Tak Peduli Siapapun Pendana, Warga Wae Sano, Flores Tetap Tolak Proyek Geotermal

Bank Dunia telah undur diri dari proyek geotermal Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat. Warga tetap pada sikap menolak, cemas dengan dampak proyek itu bagi ruang hidup mereka.

Floresa.co – Warga Desa Wae Sano mengisi kursi-kursi di kantor desa sebelum jam rapat dimulai.

Mereka datang tepat waktu dalam pertemuan pada 9 November 2023 itu, membahas kelanjutan proyek geotermal di desa mereka.

Sesuai isi surat dari Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi, rapat dimulai pukul 09.00 Wita.

Selain warga, hanya Kepala Desa Wae Sano, Mikael Pedo dan Pastor Paroki St Mikael Nunang, Yohanes Fredi Saldi – bagian dari peserta undangan – yang datang tepat waktu.

Sementara perwakilan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, Bank Dunia, PT Sarana Multi Infrastruktur [PT SMI], PT Geo Dipa Energi, dan Tim Komite Bersama muncul pukul 09.30 Wita. Mereka dikawal beberapa orang tentara dan polisi, baik yang mengenakan seragam maupun pakaian bebas.

Rapat itu membahas sosialisasi perubahan pendana proyek dari sebelumnya oleh Bank Dunia kepada pemerintah Indonesia melalui skema Pengembangan Hulu Energi Panas Bumi atau Geothermal Energy Upstream Development Project [GEUDP].

Sejak dimulai, suasana rapat berlangsung riuh. Raut kemarahan terlihat di wajah warga, yang sudah kesal karena kedatangan rombongan yang kesiangan.

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk unjuk menyampaikan protes ketika Hilarius Madin, Asisten I Bupati Manggarai Barat mulai berbicara, menekankan bahwa bahwa proyek itu akan terus dilanjutkan, apapun yang terjadi.

Ia beralasan sosialisasi telah digelar berkali-kali, “bahkan hingga ke dusun-dusun.”

Sementara sosialisasi sebelumnya itu “dengan skema anggaran Bank Dunia,” kini proyek itu memasuki “lembaran baru,” sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, demikian katanya.

Duduk di barisan belakang dalam ruang pertemuan, Lorens Jehamin, seorang warga menyeletuk merespons Madin, “Kami tidak mau menjadi tumbal pembangunan.” 

Madin menekankan bahwa “Negara mengacu pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945,” yang pada intinya menyatakan sumber daya alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya demi kepentingan rakyat.

Mendengar penjelasan lanjutan Madin, Lorens berujar dari kursinya, “Baca baik-baik Pasal 33 itu. Jangan baca sepotong-sepotong!”

“Kami warga Indonesia, jangan beri tekanan kepada masyarakat,” tambahnya.

Warga lainnya berteriak, “Jangan pakai kuasa di sini! Ini tekanan yang luar biasa.”

Madin berusaha menenangkan ruang pertemuan yang kian riuh. Ia tak lagi membahas perundang-undangan.

Madin menjamin “akan melakukan pengkajian lingkungan yang cermat dengan melibatkan pakar dari pelbagai disiplin ilmu,” sebelum mengerjakan proyek itu.

“Nanti ada ahli, Bapak dan Ibu sekalian. Bukan ahli-ahlian.”

Yosef Subur, warga lainnya merespons: “Kami tak butuh ahli.”

“Pengeboran di permukiman jelas-jelas merusak lingkungan,” kata Yosef, yang duduk di luar tenda di luar kantor desa yang sesak itu.

Merujuk pada dokumen PT SMI yang pernah dikeluarkan pada Desember 2018, Yosef melanjutkan, “bahkan ada ancaman untuk mengevakuasi dan merelokasi warga.”

Dokumen itu bertajuk “Sosialisasi Perolehan Tanah untuk Area Proyek dan Jalan Akses: Penyediaan Data dan Informasi Panas Bumi pada Wilayah Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat.” Isinya memuat pokok tentang kemungkinan “pemukiman kembali” warga sebagai dampak proyek itu.

