Floresa.co – Sekitar 290 kepala keluarga Suku Tukang hidup dalam zona bahaya erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki.
Rumah dan ladang mereka rusak. Semenjak November, sebagian anggota suku bertahan di pos pengungsian.
Namun, bagi Marsel Wawin, “kesusahan kami tak ada apa-apanya” ketimbang Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai di Nangahale, Sikka.
Meski panenan kebun tak sebaik dulu, “kami masih bisa petik sedikit pisang dan mengais ubi.”
Sementara “keluarga kami di Nangahale tak lagi bisa petik dan jual apapun. Tanaman mereka habis ditebang Gereja.”
Itulah yang melandasi Marsel serta sembilan anggota lainnya dari Suku Tukang memutuskan pergi ke Nangahale pada 2 Februari.
Urun biaya sewa sebuah pikap, kesepuluh anggota suku berangkat di tengah-tengah hujan berangin kencang.
Lima di antaranya perempuan, duduk memangku umbi-umbian selama nyaris dua jam perjalanan. Beras dan sayur-mayur dibawa serta.
Pada ujung bak pikap itu tertumpuk alat bertukang.
“Kami bawa ala kadarnya,” kata Marsel, “supaya keluarga kami di Nangahale tetap bisa makan dan perbaiki rumah.”
“Sampai Hati”
Marsel merupakan Ketua Komunitas Suku Tukang.
Sebagian besar anggota suku itu hidup di Desa Pululera, Kecamatan Wulanggitang di Kabupaten Flores Timur.
Wulanggitang berjarak sekitar empat kilometer [km] dari pusat erupsi Lewotobi Laki-Laki.
Tinggal dalam zona bahaya, sekitar 9.479 warga Wulanggitang terdampak erupsi yang berlangsung semenjak November.
Sembilan korban meninggal pada hari pertama erupsi berasal dari kecamatan itu.
Rangkaian erupsi Lewotobi Laki-Laki mendorong Pusat Vulkanologi, Mitigasi dan Bencana Geologi menetapkan zona bahaya hingga tujuh km dari kawah.
“Berbulan-bulan hidup serba tak pasti,” kata Marsel.
Selain rumahnya rusak, kebun Marsel juga kacau balau.
Hingga Januari, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Flores Timur mencatat 2.462 hektare lahan tanam di Wulanggitang rusak akibat rangkaian erupsi gunung itu.
“Abu di mana-mana,” kata Marsel, “tetapi setidaknya kami masih bisa bekerja di kebun.”
Ia mengaku “perasaan bercampur-aduk ketika bertemu keluarga di Nangahale.”
Apalagi ketika melihat tak lagi ada kakao, mete dan pisang yang bisa dipanen di sana.
“Sampai hati mereka menghabisi penghidupan umat,” katanya.
Pemda Belum Juga Hadir
Iganius Nasi, Kepala Suku Soge-Natarmage merasa “bersyukur memiliki keluarga jauh yang begitu perhatian pada kami.”
Tak hanya membawa bantuan pangan dan alat bertukang, “mereka juga hadir memberi penguatan bagi kami.”
Sejak penggusuran 22 Januari, Nasi dan 407 anggota kedua suku bertahan di tujuh tenda darurat.
Beberapa tenda dibangun di atas reruntuhan rumah yang habis digilas ekskavator.
Dari keseluruhan 408 warga tergusur, sebanyak 72 di antaranya merupakan lansia dan 173 anak-anak.
Ditanya apakah pemerintah daerah telah hadir di sekitar tenda darurat, Nasi menjawab: “Tidak. Mungkin karena mereka merasa tidak kenal kami.”
Pada 30 Januari, Floresa menghubungi Kepala Dinas Sosial [Dinsos] Sikka, Rudolfus Ali.
Ia mengklaim bantuan pascapenggusuran “bukan ranah Dinsos. Itu urusan korporasi dan warga.”
“Perihal bantuan sosial juga diatur dalam Permensos,” katanya.
Ia lalu menyebutkan Permensos Nomor 1 Tahun 2009 yang melandasi ketidakhadiran dinasnya di Nangahale.
Ditanya bagian mana dari Permensos itu yang menegaskan ketidakhadiran institusinya, Rudolfus tak segera merespons.
Floresa kembali menanyainya pada 31 Januari dan 1 Februari. Rudolfus tak juga menjawab.
“Tak satu pun datang,” kata Nasi mengacu pada perwakilan pemerintah daerah, “siapa lah kami ini di mata mereka?”
Ahimsa?
Floresa terhubung dengan Nasi, sapaannya, pada 3 Februari malam. Angin terdengar menderu-deru di sekitarnya.
“Musim barat, begini. Tengah malam bisa tiba-tiba turun hujan deras,” katanya.
Warga setempat menyebut periode cuaca sepanjang Desember hingga Februari sebagai “musim barat.” Ditandai turunnya hujan deras disertai angin kencang.
Malam itu ia dan puluhan anggota kedua suku baru saja menonton “The Burning Season: The Chico Mendes Story,” film dokumenter yang mengisahkan perjuangan Chico Mendes, seorang warga adat di Brazil.
Film ditayangkan melalui sebuah layar mungil. Puluhan warga adat duduk mengitari layar itu sembari sesekali mendiskusikan adegannya.
Chico memimpin perjuangan warga adat untuk melindungi hutan Amazon di Brazil. Selama ratusan tahun warga adat setempat menggantungkan penghidupan dari hutan tropis terluas sedunia itu.
Ia dibunuh oleh seorang putra pengusaha perkebunan pada 1988.
“Saya pernah dengar istilah ‘ahimsa,’” kata Nasi, “yang artinya berjuang tanpa kekerasan.”
Ahimsa dicetuskan Mahatma Gandhi, seorang pejuang kemerdekaan India. Ahimsa merepresentasikan pikiran, ucapan dan perbuatan nirkekerasan.
“Bersama-sama menonton film semacam ini juga bagian dari ahimsa kah?,” katanya separuh bertanya.
Hujan mulai turun ketika ia hendak mengakhiri percakapan. “Baiknya malam ini berjuang dulu supaya tenda tak roboh,” katanya.
Editor: Anno Susabun