Konservasi Komodo di Riung dan Upaya Pelibatan Pengetahuan Tradisional Masyarakat Adat

Bagaimana pengetahuan tradisional masyarakat adat diakomodasi, tidak diabaikan begitu saja, menjadi tantangan dalam upaya konservasi satwa seperti komodo.

  1. Judul kajian: Protecting the Mbau Komodo in Riung, Flores: Local Adat, National Conservation and Ecotourism Developments; Penulis: Halia Asriyani dan Bart Verheijen, Jumlah halaman: 14, Tahun terbit: 2020; Penerbit: Forest and Society. Vol. 4(1)
  2. Judul kajian: Community Perception Surrounding Riung National Park to the Conservation of Komodo Dragon; Penulis: Willem Amu Blegur et al.; Jumlah halaman: 6; Tahun terbit: 2020; Penerbit: Sciscitatio Vol. 1, No. 2

 

Jauh sebelum gerakan konservasi bermula, sejumlah komunitas yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat telah turun-temurun meyakini konsep akan pemeliharaan dan penghormatan bagi alam.

Pengetahuan tradisional selama berabad-abad tersebut bersumber dari observasi sekaligus interaksi langsung dengan alam. Berproses melintasi waktu, kearifan itu tertanam dalam kesatuan kosmologi: menjunjung kehidupan, meyakini alam yang suci sekaligus mengakui manusia sebagai bagian dari keduanya.

Itulah mengapa kepemilikan, pengelolaan dan penempatan suatu wilayah tak pernah dilakukan secara besar-besaran. Masyarakat adat mengambil dan mengolah secukupnya dari alam untuk pertama-tama memenuhi kebutuhan dasar.

Selain dapat menjaga keseimbangan lingkungan, cara-cara praktis yang dikenal sebagai ekonomi subsisten tersebut dapat memajukan kesejahteraan dan resiliensi masyarakat adat. 

Tetapi, agaknya kini harus disertai catatan: bila tak mendapat intervensi dari pemodal ekstraktif.

Bagi pemodal ekstraktif, profit berarti uang. Bagi masyarakat adat, profit berarti kehidupan baik yang bersumber dari tanah dan laut.

Di sela-sela tujuan yang tak berkesesuaian itu, masyarakat adat harus ketambahan tanggungan beban. 

Kali ini urusannya dengan filosofi konservasi — dan di dalamnya tetap menyangkut pemodal. 

“Membayar Harga” Konservasi

Perlindungan bagi satwa tertentu dan habitatnya, pariwisata serta industri tak jarang tindih-menindih dalam kredo konservasi.

Beberapa tahun belakangan masyarakat adat bahkan harus “membayar harga” yang brutal dalam upaya konservasi dengan dalih demi pelestarian satwa seperti komodo. 

Kita dapat kembali menelusuri buktinya dalam upaya peminggiran terhadap masyarakat adat Ata Modo di Pulau Komodo.

Komodo, satwa yang oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) ditetapkan terancam punah (Red List) pada 2021 itu memang sudah sepatutnya — dengan sungguh-sungguh dan tanpa embel-embel apapun—dijaga dan dilestarikan.

Tetapi, catat Halia Asriyani dan Bart Verheijen, “upaya konservasi keanekaragaman hayati di Wallacea acapkali kompleks. Upaya konservasi seringkali berbenturan dengan keberagaman dan kepentingan lokal, termasuk mata pencaharian masyarakat di kawasan konservasi.”

Nusa Tenggara Timur tercakup dalam kawasan biogeografis Wallacea — mengimbuh nama penjelajah, antropolog sekaligus ahli geografi Alfred Russel Wallace. Wallacea tercatat sebagai kawasan dengan keanekaragaman hayati yang beragam dan ekosistem luas, tetapi disertai laju penurunan habitat yang tinggi.

Di Wallacea, tulis keduanya, masyarakat adat “terkadang dianggap sebagai penghambat agenda konservasi.” 

Akibatnya masyarakat adat, yang tiba-tiba dilarang melakukan beberapa aktivitas di tanah ulayat mereka, secara reaktif maupun pasif menolak upaya konservasi.

Membakar Sabana

Untuk menggambarkan dinamika konservasi pengelolaan negara dan suara masyarakat adat yang tereduksi, Asriyani dan Verheijen mengambil studi kasus masyarakat adat Baar di Desa Sambinasi, Riung, suatu kecamatan di utara Pulau Flores. 

Tak ubahnya komunitas Ata Modo di Pulau Komodo, masyarakat adat Baar juga berbagi ruang hidup dengan komodo di Sambinasi.

Sementara itu dalam kajian terpisah, Willem Amu Blegur et al. mengambil studi kasus di tiga desa di Riung: Benteng Tengah, Nangamese and Latung.

Ukuran komodo di Riung cenderung lebih mungil dibanding yang hidup di habitat Taman Nasional Komodo. 

Ekosistem sekitar Sambinasi berupa sabana, hutan bakau dan hutan ekoton (zona transisi antara sabana dan hutan vegetasi rapat).

Masyarakat adat memiliki upacara adat yang berhubungan dengan persiapan dan permulaan musim tanam. 

Disebut “Larik” atau “Caci”, upacara adat ini diawali dengan tradisi berburu rusa. Perburuan berlangsung selama tiga hari. Lumrahnya, mereka akan lebih dulu membakar sabana untuk “mengusir” rusa dari tempat persembunyian.

