Arwah Berkomunikasi dengan Orang yang Masih Hidup; Bagaimana Terjadi dan Diyakini oleh Orang Manggarai?

Berbeda dengan tema lainnya yang banyak dikupas tentang komunikasi antara orang-orang yang hidup dengan arwah, kajian tiga pengajar di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero yang diuraikan dalam artikel ini mengulas fenomena sebaliknya, yaitu komunikasi antara arwah dengan orang-orang yang masih hidup.

Judul kajian: Studi Kritis atas Kepercayaan Orang Manggarai–Flores tentang Komunikasi antara Arwah dengan Orang-orang Hidup; Penulis: Bernardus Raho, Alexander Jebadu dan Kletus Hekong; Jumlah halaman: 15; Tahun terbit: 2023; Penerbit: Jurnal Ledalero Vol. 22 No. 1


Pada 03 Maret 2007, seorang imam Katolik asal Manggarai bernama, Pater Kletus Hekong, SVD menerima kabar buruk dari kampungnya.

Keponakannya, bersama istri dan dua anaknya meninggal karena diterjang longsor.

Marah kepada Tuhan, orang tua dan kakek-nenek yang sudah berpulang, Kletus berseru-seru: “Mengapa Tuhan membiarkan keluarga saya mengalami kesedihan luar biasa? Di mana kakek, nenek dan orang tua  yang sudah meninggal dunia? Tak bisakah mereka mencegah bencana itu terjadi?”

Kemarahannya mengendap hingga berbulan-bulan kemudian. Hingga suatu siang, ia tiba-tiba merasa sangat mengantuk, tertidur dan didatangi mendiang ayahnya dalam mimpi. Ayahnya bertanya dalam mimpi itu: “Mengapa anak Pater marah kepada kami?” 

Tak menyia-nyiakan kesempatan, Kletus meluapkan kemarahan; “Ayah ada di mana saat keempat cucumu meninggal akibat tanah longsor?” Sang ayah menjawab singkat, “Ada utang.”

Rupanya dulu, mendiang ayah dan ibu Kletus tak menepati janji mengadakan kenduri disertai pemotongan kerbau (paki kaba) kala kakek-neneknya berpulang. Mereka hanya mampu menyembelih kambing lantaran uang belum cukup.

Meski awalnya pesimistis, Kletus berusaha mencari cara agar paki kaba dapat terlaksana. Dengan bantuan seorang imam lain, ia akhirnya mampu memenuhi janji yang belum sempat ditepati kedua orang tuanya.

Sesudahnya, satu demi satu berita kelahiran mewarnai hari-hari keluarga besar Kletus.

Kisah lain tentang sepasang keluarga Manggarai yang sukses berbisnis di Surabaya, Jawa Timur. 

Tibalah suatu masa, sang suami – katakanlah namanya Yohanes – jatuh sakit dengan diagnosis yang berganti-ganti.

Oleh dokter, ia awalnya dinyatakan menderita kanker prostat. Tak lama berselang, kanker prostat menghilang, berganti dengan kanker paru-paru. Kanker paru-paru lalu dinyatakan sembuh. Tetapi ia lalu sulit buang air kecil. Ternyata, ia dinyatakan gagal ginjal.

Setelah upaya medis di rumah sakit tidak membuahkan hasil, sang istri yang kebingungan kemudian meminta keluarganya di Kampung Rego, Manggarai Barat, mencari penyembuhan alternatif dengan menanyai paranormal. Dalam kondisi trans atau setengah tak sadar, paranormal didatangi arwah yang bernama Yusuf.

Kepada Yusuf, Rio – kemenakan dari Yohanes – bertanya, “Kamu siapa?” Yusuf menjawab, “Saya adalah anak yang Yohanes dan istrinya gugurkan. Mereka tak pernah memperhatikan dan mendoakan saya.”

Ketika roh Yusuf pergi, muncul arwah ibu Yohanes. Kepada Rio, arwah itu berkata: Dia sakit karena dosanya sendiri. Mereka juga tidak memperhatikan anak yang sudah mereka gugurkan. Mereka juga belum mengucap syukur ketika berhasil dalam usaha,” kata ibu Yohanes.

