Floresa.co – Komunitas pemuda Ata Modo, penduduk asli di Pulau Komodo, menyatakan menolak konsesi bisnis di Taman Nasional Komodo dan mendorong agar pengelolaan pariwisata di kawasan tersebut berbasis komunitas.
Dalam pernyataan tertulis yang diperoleh Floresa, mereka menegaskan: “Pulau Padar bukan taman bermain investor!” dan “Taman Nasional Komodo bukan ladang bisnis oligarki!”
Mereka juga menyerukan “Hentikan Privatisasi Pulau Padar!” dan “Selamatkan Taman Nasional Komodo!”
Pernyataan pada 15 Agustustus itu muncul dari Garda Pemuda Komodo, Lingkar Belajar Ata Modo, Ikatan Mahasiswa Peduli Komodo dan Komodo Community Center.
Mereka merespons rencana PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) yang akan mendirikan 619 bangunan di Pulau Padar.
Ratusan bangunan itu mencakup 448 villa, 13 restoran, 7 lounge, 7 gym center, 7 spa center, 67 kolam renang, sebuah bar raksasa seluas 1.200 meter persegi dan sebuah Hilltop Chateau (bangunan kastel/istana bergaya Perancis). Selain itu, PT KWE akan membangun sebuah gereja yang dipakai untuk acara pernikahan (wedding chapel).
Rencana pendirian ratusan bangunan itu terungkap dalam sebuah pertemuan yang diklaim sebagai konsultasi publik di Golo Mori Convention Center pada 23 Juli.
Pemuda Ata Modo menyebut proyek di pulau yang menjadi ikon Taman Nasional Komodo itu merupakan bentuk agresi terhadap ruang hidup komodo dan ekosistem sekitarnya.
“Pulau Padar yang seharusnya menjadi habitat alami komodo dan simbol keutuhan lanskap Labuan Bajo justru diarahkan menjadi destinasi eksklusif yang merusak bentang alam, mengikis nilai konservasi dan membuka jalan bagi monopoli bisnis oleh segelintir pihak,” tulis mereka.
Sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik terhadap keutuhan hidup di Taman Nasional Komodo, tulis mereka, “kami menolak keras proyek PT KWE di Pulau Padar.”
Dalam laporan Floresa berjudul “Para Pemburu Cuan di Pulau Padar,” orang-orang di balik perusahaan itu terhubung dengan Setya Novanto, koruptor dan eks Ketua DPR RI dan Tomy Winata, pebisnis yang punya rekam jejak bermasalah dalam proyek-proyek di tempat lain.
Izin PT KWE yang terbit pada 2014 muncul saat Setya Novanto masih aktif sebagai anggota DPR RI, sementara Tomy Winata mulai masuk saat NTT dipimpin Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat, yang punya relasi personal dan bisnis dengannya.
Selain konsesi di Pulau Padar seluas 274,13 hektare, izin PT KWE juga berada di Loh Liang, Pulau Komodo seluas 151,94 hektare.
Pemuda Ata Modo juga menyatakan menolak keras izin konsesi serupa di dalam TNK, yakni PT Segara Komodo Lestari 22,1 hektare di Pulau Rinca dan PT Synergindo Niagatama 15,32 hektare di Pulau Tatawa.
Cederai Semangat Konservasi, Perdalam Ketidakadilan Agraria
Mereka menegaskan privatisasi kawasan konservasi “mencederai nilai-nilai konservasi yang sejak kecil diajarkan orang tua dan leluhur kepada kami, sekaligus mengancam kelestarian komodo dan ekosistem darat-laut sekitarnya.”
Selama bertahun-tahun, “kami dibentuk untuk memahami konservasi secara sederhana, namun tegas yaitu tidak berburu rusa, tidak menebang pohon, bahkan tidak boleh memindahkan batu” demi kelestarian Taman Nasional Komodo untuk anak cucu.
Tidak hanya melalui ajaran, “kami semakin memahami nilai-nilai konservasi ketika dihukum Balai Taman Nasional Komodo apabila melanggar prinsip konservasi.
Karena itu, mereka menilai proyek-proyek masif dan komersialisasi kawasan tersebut bukan hanya merusak lanskap dan habitat alami komodo, tetapi juga “mengkhianati semangat konservasi yang selama ini ditanamkan kepada kami.”
“Kami percaya, ikon pariwisata komodo justru bertumpu pada keutuhan dan kealamiahan alamnya, yang kini terancam oleh bangunan fisik dan aktivitas eksploitatif korporasi,” tulis mereka.
Pemuda Ata Modo menegaskan pemberian izin kepada segelintir pengusaha juga memperdalam ketidakadilan agraria dan menambah luka historis Ata Modo.
Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, tulis mereka, wilayah darat dan laut kawasan itu adalah ruang hidup masyarakat lokal, termasuk Ata Modo sebagai penduduk asli Pulau Komodo.
“Atas nama konservasi, sejak 1980, kami dipaksa tinggal di zona sempit di lahan seluas 17 hektar tanpa kepastian hak agraria, bahkan sempat terancam relokasi. Tanah kami diambil alih negara dan ruang hidup kami dikerdilkan,” tulis mereka.
