Floresa.co – Gema adzan yang memantul di antara rumah-rumah kayu beratap seng memulai fajar di Pulau Kera.
Suara itu mengalun bersama hembusan angin laut, membangunkan warga di kampung kecil yang dikelilingi pantai berpasir putih itu.
Floresa berkesempatan mengunjungi Pulau Kera pada 9-14 Agustus, mengamati dari dekat aktivitas warga.
Dari celah-celah pintu, saban pagi lelaki dan perempuan melangkah keluar, berjalan menuju masjid yang terletak di tengah kampung.
Dengan setengah mengantuk, anak-anak kecil berlarian di lorong-lorong.
Usai ibadah, kampung kembali riuh. Para ibu berjalan beriringan, bercakap soal dapur dan rencana kegiatan mereka seharian.
Dengan rambut yang belum sepenuhnya kering setelah mandi, anak-anak bergegas sarapan dan memeluk buku-buku sebelum menuju sekolah.
Pulau itu berada di sebelah barat Pulau Timor dan secara administratif masuk dalam wilayah Desa Uiasa, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang.
Meski namanya “kera”, pulau ini sama sekali tak dihuni oleh kera. Sebutan itu berasal dari kata “Kea” dalam bahasa Rote yang berarti penyu dan kata “Takera” dalam bahasa Solor yang berarti ember atau timba.
Jejak sejarah penangkaran penyu dan praktik tradisional mengambil air dengan ember itu yang membentuk penamaan lokal.
Sejak sekitar 1911, Pulau Kera telah dihuni oleh masyarakat suku Bajo, yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Mereka diundang oleh Raja Kupang, Nesneno, untuk mengajarkan keterampilan melaut.
Kini, sekitar seratus keluarga yang mencakup 400 jiwa menetap di pulau ini. Mereka mayoritas beragama Islam dan bekerja sebagai nelayan tangkap tradisional.
Meski demikian, status mereka masih tertatih-tatih secara administratif—banyak yang belum memiliki KTP dan akta kelahiran.
Infrastruktur dasar serta akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan juga terbatas.
Di sisi lain, kendati telah beratus tahun mendiami pulau seluas 48,17 hektare itu, warga terus menghadapi ancaman berulang untuk relokasi.
Terkini, ancaman itu datang demi memuluskan rencana salah satu korporasi membangun resor.
Status pulau itu sebagai bagian dari Taman Wisata Alam Laut Teluk Kupang membuat nasib mereka terus menggantung. Penetapannya melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 18/KPTS-II/1993 pada 28 Januari 1993.
Bergantung pada Hasil Laut
Di sisi timur kampung, saban pagi para lelaki mendorong sampan ke laut. Sebagian lagi merapat, kembali dari melaut di perairan Laut Sawu dan Samudera Hindia.
“Kadang satu atau dua hari (kami melaut), bahkan lebih, tergantung rezeki dan cuaca,” kata Jamal, seorang nelayan sembari tangannya membenarkan tali pancing.
Hasil tangkapan mereka di antaranya ikan karang, tongkol, kerapu dan tuna.
Semuanya biasanya dibawa ke Pasar Oeba, salah satu pusat perdagangan tradisional yang berlokasi di Kupang.

Jamal berkata, hasil tangkapan biasanya akan diserahkan kepada tengkulak. Dari hasil penjualan, mereka mendapat 85 persen dan 15 persen untuk tengkulak.
“Biasanya, satu boks ikan itu kami bisa hasilkan dua sampai tiga juta sekali jual,” kata Pardi, nelayan lainnya.
Selain mencari ikan, sumber penghasilan warga lainnya adalah mengumpulkan siput dan rumput laut.
Di utara pulau, warga membangun pondok-pondok kecil, tempat persemaian rumput laut.
Air Susah, Harus Beli di Kupang
Dari pesisir Kupang, Pulau Kera berjarak sekitar tujuh kilometer. Dengan perahu motor nelayan, waktu tempuh antara 30-45 menit, bergantung pada cuaca dan arus laut.
“Kalau pagi biasanya tenang, tapi kalau sudah siang, angin kencang bisa bikin ombak tinggi,” ujar Jamal.
Saat perahu motor warga ke Kupang, mereka tidak hanya menjual hasil tangkapan.
Mereka juga mengangkut jeriken-jeriken kosong yang berderet di sisi perahu demi mengambil air.
Pardi berkata, memang ada beberapa sumur di Pulau Kera, namun airnya asin “sehingga tidak bisa kami pakai untuk minum.”