Asriyani dan Verheijen mencatat beberapa tahun lalu “belasan rusa ditangkap selama tiga hari perburuan.” Rusa merupakan salah satu mangsa komodo. 

Beberapa pemerhati konservasi komodo menganggap upacara perburuan rusa sebagai salah satu penyebab penurunan populasi komodo, meski kedua peneliti tak secara rinci menyebutkan jumlah dan periode penyusutan komodo dalam kajiannya. 

Sementara itu di tiga desa lain di Riung, bertahun-tahun silam masyarakat adat membakar sabana secara kecil-kecilan guna merangsang pertumbuhan rumput muda. Mereka membutuhkan rumput muda sebagai pakan ternak.

Penetapan Taman Wisata Alam 17 Pulau Riung diikuti pelarangan pembakaran sabana.

Larangan menyebabkan warga harus menggembalakan ternak lebih jauh dari kampung. Pada saat yang sama, kawanan rusa, yang menyukai rumput muda alih-alih yang tua, menjauh dari sabana. 

Ketiadaan rusa di sabana membuat pemangsaan komodo terhadap ternak kian meningkat.

Masyarakat yang penghidupannya turut bergantung pada ternak lalu menganggap komodo sebagai “hama yang harus diberantas,” tulis Willem dan dua rekan penelitinya.

Namun, persepsi itu kemudian pelan-pelan berubah, sesuai hasil penelitian ketiganya. Sebagian besar masyarakat adat kini “memahami komodo membutuhkan kanopi sabana untuk berburu mangsa” sehingga mereka membatasi pembakaran lahan.

Tetapi praktik pembakaran sabana secara kecil-kecilan juga tak bisa disalahkan. Aktivitas itu membantu rusa mendapat rumput muda dan segar, sumber asupan terbaik mereka. Apalagi praktik tersebut dilakukan di tanah ulayat mereka.

Pendekatan konservasi apapun seharusnya mampu memenuhi hak masyarakat adat akan keamanan tenurial di tanah ulayat mereka sendiri. 

Jika begitu, lalu pendekatan konservasi seperti apa yang terbaik bagi masyarakat adat di Riung?

Perbandingan Klise, Tapi Membantu

Mula-mula konservasi komodo di Riung—dalam bahasa setempat, “Mbau”—berlandaskan pendekatan berbasis kebijakan dan arahan-arahan operasional (top-bottom).

Jumlah pemangku kepentingan yang terlibat dalam upaya top-bottom seringkali besar dan persaingan kepentingannya rumit. 

Bayangkan saja ketika mesti mengkoordinasikan semua orang yang terlibat demi mencapai suatu konsensus. Tantangannya besar dan acapkali sulit diatasi.

Sementara pendekatan top-down mendorong perubahan perilaku melalui kebijakan, pendekatan bottom-up berusaha sebaliknya: memengaruhi kebijakan melalui perilaku.

Dalam pendekatan ini, suatu tindakan individu dapat berdampak besar ketika diadopsi oleh sejumlah besar orang. Kuncinya adalah duduk bersama, berdialog dan bersepakat untuk bersama-sama mengimplementasikan taktik terbaik.

Perbandingan yang klise, memang, tetapi membantu untuk mengurai kompleksitas konservasi dengan tetap memetakan manfaat bagi masyarakat adat Baar.

Guna menjawab pertanyaan itu, Asriyani dan Verheijen melakukan wawancara dengan enam tokoh masyarakat, dua tokoh adat, delapan penduduk dewasa di desa tersebut serta tiga anggota komunitas muda.

Selain itu, penelitian juga dilakukan melalui pengumpulan data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Riung, Dinas Pariwisata Riung dan organisasi Komodo Survival Program berbasis Bali.

Kedua peneliti berkesimpulan, salah satunya, bahwa upaya bottom-up melalui pertemuan adat mampu menjadi penyeimbang konservasi.

Dalam pertemuan adat itu, masyarakat adat Baar menyepakati beberapa pembatasan dan larangan aktivitas tertentu yang disebut “Pirong”.

Upaya tersebut juga dinilai efektif bagi masyarakat adat Baar untuk mengklaim kembali tanah ulayat mereka yang bersinggungan dengan kawasan konservasi.

Apa Prioritasnya?

Meski demikian, kedua peneliti membubuhkan catatan khusus soal potensi ekoturisme di kawasan konservasi Sambinasi.

“Sejumlah kajian budaya sudah sejak lama menganalisis konsekuensi ekoturisme yang berpotensi mengubah keaslian masyarakat adat setempat,” tulis mereka.

Perubahan itu mungkin sekali diikuti pergeseran sosial-budaya dan hilangnya warisan adat yang akan terus terpapar tujuan-tujuan ekonomi. 

Ekoturisme menghasilkan uang. Jika prioritas pemerintah adalah menghasilkan uang dari konservasi, sama artinya meminggirkan kosmologi dan, akhirnya, masyarakat adat itu sendiri.

Sementara itu, masyarakat adat secara berkelanjutan mengamati perubahan lingkungan hidup hingga beberapa generasi, membuat mereka fasih mengenali pola-pola alam.

Pengetahuan dan keahlian inilah yang sebetulnya kita butuhkan untuk mengatasi perubahan iklim sekaligus mengurangi dampak berbahayanya.

Kita bisa setuju dengan tujuan konservasi. Tetapi jika kawasan konservasi dikuasai pemodal yang lantas meminggirkan hak-hak masyarakat adat, lantas, apa gunanya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kami bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.