Sejak saat itu, tulis mereka, masyarakat Komodo terpaksa beradaptasi dari pemburu dan peramu menjadi nelayan, lalu bergeser ke sektor pariwisata demi mendukung konservasi.
Ironisnya, kata mereka, saat kami bertahan dalam kepadatan hampir 2.000 jiwa di atas lahan 17 hektar serta mengembangkan pariwisata berbasis komunitas, lahan yang dahulu dirampas justru kini dialihkan kepada korporasi.
Mereka menyebut kedua wilayah yang dikuasai PT KWE merupakan lokasi yang memiliki sejarah keterikatan yang kuat dengan masyarakat.
“Kami merasakan bahwa warga dikorbankan demi konservasi, investor diberi keistimewaan atas nama pembangunan,” tulis mereka.
Karena itu, Pemuda Ata Modo mendesak Presiden Prabowo Subianto dan Kementerian Kehutanan untuk segera mencabut seluruh konsesi bisnis dan menghentikan seluruh rencana pembangunan pusat-pusat pariwisata dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
Mereka juga meminta UNESCO untuk tidak memberikan persetujuan atas proyek-proyek ini dan menegakkan prinsip tata kelola Situs Warisan Dunia demi menjaga Outstanding Universal Values (Nilai Universal Luar Biasa) Taman Nasional Komodo sebagai satu-satunya habitat alami komodo.
Kritik Utak-atik Zonasi
Para pemuda juga menyoroti praktik utak-atik zonasi sebagai pintu masuk pemberian konsesi.
Alih-alih melindungi alam, menurut mereka, zonasi justru kerap digunakan sebagai alat pengambilalihan kontrol dan penguasaan sumber daya wisata oleh segelintir elite seperti yang terjadi di Pulau Padar.
Sebelumnya, seluruh kawasan Pulau Padar berstatus zona inti dan rimba. Namun pada 2012, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengubah 303,9 hektar menjadi zona pemanfaatan wisata darat.
Hanya dua tahun kemudian, KLHK memberikan izin kepada PT KWE untuk menguasai 274,13 hektar dari zona tersebut.
Menurut mereka, proses tersebut menunjukkan bahwa zonasi bukan lagi soal perlindungan, melainkan soal “siapa yang mendapat akses dan kuasa.”
“Kami percaya bahwa konservasi yang sejati tidak lahir dari eksklusi dan privatisasi semacam itu, melainkan dari memberdayakan dan mendorong partisipasi penuh masyarakat yang selama ini justru selalu dianggap sebagai ancaman,” tulis mereka.
Karena itu, Pemuda Ata Modo mengutuk manipulasi zonasi, menyebutnya sebagai bentuk nyata pengkhianatan terhadap semangat konservasi.
Dorong Pariwisata Berbasis Komunitas
Pemuda Ata Modo pun mendorong pariwisata berbasis komunitas di Taman Nasional Komodo, bukan berbasis investasi besar-besaran.
“Pengalaman kami menunjukkan bahwa wisata komunitas memberikan manfaat yang lebih merata, membuka ruang kreativitas lokal dan menumbuhkan kesadaran konservasi karena masyarakat merasakan langsung manfaatnya,” tegas mereka.
Sebaliknya, model pariwisata berbasis investasi justru mendorong praktik monopoli, menyingkirkan inisiatif warga dan membawa risiko kerusakan ekologis berskala besar dengan kapital dan pembangunan yang masif.
“Kami percaya bahwa ekonomi memang penting, namun tidak bisa mengorbankan komitmen terhadap konservasi,” tulis mereka.
Mereka menegaskan Taman Nasional Komodo harus tetap menjadi kawasan perlindungan kehidupan, “bukan ladang ekspansi modal, demi masa depan pariwisata Indonesia yang adil dan berkelanjutan.”
Mereka menilai proyek-proyek yang akan dibangun di Taman Nasional Komodo mengancam kelangsungan usaha lokal, melemahkan inisiatif komunitas dan bertentangan dengan prinsip ekowisata yang berbasis perlindungan alam dan keadilan sosial.
Karena itu, mereka meminta Presiden Prabowo Subianto dan Kementerian Kehutanan memberikan kepercayaan kepada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk terlibat dalam mengelola pariwisata berbasis komunitas (Community Based Tourism atau CBT).
Mereka menilai CBT dapat memastikan ekonomi pariwisata bermanfaat bagi masyarakat lokal sekaligus titik utama dalam menjaga kelestarian lingkungan dan budaya masyarakat adat di dalam kawasan.
“Penolakan kami bukan baru hari ini. Sejak 2018, kami bersama elemen masyarakat sipil, pelaku wisata, dan komunitas muda telah menyuarakan protes dalam berbagai aksi kolektif, termasuk gelombang penolakan besar pada 2020–2022,” tulis mereka.
Pada Agustus 2020, mereka menyuarakan penolakan relokasi warga dalam aksi di Kampung Komodo.
Kala itu, mereka juga mengirim surat resmi kepada UNESCO dan International Union for Conservation of Nature untuk menyampaikan “kegelisahan kami atas privatisasi yang masif di dalam kawasan konservasi ini.”
