Warga yang Jadi Tumbal, Cerita Film ‘Ilusi Transisi Energi’ yang Serupa Kasus di Flores

Realitas pengabaian hak warga setempat dan ancaman kerusakan lingkungan yang tergambarkan dalam film tersebut sama halnya dengan yang terjadi di Flores, terutama dalam polemik proyek panas bumi yang terus dipaksakan di ruang hidup warga

Judul Film: Bloody Nickel: Ilusi Transisi Energi; Genre: Dokumenter Lingkungan; Produksi: Watchdoc, 2023; Durasi: 38 menit


Saban hari kecemasan menghantui Anwar, petani cengkih dan jambu mete di Desa Sukarela Jaya, Pulau Wawonii, Provinsi Sulawesi Tenggara. 

Ia cemas karena tanaman pertaniannya itu mengalami penurunan produktivitas secara drastis beberapa tahun terakhir.

Jika pada tahun-tahun sebelumnya, ia mampu memanen 4 ton cengkih dan jambu mete dari lahan seluas dua hektare, pada 2022 produktivitasnya melorot jauh. Ia hanya memanen 300 kilogram, membuat ia rugi sekitar Rp55 juta.

Hal itu terjadi sejak beroperasinya PT Gema Kreasi Perdana [GKP], perusahaan tambang nikel yang mendapat ijin pinjam penggunaan kawasan hutan seluas 707,10 hektare.

Lokasi kebun Anwar berada tepat di sisi jalur angkut alat berat tambang PT GKP.

“Tahun ini kita tidak tahu, entah jadi entah tidak jadi, kita tidak tahu juga,” katanya, mengungkapkan kondisi ketidakpastian produktivitas tanamannya.

Aktivitas perusahaan tambang tersebut, kata Anwar, membuat daun dan buah tanamannya penuh dengan debu.

Anwar sedang menunjukkan kondisi pohon cengkih di kebunnya yang rusak akibat debu perusahaan tambang nikel. Kebun Anwar berada tepat di sisi jalur angkut alat berat tambang atau hauling nikel PT Gema Kreasi Perdana di Pulau Wawonii, Provinsi Sulawesi Tenggara (Tangkapan layar Film Ilusi Transisi Energi)

Lamiri dan Widiyati, dua petani cengkih lainnya mengalami kerugian masing-masing Rp170 juta dan Rp60 juta karena tanah mereka dirampas perusahaan.

Anwar, Lamiri dan Widiyati adalah beberapa dari 34.000 jiwa warga Pulau Wawonii yang jadi tumbal dari gegap gempita transisi energi yang hari-hari ini digembar-gemborkan pemerintah kita.

Berangkat dari situasi krisis iklim global, yang memaksa negara-negara beralih dari penggunaan energi fosil ke energi baru yang disebut ‘energi bersih’ atau ‘energi ramah lingkungan,” pemerintah membangun pabrik tambang dan pengolahan nikel secara besar-besaran.

Nikel menjadi bahan baku pembuatan baterai untuk kendaraan listrik.

Lima provinsi yang dikenal sebagai penghasil nikel menjadi target utama, yakni Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.

Tujuannya adalah menekan emisi karbon yang berkontribusi pada krisis iklim, dengan target  Net Zero Emission pada 2060 atau bisa lebih cepat dari itu.

Bloody Nickel: Ilusi Transisi Energi,” sebuah film dokumenter yang diproduksi Watchdoc pada 2023, merangkum kisah-kisah warga dari berbagai kawasan tambang nikel tersebut.

Film berdurasi 38 menit ini mengungkap bagaimana politik transisi energi yang dimainkan pemerintah terjadi secara serampangan.

Kerja kekuasaan yang secara teknis mengendalikan politik transisi energi tak hanya membawa kerugian ekonomi, tetapi juga konflik agraria, perampasan lahan, kerusakan lingkungan hingga intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga adat.

Kondisi pencemaran yang terjadi di Sungai Sagea, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. Lima perusahaan yang mengantongi Izin Usaha Pertambangan dengan total luas 11.330 hektare di daerah aliran sungai tersebut ditengarai menjadi sebab utamanya. (Tangkapan layar film “Bloody Nickel: Ilusi Transisi Energi’)

Tumbal Ambisi Elite

Film ini dibuka dengan cerita Aditya Mahaputra, seorang warga Jakarta yang sudah dua tahun menggunakan mobil listrik seharga Rp800 juta. 

Berlatar mewah dan megahnya ibu kota, dia mengemudi mobil tersebut yang biaya operasionalnya lebih murah dan tidak menghasilkan emisi karbon, layaknya kendaraan berbahan bakar fosil. 