Sepulang dari juru tenung, keluarga dari kampung menyampaikan semua temuan itu kepada Yohanes dan istrinya.

Mereka berdua pun memutuskan akan mengadakan ucapan syukur secara adat di Kampung Rego, sambil bernazar: “Kalau saya sembuh total, saya akan laksanakan janji saya. Saya akan buat itu pada bulan Juni 2022.”

Sejak bulan April 2022, perlahan-lahan semua penyakit yang dideritanya menghilang. Semuanya sehat dan normal kembali.

Yohanes dan istrinya kemudian kembali ke kampung untuk memenuhi nazar mereka. Selama tiga hari, bersama keluarga di kampung, mereka melaksanakan acara syukuran adat.

Komunikasi Arwah dengan Orang yang Masih Hidup

Dua cerita di atas adalah bagian dari empat kisah yang dinarasikan dalam artikel berjudul “Studi Kritis atas Kepercayaan Orang Manggarai – Flores tentang Komunikasi antara Arwah dengan Orang-orang Hidup.”

Kletus, si penutur merupakan salah satu penulis artikel itu, selain Bernardus Raho dan Alexander Jebadu. Semuanya imam Katolik, pengajar di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif, kampus berbasis di Ledalero, Kabupaten Sikka, yang sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi.

Dalam artikel yang diterbitkan di Jurnal Ledalero itu, mereka mencari jawaban tentang keyakinan masyarakat adat Manggarai di Flores barat akan fenomena arwah berkomunikasi dengan orang-orang hidup.

Para penulis berangkat dari keyakinan bahwa ada kehidupan sesudah kematian, sebagaimana dipercayai oleh banyak suku bangsa dan diamini agama-agama besar seperti Yahudi, Kristen, Islam, Hindu dan Budha.

Hal itu terungkap lewat bermacam-macam ritual untuk membangun komunikasi dan relasi dengan leluhur. 

Di Manggarai, misalnya, ada ritus teing hang yang berarti memberi makan kepada leluhur.

Sementara ritus ini, juga ritus serupa yang dipraktikkan di tempat-tempat lain dengan nama yang berbeda, “menunjukkan satu arah komunikasi yakni komunikasi antara orang-orang yang hidup dengan arwah,” kajian ketiganya berusaha mengurai fenomena sebaliknya, “komunikasi antara arwah dengan orang-orang yang masih hidup.”

Kajian untuk fenomena ini, kata mereka “belum banyak dieksplorasi.” “Kalaupun ada, mungkin tidak banyak orang percaya atau mengetahui bahwa ada komunikasi seperti itu.”

Untuk mengurai hal itu, dengan pendekatan kualitatif, mereka mewawancarai 63 partisipan di Manggarai dan mengumpulkan “puluhan kesaksian,” meski hanya empat yang dituturkan dalam kajian itu karena “keterbatasan ruang.”

Upacara “penti,” syukuran panen di Kampung Wela, Kabupaten Manggarai pada 2012. Tampak dalam foto ini sebuah “Compang” dengan salib di atasnya.(Foto: Facebook Ino Jemabut)

Tidak Masuk Akal, Tetapi Faktual:  Cara Berbeda Memahami Kebenaran

Dari kesaksian-kesaksian yang dikumpulkan, ketiga penulis menyimpulkan bahwa fenomena arwah berbicara dengan orang hidup adalah “sesuatu yang riil.” Mereka menyebut hal ini “sering dianggap tidak masuk akal, tetapi faktual.”

Apakah fenomena-fenomena yang “tidak masuk akal, tetapi faktual” itu bisa dijelaskan sehingga bisa dipahami dan diterima dari segi keilmuan adalah pertanyaan yang kemudian mereka ajukan.

Ketiganya mencari jawaban dengan menggunakan tiga perspektif, masing-masing adalah postmodernisme, fenomenologi dan etnometodologi.

Postmodernisme meyakini pengetahuan manusia terbatas dan dibentuk oleh konteks zamannya masing-masing. Dalam postmodernisme, tak satupun pengalaman hidup menjadi yang paling benar.