Pemuda Ata Modo menyatakan “tuntutan ini kami ajukan dengan sangat mendesak,” menyusul langkah pemerintah mempercepat proyek PT KWE di Pulau Padar.
Mereka menyebut konsultasi publik yang dilakukan pada bulan lalu merupakan sebuah sinyal yang jelas bahwa megaproyek ini segera dijalankan, dengan risiko besar terhadap ekosistem dan penyempitan ruang hidup masyarakat lokal.
“Kami berdiri bersama masyarakat terdampak, pelaku wisata lokal, dan komunitas konservasi untuk menolak privatisasi kawasan konservasi dan mempertahankan Taman Nasional Komodo sebagai warisan dunia yang lestari, adil dan berpihak pada kehidupan,” tulis mereka.
Aspirasi Diabaikan
Pemuda Ata Modo merilis pernyataan penolakan tersebut sehari setelah utusan PT KWE, PT Palma Hijau Cemerlang (PHC) dan PT Nusa Digital Creative (NDC) mengunjungi warga Kampung Komodo.
Alimudin, salah satu warga mengaku direktur dari ketiga perusahaan tersebut mengunjungi mereka tanpa ada pemberitahuan resmi.
Pihak perusahaan, kata dia, menyebut kunjungan itu sebagai “silaturahmi.”
“Kami diberitahu oleh pemerintah desa setelah pertemuan evaluasi BUMDes,” katanya kepada Floresa pada 15 Agustus.
Ia berkata, pertemuan itu diikuti oleh direktur dari masing-masing perusahaan, Pemerintah Desa Komodo, pengurus BUMDes dan kelompok pemuda.
Dalam pertemuan tersebut, ia mempersoalkan proses sosialisasi yang selama ini dilakukan perusahaan.
Ia berkata, “apapun bentuk sosialisasi yang sudah dilakukan dianggap batal karena tidak ada satupun diskusi publik yang melibatkan masyarakat di dalam kawasan Taman Nasional Komodo.”
“Diskusi publik di Labuan Bajo — merujuk konsultasi publik di Golo Mori — itu urusan kalian,” katanya.
Alimudin menegaskan masyarakat lokal adalah salah satu pengambil keputusan sehingga harus dilibatkan dalam setiap proses yang dilakukan perusahaan.
“Jangan tiba-tiba datang lalu memberi tahu mau bikin ini dan itu. Kalian tidak cukup hanya berurusan dengan Balai Taman Nasional Komodo, tapi harus berurusan juga dengan kami sebagai pemilik lahan,” katanya.
Merespons pernyataan tersebut, kata Alimudin, pihak perusahaan menyatakan “kritik tersebut akan menjadi catatan bagi mereka.”
Ia mengaku menolak ketika pihak perusahaan memberikan “uang duduk” kepadanya setelah rapat itu.
Pihak perusahaan, katanya, juga meminta tanda tangan warga yang mengikuti pertemuan itu dan berfoto bersama mereka.
Ia juga mengaku bahwa Direktur PT PHC, Dian Sagita bersama stafnya menghampirinya usai pertemuan untuk meminta nomor telepon dan mengajaknya mengikuti kegiatan pungut sampah di Pulau Padar pada 16 Agustus.
PT PHC merupakan perusahaan yang telah menjalin kerja sama dengan Balai Taman Nasional Komodo pada 18 Oktober 2024 untuk penguatan pengelolaan Taman Nasional Komodo, mencakup area seluas 5.815,3 hektare.
Penguatan tersebut termasuk secara kelembagaan, perlindungan pengamanan kawasan, pemberdayaan masyarakat, pengawetan flora dan fauna, pemulihan ekosistem serta pengembangan wisata alam di Pulau Padar dan sekitarnya.
Dua orang yang mewakili PT PHC sempat menemui jurnalis Floresa di Labuan Bajo pada 8 Agustus usai terbitnya laporan yang mengungkap sosok Tomy Winata di balik PT KWE.
Mereka mengakui soal keberadaan Tomy di balik PT PHC, yang seperti PT KWE, terhubung dengan Grup Artha Graha.
Aktivitas PT PHC yang kini dikemas dalam agenda Padar Heritage Conservation, kata mereka, akan menyasar dana tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) PT KWE.
Sementara itu, PT NDC merupakan salah satu perusahaan yang mendapat Izin Penguasaan Penyediaan Jasa Wisata Alam (IUPJWA) untuk mengelola jasa pariwisata di kawasan seluas 712,12 hektare yang mencakup Pulau Komodo, Pulau Padar serta perairan sekitarnya.
Bersama PT Pantar Liae Bersaudara, PT NDC mendapat konsesi itu dari PT Flobamor, Badan Usaha Milik Daerah Provinsi NTT yang diberi izin pengelolaan jasa wisata di kawasan itu sejak 2022.
Keduanya mendapatkan izin pengelolaan di kawasan konservasi itu saat belum setahun didirikan. PT NDC didirikan pada 16 November 2023 dan PT Pantar Liae Bersaudara pada 11 Juli 2023.
Editor: Ryan Dagur