Pemerintah memberi sejumlah kemudahan bagi pemilik mobil listrik seperti Aditya, berupa  subsidi dan keringanan pajak.

Namun hal yang dialami warga di kota besar seperti dirinya berbanding terbalik dengan warga kecil dari tempat pengambilan bahan baku baterai untuk kendaraan listrik tersebut.

Yang mereka alami adalah kerusakan lingkungan, deforestasi, kerugian ekonomi, perampasan tanah, kriminalisasi, hingga masalah-masalah sosial, budaya, dan kesehatan.

Apa yang terjadi di lima provinsi penghasil nikel sebetulnya adalah ringkasan dari ambisi besar pemerintah yang mendesain kawasan-kawasan tersebut sebagai ‘tumbal darah’ bagi pembangunan.

Dengan dalih mengatasi krisis iklim yang semakin mengancam bumi, pemerintah absen dalam melihat efek samping agenda transisi ini bagi dimensi-dimensi lain.

Fokus utama pemerintah hanya terarah pada bisnis investasi energi, dengan menarik sebanyak-banyaknya modal asing, serentak mengobral nasib manusia dan lingkungan.

Deforestasi di sekitar aliran Sungai Sagea, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. (Tangkapan layar film “Bloody Nickel: Ilusi Transisi Energi’)

Gigih Udi Atmo, Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM mengatakan pada Mei 2023  bahwa pemerintah tengah menyiapkan rencana investasi komprehensif yang berisi daftar proyek yang potensial dalam program transisi energi, berikut opsi pembiayaan dan regulasi yang mendukungnya. 

Ia mengatakan, “para donor tinggal memilih dari dokumen tersebut, layaknya memilih menu di restoran.”

Dalam konteks bisnis investasi nikel, di mana Indonesia memiliki deposit lebih dari 50 persen dari total perkiraan 72 juta ton di seluruh dunia, politik transisi energi pemerintah

tampak dilakukan dalam cara kerja kekuasaan yang datang bak penjajah bagi warga, demi ilusi pembangunan dan kemajuan. 

Disebut ilusi karena di balik kemajuan semu yang dialami warga di kota-kota besar, ternyata ada warga negara yang sama yang tergusur dan berdarah-darah di lokasi-lokasi tambang.

Bahkan, angka kemiskinan di lima provinsi penghasil nikel tersebut justeru meningkat, sama dengan tingkat pertumbuhan sektor pertambangan.

Cara kerja kekuasaan yang dipandu ideologi kapital atau ‘logika uang’ tersebut membuat pemerintah memberi kemudahan izin industri bagi korporasi besar, yang sebagian besarnya adalah korporasi asing. 

Lebih dari 300 izin usaha di lahan konsesi seluas 3,95 juta hektare diberikan negara hingga akhir tahun 2023. 

Sementara itu, ada juga penambangan nikel ilegal di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara yang melibatkan pejabat penting di Kementerian ESDM.

Semua perlakuan istimewa terhadap korporasi itu terjadi tanpa mempertimbangkan hak-hak warga lingkar tambang dan ekosistem alam di sekitarnya.

Padahal, warga bergantung sepenuhnya pada tanah dan hasil dari ekosistem alam yang mereka jaga secara turun temurun. 

Fakta-fakta inilah yang membuat politik transisi energi dilihat sebagai ‘tumbal darah’ warga demi ilusi penguasa. 

Kasus terakhir yang mencuat terkait industri hilirisasi nikel adalah ledakan smelter di kawasan industri PT Indonesia Morowali Industrial Park yang menewaskan 13 pekerja pada 24 Desember 2023.

Serupa dengan Kondisi di Flores

Transisi energi juga menjadi salah satu isu krusial yang sedang menghantui warga di Flores belakangan ini. 

Berbeda dengan lima provinsi penghasil nikel dalam “Ilusi Transisi Energi”, Flores adalah pulau yang dilalui cincin api vulkanik atau ring of fire, mengandung cadangan panas bumi sebesar 902 MW atau 65% dari total potensi panas bumi di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 

Pemerintah menyebut panas bumi atau geotermal sebagai satu dari beberapa jenis energi baru terbarukan atau ‘energi bersih’ alias ‘energi ramah lingkungan.’

Pada tahun 2017 pemerintah pusat menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi, disusul dengan penetapan sejumlah wilayah kerja proyek panas bumi yang baru.

Langkah ini memunculkan perlawanan warga di berbagai lokasi untuk proyek-proyek yang ditetapkan sebagai proyek strategis nasional bidang energi itu.

Warga di Desa Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat yang mayoritas petani, melakukan perlawanan terhadap proyek panas bumi selama lebih dari tujuh tahun. Mereka menyebut proyek tersebut mengancam keutuhan ruang hidup mereka.

