universitas Hasanudin Makasar, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor dan Institut Teknologi Surabaya.

Kelompokuniversitas ini memberi rekomendasi akan pentingnya reklamasi Teluk Benoa Bali.

Condong kepada rekomendasi ini, perusahaan dan pemerintah pun dengan sengaja mengabaikan studi yang dilakukan oleh Conservation International, suatu organisasi lingkungan internasional yang merekomendasikan area sekitar teluk seperti Sanur Kauh, Pamongan dan Teluk Benoa akan mengalami banjir jika reklamasi berlanjut.

Hal lain yang juga tidak kalah menarik adalah bagaimana TWBI membenarkan proyek ini atas mandat studi Amdal yang dilakukan oleh lembaga Widya Cipta Buana Bandung.

Proses ini terjadi di Jakarta bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan ketiadaan partisipasi publik.  Menurut penulis buku ini, proses tersebut tak ubahnya strategi untuk membuat suatu proyek makin jauh dari ruang politik lokal.

Untuk ‘Bali Baru’ Labuan Bajo

Mengupas secara mendalam dan kritis mengenai kondisi terkini pariwisata di Bali, buku ini hadir di saat yang tepat kala Pemerintah Indonesia, sejak 2016, berambisi mencetak 10 Bali baru.

Dengan membaca buku ini, sejak awal kita setidaknya disuguhkan suatu cara pandang bahwa pariwisata Bali tidak layak ditiru, terutama soal model pengelolaannya yang kapitalistik, sehingga justru hanya menyisakan dua soal yang sistemik.

Pertama, eksodus penguasaan sumber daya ke tangan-tangan pebisnis, politis, oligarki. Kedua, krisis ekologi dan sosial yang berdampak buruk bagi bagi warga dan lingkungan setempat.

Sinyalemen serupa telah terjadi di kota Labuan Bajo, NTT, salah satu dari 10 Bali Baru.

Sementara terus diklaim dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warga, pembangunan pariwisata di Labuan Bajo justru dengan jelas memperlihatkan konsentrasi penguasaan sumber-sumber daya agraria [tanah, hutan, pantai, laut] ke tangan para pebisnis, atau “orang-orang Jakarta” dalam terminologi warga setempat.

Model pengelolaan telah melahirkan gerakan perlawanan yang keras dari publik Labuan Bajo. Hingga sekarang, warga terus mengkonsolidasi diri, mengkritik pembangunan dalam kawasan Taman Nasional Komodo [TNK[ yang dinilai membahayakan konservasi dan masa depan wisata komunitas, penguasaan atas pulau-pulau kecil di sekitar kawasan itu, privatisasi kawasan pantai, deforestasi kawasan Hutan Bowosie, hingga pembangunan jalan ke Golo Mori, wilayah selatan Labuan Bajo, tanpa ganti rugi untuk rumah dan lahan warga.

Soal lain adalah proyek geothermal Wae Sano sebagai sumber energi untuk investasi pariwisata yang membahayakan ruang hidup masyarakat adat setempat.

Buku ini menjadi sangat penting untuk dibaca, baik oleh para pengambil kebijakan maupun bagi warga. Pemerintah perlu sekali membaca buku kritis seperti ini, agar memiliki panduan konsep yang tepat dalam merancang pembangunan pariwisata.

Sementara itu, bagi warga dan segenap elemen sipil, buku ini semacam vitamin penambah energi untuk terus bersikap kritis terhadap klaim-klaim kemajuan, kesejahteraan di balik berbagai macam proyek pariwisata.

Literasi Lainnya

Belajar dari Kisah Hidup dan Pemikiran Karl Marx

Pemikiran Marx masih relevan untuk membaca situasi terkini di tengah ekspansi kapitalisme, termasuk di Flores

Ambil Berkat dari Laut, Keyakinan Orang Lamalera Soal Penangkapan Paus

Meski judul buku Robert Harrison Barnes mengandung kata "hunters" yang berarti “para pemburu,” ia tak sekalipun menyebut “pemburu” untuk nelayan Lamalera pada setiap halaman

Memperjuangkan Ruang Hidup Bersama: Apa yang Bisa Warga Flores Pelajari dari Perjuangan di Marinaleda, Spanyol?

Selain kepemimpinan merakyat, Marinaleda juga dibentuk oleh solidaritas yang kuat, komitmen perjuangan dan utopia

Artikel Terbaru

Banyak Dibaca