Judul kajian: Riang Tana Tiwa Lami Tana Taki: Narasi di Balik Penolakan Proyek Panas Bumi Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat-NTT; Penulis: Valentinus Dulmin, Jhony Dohut, OFM dan Dr. Peter C. Aman, OFM; Jumlah halaman: 77; Tahun terbit: 2019; Penerbit: Franciscans Office for Justice, Peace and Integrity of Creation Ordo Fratrum Minorum [JPIC-OFM] Indonesia
Dalam budaya Manggarai, tanah seumpama ibu. Ia yang membentuk identitas diri dan komunitas. Tanah pula yang menjadi prasyarat berdirinya suatu kampung adat.
Ini juga yang menjadi keyakinan komunitas yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat Wae Sano, satu dari 15 desa di Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT].
Di Wae Sano, kesatuan beo [kampung] dan lingko [lahan komunal] menjadikan hubungan antara masyarakat adat dan tanah adat tak dapat disederhanakan semata-mata relasi subjek-objek.
Tanah di hutan adat Golo Lampang terawat dengan baik. Kesehatan hutan adat berdampak positif pada kelestarian sumber-sumber air—pemasok kebutuhan air bersih di tujuh kampung Wae Sano.
Keajekan kesehatan tanah dan air adalah inti dari budaya Wae Sano. Karenanya, setiap persoalan yang berkaitan dengan tanah dan air selalu menjadi kecemasan serius bagi mereka, seperti halnya masyarakat adat Manggarai lainnya.
Tatkala terjadi, satu-satunya pilihan adalah tetap merawat dan menjaga tanah kelahiran. Artinya pula menjaga dan merawat kebudayaan dalam semua aspeknya — walaupun harus dengan protes serta pengadangan sekalipun.
Tanah Subur di Sisi Danau
Tanah kelahiran merupakan sumber penghidupan warga Wae Sano. Sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Mereka bertanam sirih, kemiri, kelapa, kakao, cengkih, lada, vanili dan buah-buahan di perladangan.
Dalam hasil laporan investigasi yang diterbitkan berupa kertas posisi, Valentinus et al. menemukan sirih sebagai sumber pendapatan tertinggi [Rp32 juta/tahun] di Wae Sano. Disusul kemiri [Rp10 juta/tahun], kelapa [Rp5,5 juta/tahun], cengkih [Rp4 juta/tahun] dan kakao [Rp2 juta-Rp4 juta/tahun]. Kopi kebanyakan ditanam untuk konsumsi pribadi.
Kesuburan tanah Wae Sano turut ditopang Sano Nggoang. Danau vulkanik yang kaya akan belerang itu berada di antara bentang alam Mbeliling dan Sesok, habitat asli sejumlah burung endemik Pulau Flores.
Kendati hidup di tanah yang subur, tetap saja masyarakat adat Wae Sano tak terlepas dari bahaya kelaparan.
Pada masa lampau, “warga pernah mengalami bencana kelaparan akibat gagal panen,” tulis Valentinus et al. dalam kertas posisi.
Bencana kelaparan “biasanya dipicu gas beracun yang menguap dari Danau Sano Nggoang atau losa mbelua yang terjadi sekali dalam setahun.” Waktunya sekitar Februari atau Maret.
Pada bulan-bulan itu, tanaman jagung mulai berbunga dan padi kian berisi. Sementara curah hujan tak terlalu tinggi. Rendahnya curah hujan turut memperpanjang dampak paparan gas beracun pada tanaman, yang akhirnya memperbesar potensi gagal panen.
“Sulit bagi warga Wae Sano untuk memastikan kelaparan tak akan lagi terjadi pada masa
mendatang,” tulis Valentinus et al. pada kertas posisi bertajuk “Riang Tana Tiwa Lami Tana Taki: Narasi di Balik Penolakan Proyek Panas Bumi Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat-NTT”.
Ketidakpastian itu mendorong masyarakat adat setempat menyepakati dokumen Nempung Cama Riang Puar.
Maksud Baik
Para penulis menyebut Nempung Cama Riang Puar sebagai “bentuk kesungguhan warga desa untuk menjaga hutan, air, danau, keanekaragaman hayati serta warisan budaya demi menjaga kelestarian ekologi.”
Upaya merawat hutan di bentang alam Sesok diharapkan dapat turut memulihkan kanopi yang dibutuhkan kecak Flores, seringgit Flores, kecuku Flores dan gagak Flores—kesemuanya merupakan burung endemik Pulau Flores.