Pada Desember 2023, Bank Dunia sebagai pendana undur diri. Namun, proyek itu tetap dipaksa dilanjutkan, dengan pendana beralih ke pemerintah Indonesia.

Dikawal ketat polisi, warga Wae Sano menggelar aksi unjuk rasa di Labuan Bajo pada 4 Maret 2022 menolak proyek geotermal di kampung mereka. (Dokumentasi Floresa)

Warga lainnya di Poco Leok, Kabupaten Manggarai juga melakukan perlawanan. Tahun 2023 bisa disebut sebagai annus horribilis [tahun yang mengerikan, alias tahun sial] bagi warga dari 10 kampung adat di wilayah itu. 

Mereka dipaksa oleh pemerintah dan perusahaan PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] untuk menerima proyek tersebut. Upaya ini dilakukan dengan melibatkan aparat keamanan yang melakukan intimidasi dan kekerasan.

Warga melakukan protes di lapangan, menghadang petugas perusahaan, mengadakan demonstrasi di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, mengajukan keberatan kepada PT PLN dan Badan Pertanahan Nasional, hingga menulis surat kepada pendana proyek, Bank Pembangunan Jerman, Kreditanstalt für Wiederaufbau.

Protes terhadap proyek serupa juga dilakukan warga di Mataloko, Kabupaten Ngada, di mana pembangunan proyek panas bumi mengalami kegagalan berulang sejak dirintis pada tahun 1998.

Protes warga muncul karena proyek tersebut tidak hanya gagal menghasilkan listrik, tetapi juga menimbulkan kerusakan parah pada lahan pertanian, hingga menyebabkan penyakit kulit dan pernapasan. Kini bermunculan berbagai lubang di sejumlah titik yang terus mengeluarkan lumpur panas.

Felix Pere, 79 tahun, warga Mataloko dengan latar belakang kawah lumpur dan uap panas di lahan pertanian, sekitar 300 meter di belakang rumahnya di Kampung Turetogo, Desa Wogo. Ia merupakan salah satu saksi hidup kegagalan proyek PLTP Mataloko sejak 1998. (Dokumentasi Floresa)

Di lokasi lainnya di PLTP Sokoria, Kabupaten Ende, warga juga melakukan protes, namun dibungkam dengan berbagai cara hingga pembangkit listrik tersebut mulai beroperasi pada paruh kedua tahun 2023.

Pelajaran untuk Gerakan Perlawanan

“Ilusi Transisi Energi” yang diluncurkan berdekatan dengan momentum Pemilu pada Februari mendatang sebetulnya mengandung sinyalemen terkait dua hal. 

Pertama, ini adalah peringatan penting bagi pemerintahan kita yang alih-alih demokratis tapi ternyata oligarkis, yang bermain dalam bisnis transisi energi, bahwa ambisi mereka dibayar dengan derita warga kecil.

Kedua, film ini tidak hanya mengetengahkan kegetiran tetapi juga lidah-lidah api perlawanan warga, yang tentu saja menjadi tanda bahaya bagi lingkaran elite pemegang status quo, terutama di tubuh rezim pemerintahan saat ini.

Dalam terang pikir yang sama dengan kritik film ini, kita juga dapat merefleksikan perlawanan warga seperti di Flores terhadap kebijakan transisi energi, hal yang menjadi bahasan utama tetapi menjadi kusir dalam debat cawapres beberapa waktu lalu.

Warga Poco Leok berdebat dengan aparat saat mengadang rombongan PT PLN yang mendatangi wilayah mereka pada Rabu, 30 Agustus 2023, menindaklanjuti aktivitas terkait proyek geotermal. (Dokumentasi warga Poco Leok)

Warga dan ekosistem lingkungan sekitarnya terancam menjadi tumbal oleh ambisi pemerintah, yang dikendalikan oleh logika kapital, memberikan keleluasaan bagi korporasi, lalu abai pada hak-hak warga, termasuk hak untuk hidup dan menikmati keutuhan lingkungan.

Kekuatan perlawanan yang selama ini membara di beberapa lokasi proyek panas bumi di Flores mesti selalu dijaga.

Perlawanan itu, bukan hanya untuk menentang pembangunan yang sewenang-wenang. Lebih dari itu adalah memberi pelajaran penting kepada penguasa bahwa warga biasa juga memiliki hak untuk mengatakan “Tidak” pada apa yang kerap diklaim sebagai pembangunan, padahal sebuah ilusi.

Anno Susabun, jurnalis dan pekerja sosial, bersama Farid Gaban menjadi tim peneliti “Barang Panas,” film dokumenter tentang proyek panas bumi.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kami bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.