Satu-satunya sumur yang airnya tidak terlalu asin ada di tengah pulau. Mereka memakainya untuk memasak nasi dan mandi.
Untuk minum, kata Pardi, “kami ambil air bersih dari Kupang.”

Pardi juga warga lain biasanya membawa minimal lima jeriken berkapasitas 10 liter ke Pasar Oeba.
Di sana, jeriken-jeriken itu diisi di rumah warga dengan tarif seribu rupiah per jeriken.
Mereka juga membawa galon untuk diisi di depot terdekat sebagai cadangan.
Menurut Pardi, persediaan lima jeriken air biasanya cukup untuk memenuhi kebutuhan “selama satu minggu.”
“Karena kami hampir setiap hari pergi ke Kupang, air tidak pernah kurang,” kata.
Kelas yang Dimulai dari Bawah Pohon
Di dapur rumah, Ria, seorang ibu di Pulau Kera, menyalakan api di tungku dengan kayu.
Udara pagi bercampur aroma ikan kuah asam yang ia masak.
Dari dapurnya tampak anak-anak berlarian, beberapa membawa buku, pensil dan tas.
Mereka menuju Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Kupang Filial Pulau Kera, yang berdekatan dengan masjid.
Ruang kelas madrasah itu terbuat dari rangka kayu dengan papan tulis sederhana di dinding.
Ada enam kelas, yang dipakai untuk pelajar SD dan SMP.
Hamda Saba, Ketua RW di Pulau Kera berkata, jadwal kelas akan bergantian.
Pelajar SD memanfaatkan sekolah itu pukul 07.00-11.00 Wita, lalu bergantian pelajar SMP.
Ia berkata, bangunan itu sudah lebih baik. Sebelumnya, ruang kelas itu beratap dan berlantai pasir. Ruangannya hanya empat, yang digunakan bergantian untuk enam kelas SD.
Hamda bercerita, usaha warga untuk memenuhi akses pendidikan di Pulau Kera sudah muncul sejak awal tahun 2000.
Hal itu mulai terealisasi pada 2001 dalam bentuk sekolah informal.
Ceritanya bermula saat LSM Gemma Madani bersama sejumlah tokoh, termasuk Kepala Bank Indonesia di Kupang, Haji Muhammad Dikan dan pejabat Dinas Perikanan Provinsi NTT membudidaya rumput laut sambil mendatangkan dua guru.
“Mereka ajarkan anak-anak baca tulis, mengaji, kadang di masjid, kadang di bawah pohon,” kata Hamda.
Namun, program itu hanya bertahan setahun. Rencana relokasi warga oleh pemerintah pada 2002 membuat LSM Gemma Madani menarik diri. Guru-guru dipulangkan dan anak-anak kembali kehilangan ruang belajar.
Sejak itu, kata Hamda, “anak-anak belajar di bawah pohon dan tergantung kerelaan warga atau orang dari Kupang yang datang untuk mengajar.”
Sementara untuk belajar mengaji tergantung warga yang mau mengajar secara sukarela.
“Kalau dulu, habis anak-anak ikut orang tua ke laut, pulang sore mengaji.”

Perubahan mulai terjadi ketika pada 2010 muncul bantuan dari Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia sehingga masyarakat mulai mendirikan bangunan sekolah.
Suasana belajar kembali hidup, anak-anak memiliki ruang untuk belajar.
Namun, pada 2015, badai merobohkan kelas yang sudah dibangun tersebut.
“Sejak itu, anak-anak belajar di ruang ibadah,” katanya. Mereka dibimbing ustaz setempat.
Pada 2017, Persatuan Muslim Seluruh Indonesia (Parmusi) mengirim dua guru tamatan sarjana pendidikan yang bertahan hingga kini.
Mereka memanfaatkan perpustakaan mini, hasil kerja sama warga dengan Politeknik Pertanian Negeri Kupang—sebagai ruang kelas darurat.
“Mulai 2024, kekurangan pada ruang kelas dilengkapi, sehingga mulai layak untuk jadi tempat belajar anak-anak.”
Listrik Bergantung pada Genset
Matahari mulai terbenam, pelan-pelan nyala lampu menerangi dengan suara genset terdengar di beberapa sudut kampung.
Hamda Saba berkata, hingga kini warga bertahan dengan gensert itu, selain panel surya berdaya sekitar 10 watt.