Pada saat yang sama, rehabilitasi vegetasi berupa tanaman-tanaman berkayu akan membantu warga setempat memenuhi kebutuhan primer. Misalnya membetulkan bagian-bagian rumah.
Mereka berharap kesungguhan itu, kelak, seiring dengan penguatan ketahanan pangan.
Cita-cita yang terdengar sepadan dengan solusi berbasis etnobotani dalam dokumen, misalnya: [1] semua warga harus mengolah lahan secara intensif dan lestari, [2] setiap warga wajib mengembangkan tanaman pangan lokal seperti teko [talas], tese, ngang—yang merupakan kelompok umbi-umbian—dan pisang, serta [3] setiap kepala keluarga wajib menyediakan lahan khusus untuk pengembangan pangan keluarga itu seluas rata-rata 0,20 hektare.
Biarpun begitu, upaya merawat hutan sekaligus mendiversifikasi tanaman pangan ternyata mesti terbentur proyek eksplorasi geothermal.
Gelisah Membilang Air
Kebutuhan lahan proyek geothermal Wae Sano seluas 22,8 hektare. Proyek terbagi atas dua tahap, ditandai “Tahap 1” [12,2 hektare] dan “Tahap 2” [10,58 hektare] seperti tertera dalam dokumen Proyek Pengembangan Hulu Energi Panas Bumi: Proyek Eksplorasi Panas Bumi Wae Sano, Analisis mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial”.
Dokumen disusun PT Sarana Multi Infrastruktur [Persero] atau SMI. Oleh Kementerian Keuangan, PT SMI ditugasi sebagai lembaga pelaksana Proyek Pengembangan Hulu Energi Panas Bumi [GEUDP].
PT SMI menjabarkan GEUDP sebagai “program pengeboran eksplorasi yang disponsori oleh pemerintah bekerja sama dengan Bank Dunia.”
Skala pengembangan “tidak diketahui hingga sumber daya selesai dieksplorasi sepenuhnya. Namun, studi kelayakan mengindikasikan kemungkinan 10-50 megawatts [MW], dengan kapasitas maksimum yang diharapkan [sebesar] 30 MW,” sebut SMI dalam dokumen.
Dalam dokumen Analisis mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial atau Environmental and Social Impact Assessment [ESIA], PT SMI menyatakan “area prospek proyek dikelilingi hutan, walaupun sebagian telah dikonversi menjadi pemukiman dan pertanian.”
Lebih lanjut menelaah dokumen ESIA itu, para penyusun kertas posisi menemukan “sebagian besar kebutuhan lahan tersebut berada di area produktif pertanian dan perkebunan, sumber penghidupan utama warga setempat.”
Warga juga menduga proyek geotermal Sano Nggoang “tidak saja membutuhkan banyak air. Lebih dari itu, rakus air.” Guna mendapatkan kepastian, enam anggota tim investigasi JPIC-OFM — tiga di antaranya menuliskan hasil telaah — lalu mewawancarai langsung manager lapangan PT SMI, Sapto Kuncorohadi di Labuan Bajo pada 4 Maret 2019.
Tanpa menyebut volume kebutuhan air selama proyek berjalan, Sapto menyatakan “pemenuhan air diperuntukkan bagi karyawan dan eksplorasi.” Ia menambahkan “PT SMI tak akan memakai air yang selama ini mencukupi kehidupan warga.” Sebaliknya, perusahaan “akan menggunakan air Danau Sano Nggoang melalui proses penurunan kadar asam air.”
“Tak akan ada yang hilang dari air danau tersebut,” katanya kemudian, “karena [air] akan bersirkulasi kembali ke danau.”
Tim investigasi JPIC-OFM menilai penjelasan Sapto yang tak gamblang berpotensi “menambah kecemasan warga akan hilangnya sumber air.”
Kampung Terakhir
PT SMI bukannya tak pernah bertemu langsung warga Wae Sano. Mereka melangsungkan konsultasi publik di sana, bahkan hingga dua kali. Masing-masing pada November 2016 [berupa pemberitahuan akan gelaran ESIA] dan Mei 2018 [penyampaian kajian ESIA].
Akan tetapi, bukan dua rangkaian konsultasi publik itu yang menjadi catatan khusus para penulis kajian JPIC-OFM.
Pada Desember 2018, PT SMI menerbitkan dokumen bertajuk “Sosialisasi Peroleh Tanah untuk Area Proyek dan Jalan Akses: Penyediaan Data dan Informasi Panas Bumi pada Wilayah Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat [6-7 Desember 2018]”.