“Itu kan dampak negatif. Untuk apa lagi ahli?” kata Yosef.

Ia juga menyinggung proyek geothermal di Mataloko, Kabupaten Ngada yang terus gagal usai lebih dari 20 tahun dikerjakan, yang memicu beragam persoalan lingkungan.

“Sekalipun melibatkan ahli, pada akhirnya ruang hidup masyarakat tetap rusak,” kata Yosef.

Maria Yosefina Voni yang duduk di sebelahnya menambahkan, “Mau datangkan ahli dari manapun, kami tetap tolak.” 

Madin melanjutkan bahwa pemerintah tidak serta-merta melakukan eksplorasi sebelum tim ahli bekerja karena setiap kegiatan eksplorasi, “berbasis pada rekomendasi tim ahli.”

Asesmen tim ahli terkait dampak negatif suatu perencanaan proyek, kata dia, akan berbuah dua opsi rekomendasi: lanjutkan atau hentikan. 

“Inilah aturan yang arif dan bijak,” katanya. 

Mendengar itu, Yosef kembali berceletuk, “berarti tunggu ada dampaknya dulu baru dihentikan.”

“Karena kami tidak mau merasakan dampaknya, makanya kami tolak sejak awal,” katanya.

Warga Wae Sano membawa poster penolakan proyek geothermal saat audiensi di Kantor Bupati Manggarai Barat pada 4 Maret 2022. (Dokumentasi Floresa)

Sejak Awal Menolak

Acara sosialisasi itu merupakan kegiatan terbaru pemerintah di Wae Sano, wilayah sekitar 34 kilometer arah tenggara Labuan Bajo setelah terakhir kali dilakukan pada 13 Desember 2022 dengan menghadirkan Bank Dunia.

Proyek itu mulai masuk pada 2017 pasca penerbitan Surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral kepada Menteri Keuangan bernomor 9553/03/MEM.E/2017.

Surat bertanggal 21 November 2017 itu berisi usulan “lima lokasi kegiatan pengeboran sumur eksplorasi oleh pemerintah” dan Wae Sano berada dalam daftar “dengan cadangan terduga 30 megawatt.”

Tahun 2018, pemerintah dan PT SMI mulai melakukan sosialisasi di kantor desa. Sejak saat itu, rangkaian aktivitas digalakkan.

Belakangan, proyek itu dialihkan dari PT SMI ke PT Geo Dipa Energi, sementara pendana kemudian beralih dari Bank Dunia, sebagaimana diumumkan dalam sosialisasi itu.

Sejak awal, warga menolak. Mereka melakukan beragam cara, mulai dari aksi unjuk rasa setiap kali pemerintah dan perusahaan menggelar kegiatan di desa mereka, aksi di Labuan Bajo, hingga menulis surat kepada berbagai pihak terkait, termasuk Bank Dunia.

Mereka juga meminta dukungan dari lembaga-lembaga advokasi, seperti Jaringan Advokasi Tambang, Sunspirit for Justice and Peace, lembaga Gereja Katolik JPIC-SVD dan JPIC-OFM dan Wahana Lingkungan Hidup Nusa Tenggara Timur.

Keteguhan mereka menolak proyek itu juga berujung pada aksi protes terhadap Keuskupan Ruteng, menyusul perubahan sikap Uskup Siprianus Hormat, yang kendati semula mendukung sikap mereka, kemudian beralih berdiri bersama pemerintah dan perusahaan.

Mereka juga telah melakukan studi banding ke beberapa titik geothermal, baik di Flores maupun di daerah lain, seperti di Pulau Jawa.

Karena telah mendatangi lokasi-lokasi itu dan mendapat informasi yang memadai tentang dampak proyek geotermal, kemarahan warga mencuat saat Mustika Delimantoro, Staf Direktorat Panas Bumi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM ikut berbicara setelah Madin dalam pertemuan 9 November.