Dengan kacamata ini, mereka menyimpulkan bahwa pokok- pokok pikiran yang dikemukakan oleh postmodernisme, terutama tentang penolakan metanarasi dan pengakuan akan mininarasi, bisa digunakan sebagai salah satu perspektif untuk bisa memahami fenomena atau narasi tentang komunikasi antara arwah dengan orang-orang hidup.

“Pengalaman-pengalaman yang ditunjukkan dalam data penelitian ini memang tidak rasional, tetapi faktual, karena benar-benar terjadi,” tulis mereka.

Menyitir pandangan filsuf postmodernisme Jean-François Lyotard bahwa rasio bukanlah satu-satunya fakultas yang dapat diandalkan untuk mendekati realitas, tetapi juga peran-peran non-rasional seperti perasaan, kehendak, keinginan, emosi dan kemampuan manusiawi dalam menangkap realitas atau kebenaran, mereka menyepakati bahwa hasil penelitian itu sejalan dengan hal-hal yang non-rasional itu.

Sementara itu fenomenologi meyakini pengalaman yang tertangkap indra turut membentuk bagaimana seseorang melihat dunia dan lingkungan sekitarnya. Secara sadar, seseorang mengkonstruksi pengalaman pribadi dan memberi nilai terhadapnya. Mereka berpendapat bahwa komunikasi arwah dengan orang-orang yang masih hidup bisa dipahami dan dijelaskan dari perspektif ini.

Mereka menyebut kesaksian-kesaksian yang dimuat dalam kajian ini adalah “bagian dari lifeworld atau everyday life yang memang menjadi tema sentral dari fenomenologi.

Pengalaman komunikasi dengan arwah seperti yang dilaporkan dalam penelitian ini merupakan fenomena-fenomena yang diterima melalui indera dan benar-benar terjadi. Hal ini juga merupakan obyek kajian dari fenomenologi,” tulis ketiganya.

Perspektif etnometodologi memusatkan perhatian pada bagaimana masyarakat biasa, alih-alih ilmuwan, memaknai kehidupan sehari-hari. Secara sederhana, ilmu ini meyakini setiap orang, apapun latar belakangnya, berhak membubuhkan makna pada pengalaman hidup mereka sendiri.

Misalnya terkait cerita Kletus dan Yohanes. Sakit dan bencana dimaknai sebagai akibat dari kesalahan-kesalahan yang dibuat pada masa lampau, terhadap leluhur. Sementara sehat akan diperoleh jika mereka melakukan apa yang dikehendaki oleh para leluhur.

Ketiganya menegaskan, dalam pengalaman Yohanes, “syukur tidak cukup dinyatakan di dalam intensi misa di gereja tetapi harus ditunjukkan dalam ritual adat untuk menginformasikan kepada para leluhur akan semua berkat yang mereka peroleh dari Tuhan.”

Bercermin pada tiga perspektif ini, para penulis berkesimpulan bahwa komunikasi antara arwah dengan orang-orang yang masih hidup “adalah riil dan benar-benar terjadi.”

“Hal tersebut bahkan bisa dipahami dan diterima secara akademik,” tulis ketiganya. “Komunikasi itu terjadi melalui orang-orang yang disebut paranormal atau medium dan melalui mimpi-mimpi,” tulis ketiganya.

Menghargai Keyakinan yang Hidup dan Transformatif

Kajian ini setidaknya memberi tempat pada penghargaan terhadap keyakinan-keyakinan yang lahir dan berkembang di dalam komunitas masyarakat tertentu, sekaligus mengoreksi hegemoni pemikiran yang mengukur segala hal dari soal riil atau tidaknya, masuk akal atau tidak.

Menghadirkan pengalaman seorang imam Katolik, yang juga salah satu penulis artikel ini, memberi catatan lain bahwa orang-orang beragama pun masih yakin dan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kepercayaan-kepercayaan di dalam komunitasnya sendiri, yang sebetulnya tidak bisa serta merta dikontraskan dengan ajaran atau keyakinan dalam agama-agama.