Penggalan paragraf dokumen itu menyebutkan proyek akan “sedapat mungkin menghindari dan/atau meminimalisasi dampak terhadap aset milik warga dengan optimasi desain. Jika tidak memungkinkan untuk menghindari pemukiman kembali, kegiatannya harus dirancang sebagai bagian dari program pembangunan berkelanjutan.”
Rancangan permukiman berkelanjutan itu termasuk [1] memungkinkan orang-orang yang dipindahkan turut menerima manfaat proyek, [2] memberi kesempatan bagi orang-orang yang dipindahkan untuk berpartisipasi dalam permukiman kembali dan [3] memberi bantuan bagi orang-orang yang dipindahkan untuk meningkatkan atau menjaga mata pencaharian dan standar hidup seperti sebelum proyek bermula.
Penulis kertas posisi JPIC-OFM menaksir indikasi yang tersirat dalam dokumen itu “turut memperdalam kegelisahan warga akan kemungkinan evakuasi dan relokasi.”
Walaupun terdapat ‘jejak’ perpindahan kampung pada masa lalu, tetapi mesti pergi akibat eksplorasi panas bumi tak pernah terbetik dalam bayangan warga Wae Sano. Warga di “tiga titik pengeboran, masing-masing Lempe, Dasak dan Nunang umumnya menolak dipindahkan,” catat para penulis.
Bila harus pindah dari Wae Sano, lenyap pula tanah, air, hutan dan segala isinya; kesatuan yang membentuk kehidupan mereka.
Bagi masyarakat adat setempat, “kampung ini adalah tempat tinggal terakhir dan untuk selamanya.”
Di Mana Titik Temunya?
Proyek eksplorasi geothermal Wae Sano merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional. Terdapat kata “nasional” di dalamnya, menekankan segala manfaatnya demi kepentingan nasional.
Ilmu makroekonomi mengenal national public goods, yakni sumber daya atau layanan yang tersedia bagi semua dan manfaatnya dapat dinikmati oleh siapa saja pada skala nasional.
Jika proyek geothermal Wae Sano merupakan national public goods, apakah bersama itu pula mesti menempatkan masyarakat adat sebagai kelompok sekunder?
“Ketika suatu industri atau korporasi masuk ke suatu wilayah, hal yang sering diabaikan adalah penghormatan bagi keberadaan dan keyakinan masyarakat adat setempat,” tulis Valentinus et al.
Menyebut proyek geothermal Wae Sano sebagai bentuk ekonomi kapitalis, “tak ada pula titik temu antara makroekonomi dan lingkungan hidup di dalamnya,” tulis mereka menyitir rumusan Herman Daly, pakar ekonomi ekologis.
Ketiga penulis kertas posisi menyadari masyarakat adat merupakan kelompok pertama yang terkena dan “menanggung seluruh dampak proyek geothermal Wae Sano.”
Hidup terancam terpisah dari tanah ulayat yang kaya akan sumber daya alam, “bagi mereka-lah tujuan pertama dan utama penerbitan laporan ini.”
Kini, belum terdengar lagi polemik terkait proyek geothermal Wae Sano. Namun, bukan berarti proyeknya tidak lagi jalan. Kuatnya penolakan warga memang membuatnya jeda. Bank Dunia sebagai pendana sudah dua kali datang ke sana, dan yang didapat sama – protes warga.
Pelaksana proyek itu bukan lagi PT SMI – saat kertas posisi ini ditulis – tetapi sudah beralih ke PT Geo Dipa Energi.
Sajian dalam kertas posisi ini – yang memposisikan kepentingan masyarakat sebagai fokus analisis – menjadi amat berharga untuk menyelami apa yang membuat warga Wae Sano tidak dengan mudah terpengaruh narasi-narasi besar bahwa geothermal ini sumber energi yang baru, terbarukan, paling ramah lingkungan, dan seterusnya dan karena itu wajib diterima.
Pastor Peter C. Aman, OFM, merangkum dengan padat di bagian akhir kertas posisi ini poin berikut: “Jika pembangunan selalu diwartakan sebagai upaya demi kesejahteraan masyarakat maka sulit dicerna akal sehat argumen bahwa demi kesejahteraan umum, rakyat sekitar area geothermal harus meninggalkan kampung serta kekayaan ekonomi serta budaya mereka, hanya demi memberi kesempatan bagi korporasi.”