Suasana yang sudah riuh kembali menjadi-jadi ketika Deli berkata; “Penolakan terhadap proyek panas bumi di beberapa tempat terjadi karena masyarakat belum mengerti.” 

Pernyataannya disambut protes seorang warga: “Kami tolak proyek panas bumi karena tahu dampak buruknya.” 

“Jangan coba-coba menipu kami,” sambung warga itu dari barisan belakang.

Deli tak merespons teriakan yang terus muncul dari sepenjuru ruang rapat. 

Ia tetap melanjutkan bahwa “pengembangan proyek panas bumi akan membuat Wae Sano tak hanya dikenal pada skala nasional, melainkan juga internasional.”

“Itulah mengapa proyek panas bumi seharusnya didukung semua orang,” katanya.

Namun, Maria Yosefina Voni kembali merespons bahwa warga menolak setelah melihat situasi di sejumlah titik proyek geothermal di Pulau Flores.

“Di sana bukan kesejahteraan yang didapat, melainkan kerusakan ruang hidup dan penurunan sumber-sumber ekonomi warga,” katanya.

Tanaman jangka panjang seperti kopi “banyak yang mati atau tak lebat lagi buahnya,” kata Maria.

Penurunan produktivitas kopi, kata dia, dipicu dadap – yang kerap digunakan sebagai penaung kopi – telah banyak yang mati.

“Kami tak ingin itu juga terjadi di kampung kami,” katanya.

Sementara saat Deli menyatakan, dana masuk ke Wae Sano dari proyek geotermal bisa mencapai triliunan rupiah, seorang warga lain berkata, “Ini bahasa-bahasa rayuan yang sering diucapkan korporasi.”

“Sedap didengar,” katanya, “tapi kenyataannya membawa banyak kehancuran.”

Warga Wae Sano menggelar aksi di Kantor DPRD Mabar, Kamis, 13 Februari 2019, menolak rencana pembangunan geothermal di wilayah mereka. (Dokumentasi Floresa).

Kecemasan tentang Masa Depan

Sebelum pertemuan pada 9 November, warga berkumpul di Rumah Adat atau Gendang Nunang, salah satu dari ketiga kampung adat di Desa Wae Sano.

Mereka memohon penyertaan roh leluhur agar mendampingi mereka sepanjang rapat. 

Itu adalah kebiasaan mereka sebelum hadir dalam setiap kali pertemuan dengan pemerintah dan perusahaan.

Pada pagi itu, mereka juga membahas secara singkat argumen yang akan disampaikan yang telah dibahas pada malam sebelumnya.

Dalam rapat pada 8 November malam itu, dimana Floresa hadir, warga, baik laki-laki maupun perempuan, sepakat untuk tetap pada sikap menolak karena mencemaskan masa depan mereka.

Berlokasi di dekat danau vulkanik Sano Nggoang, secara turun-temurun warga Wae Sano meyakini kesatuan ruang hidup di wilayah adat mereka. 

Kesatuan itu terbentuk dari golo lonto, mbaru kaeng, natas labar [perkampungan adat], uma duat [lahan pertanian/perkebunan], wae teku [sumber mata air], compang takung, lepah boa [tempat-tempat adat], puar [hutan] dan sano [danau].

Dari setiap elemen itu, mereka beroleh keseharian yang cukup. Tanah yang subur di tepi danau menopang panen kakao, kelapa, cengkih, vanili, buah-buahan dan sayur-sayuran.

Karena cemas semua itu akan hilang, Rofinus Rabun, seorang warga mengatakan, “tidak penting siapa yang mendanai” proyek itu.

“Sepanjang geotermal Wae Sano berada dalam ruang hidup masyarakat, hanya ada satu kata, kami tetap tolak,” katanya.

Bagi Yosef Erwin Rahmat, warga lain yang lahir dan besar di Nunang, ancaman terhadap ruang hidup itulah pokok persoalannya.