Sebelumnya, kata dia, terdapat beragam upaya menghadirkan penerangan di Pulau Kera. Bantuan muncul silih berganti dari LSM. Organisasi keagamaan hingga aparat TNI-Polri.
Salah satu bantuan awal datang pada 2016 dari Dewan Da’wah yang membawa mesin genset berkapasitas 6.500 watt untuk melayani lebih dari 60 kepala keluarga.
Namun, hal itu tak bertahan lama. Mesin ditarik kembali dan dijual setelah pengelola tidak mampu menutupi biaya operasional.
Bantuan lain datang pada 2017. Dewan Da’wah bersama Bea Cukai menghadirkan mesin diesel dengan dinamo 7.500 watt.
“Mesin ini mampu menerangi seluruh kampung,” ungkap Hamda.
Sayangnya, peralatan itu berhenti beroperasi pada 2019 sebelum pandemi Covid-19. Kerusakan dinamo membuat warga kembali bergantung pada cahaya seadanya.
Kesempatan perbaikan datang ketika Komandan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut berkunjung pada bulan Ramadhan 2019.
Setelah mendengar penjelasan Hamda tentang kerusakan dinamo mesin itu, sang komandan langsung memberikan dana Rp5 juta untuk memperbaikinya.
Listrik kembali menyala selama dua tahun, sebelum kembali padam pada 2021.
Ancaman Relokasi
Hidup di tengah kondisi serba terbatas, warga Pulau Kera masih terus dihantui ancaman untuk relokasi ke wilayah lain.
Isu pemindahan warga Pulau Kera kembali memanas pada April 2025 setelah Bupati Kupang, Yosef Lede, secara terbuka menyatakan akan mengerahkan lima truk dan satu ekskavator untuk “menggaruk sampai rata” pulau itu.
Ia menegaskan, langkah ini adalah instruksi langsung dari presiden.
Pernyataan tersebut muncul bersamaan dengan rencana Pitoby Group membangun resor seluas 25 hektare di Pulau Kera, yang sebagian wilayahnya termasuk dalam Taman Wisata Alam Laut Teluk Kupang.
Pitoby Group yang berkantor pusat di Kecamatan Kota Raja, Kota Kupang mengklaim telah memiliki hak atas sebagian lahan pulau itu sejak 1986, setelah membeli dari keluarga Bisilisin, seorang warga. Tujuh tahun kemudian, perusahaan itu mengantongi sertifikat hak milik.
Namun, klaim ini dibantah oleh warga yang menegaskan bahwa nenek moyang mereka telah tinggal di Pulau Kera sejak 1884.
Mereka meyakini, penyerahan lahan kepada perusahaan bukan hanya keliru secara hukum adat, tetapi juga mengabaikan sejarah panjang keterikatan mereka dengan tanah tersebut.
Pernyataan bupati dianggap sebagai bentuk tekanan yang memicu gelombang penolakan.

Aliansi Advokasi Masyarakat Pulau Kera yang beranggotakan organisasi lingkungan, kelompok adat, dan jaringan mahasiswa menggelar aksi protes di Kupang pada 15 Mei.
Dalam orasi, mereka menegaskan keinginan untuk tetap tinggal di pulau leluhur itu dan meminta pemerintah menghentikan intimidasi, sekaligus memperhatikan kebutuhan dasar warga seperti sekolah, fasilitas kesehatan, dan air bersih.
Upaya relokasi ini bukan hal baru.
Sejak 2002, pemerintah beberapa kali menawarkan pemindahan, beralasan Pulau Kera tidak layak huni dan perlu dikembangkan sebagai kawasan konservasi.
Tawaran pertama relokasi ke Pulau Timor di Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang ditolak karena akses lautnya sulit.
Rencana berikutnya muncul pada 2003 dan 2004. Mereka direncanakan untuk pindah ke Pulau Semau.
Hal itu lagi-lagi kandas, setelah diketahui lokasinya jauh dari pantai, berkarang, dan berombak tinggi-kondisi yang membahayakan nelayan.
Merespons upaya terkini pemerintah demi, Hamda Sada berkata, “kalau pemerintah memang peduli dengan kami, cukup atasi keterbatasan akses kebutuhan dasar, “bukan pindahkan kami.”
Pardi menambahkan, masyarakat di Pulau Kera secara kultural dan sosial sangat dekat dengan laut.
“Pindahkan kami ke gunung itu sama saja dengan buat kami mati,” katanya.
Editor: Ryan Dagur