Dengan cara pandang seperti ini misalnya, agama-agama, termasuk Gereja Katolik, mesti selalu mencari cara-cara terbaik untuk tetap hadir di tengah komunitas masyarakat adat, sembari memberi respek pada nilai-nilai, keyakinan-keyakinan dan kesadaran yang telah mereka pelihara dan wariskan turun-temurun.

Hal lain yang dapat direfleksikan dari kajian ini adalah daya transformatif dari setiap komunikasi atau perjumpaan antara roh-roh orang meninggal dengan orang-orang hidup. 

Kisah-kisah yang dinarasikan dalam kajian ini menunjukan bahwa arwah para leluhur atau orang-orang yang sudah meninggal menghendaki transformasi dari setiap orang yang masih hidup. Selalu ada petunjuk yang diberikan agar setiap orang mengalami perubahan menuju kebaikan hidup

Ini menjadi keutamaan penting dalam keyakinan orang Manggarai terkait relasi yang erat antara arwah dan orang-orang yang hidup.

Catatan Kritis

Akan tetapi, tanpa mengurangi kontribusi penting kajian ini, ada beberapa catatan kritis yang perlu didiskusikan.

Pertama, sebagai sebuah artikel ilmiah, cukup sulit bagi pembaca untuk menemukan argumen pokok dalam kajian ini.

Artikel ini sepertinya hanya berhenti menjelaskan bahwa fenomena arwah yang berbicara kepada orang-orang yang hidup sebagai suatu yang unik dan dapat dijelaskan secara ilmiah?

Bagi pembaca, kajian ini akan menjadi semakin kaya jika para penulis bisa membangun suatu argumen yang solid terkait dengan hubungan antara pengetahuan, kebenaran, modernitas dan keyakinan yang hidup dalam tradisi atau adat orang Manggarai. 

Kedua, kesaksian-kesaksian dalam kisah yang ditampilkan pada kajian ini sarat dengan aspek-aspek teologis dalam tradisi orang Manggarai. Akan tetapi, justru dimensi teologis seperti ini luput dalam penjelasan para penulis. Aspek ini penting untuk didiskusikan karena akan membantu memberikan gambaran terkait relasi saling membentuk antara adat dan gereja, dua institusi sosial yang mendasari banyak aspek kehidupan orang Manggarai.

Ketiga, artikel ini terkesan lebih banyak mengelaborasi pengertian dari ketiga perspektif yang digunakan, tetapi justru memberi sedikit porsi pada penggunaan perspektif tersebut dalam mengurai dan menerangkan fenomena yang dijelaskan. 

Dengan kata lain, ketiga perspektif tidak secara maksimal digunakan sebagai kerangka berpikir untuk mengurai secara mendalam fenomena yang diceritakan. Pembaca akhirnya tidak menemukan penjelasan atau refleksi lebih jauh terkait dengan relasi atau komunikasi antara arwah dengan orang hidup.

Sebagai contoh, dalam kajian ini, tidak ada penjelasan mendalam soal mengapa orang Manggarai pada akhirnya memilih untuk meyakini hal-hal non medis sebagai jawaban dari setiap sakit atau tantangan yang mereka alami. Bagaimana ketiga perspektif ini mendiskusikan fenomena tersebut secara lebih dalam, belum terlihat jelas dalam kajian ini.

Terlepas dari itu, artikel ini tentu telah menghadirkan kisah-kisah yang menggugat kenyamanan rasionalitas modern dalam mendekati kebenaran. Kisah-kisah yang dihadirkan seolah tidak masuk akal. 

Namun, kajian ini menantang kita untuk bertanya; jangan-jangan kita menganggap “tidak masuk akal” karena kita sesungguhnya sedang mengekang kebenaran hanya dalam pemujaan berlebih terhadap sesuatu yang kita anggap rasional.

Jangan-jangan, kita, seperti yang dikatakan Max Weber, tokoh sosiologi klasik, “sedang menghilangkan pesona-pesona dunia.” 

Kita perlu berterima kasih karena para penulis telah membuka ruang diskusi tentang hal-hal seperti ini secara ilmiah.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kami bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.