Ia berkata, rumahnya hanya berjarak sekitar 50 meter dari titik pengeboran yang ditentukan perusahaan, sementara di dua kampung lainnya, Dasak dan Lempe, permukiman warga berjarak sekitar 100 meter dengan titik pengeboran.

Hal senada disampaikan Yosef Subur bahwa persoalan pokok proyek itu adalah potensi pengrusakan ruang hidup warga, bukan sumber pendanaan.

Ia mengatakan mereka tidak pernah mengusulkan peralihan pendanaan dari Bank Dunia ke pemerintah.

“Ketika titik eksplorasi panas bumi tidak dicabut dari ruang hidup masyarakat, maka siapapun, lembaga manapun yang mendanai, masyarakat tetap menolak,” katanya.

Menyinggung soal rencana relokasi, sementara pemerintah mengklaim proyek itu untuk mensejahterakan masyarakat, kata dia, “masyarakat mana yang mau disejahterakan?”

Regina Tin, seorang ibu mengatakan khawatir dampak proyek itu bagi tanaman pertanian, berangkat dari pengalaman yang ia saksikan di lokasi lain di Flores.

Ia berkata, “selama ini, pemasukan kami dari hasil olah tanah lumayan, setidaknya bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga.”

“Bahkan, kami menyekolahkan anak dari hasil olah tanah. Selain bertani, kami juga memelihara ternak seperti babi dan ayam. Itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,” ungkapnya.

Karena kesadaran bahwa tanah telah memberikan apa yang mereka butuhkan, kata dia, sejak awal “penolakan datang dari kesadaran diri kami sendiri” dan “kesepakatan bersama dalam keluarga.”

“Saya tidak peduli dengan perubahan pendana proyek itu,” katanya.

“Siapapun yang mendanai proyek itu, saya tetap mempertahankan hak saya atas ruang hidup.”

Warga Wae Sano sedang ikut dalam salah satu pertemuan membahas proyek geothermal di kampung mereka. (Dokumentasi Floresa)

Tanda-tanda Upaya Pemaksaan

Sementara warga Wae Sano cemas dengan masa depan mereka, pemerintah dan perusahaan mensinyalir proyek yang jadi salah satu dari proyek strategis nasional di Flores itu akan tetap dijalankan.

Idham Purnama dari PT Geo Dipa Energi mengatakan proses awal yang dilakukan perusahaan tersebut pada November dan Desember 2023 adalah administrasi tutup buku dengan Bank Dunia.

Proses administrasi kedua yang akan dilakukan akhir tahun ini, katanya,  adalah membuka lembaran buku baru dengan pendanaan dari pemerintah.

Ia menjelaskan, pada awal 2024 mereka juga akan melakukan perbaikan jalan dari Langgo, Jalur Trans Flores sampai di tempat “di mana proyek akan dilaksanakan.”

Setelah perbaikan jalan, proyek akan berlanjut ke titik-titik pengeboran, tambahnya.

“Kemungkinan pengeboran akan dilakukan di tahun 2025,” kata Idham.

Sementara Madin dalam pernyataannya pada 9 November mengingatkan warga bahwa ketika ada kepentingan yang lebih besar, “pemerintah akan mengambil alih lahan” mereka dengan tidak mengabaikan hak ganti rugi.

Ia mengatakan rujukannya adalah pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

“Inilah aturan Indonesia yang harus diterima oleh pemilik lahan,” ungkapnya.

Rofinus Rabun berkata kepada Floresa baru-baru ini bahwa pertemuan pada 9 November itu bukan lagi sosialisasi, tetapi aksi mengancam warga agar menerima proyek itu.

“Saya merasa diancam,” katanya, membayangkan kemungkinan aksi represif terhadap mereka yang tetap menolak proyek itu, seperti yang sudah terjadi di tempat lainnya atas nama proyek strategis nasional.

Warga Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat sedang membaca surat Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat yang meminta agar proyek geothermal di kampung mereka dilanjutkan. Pada Minggu, 6 Juni 2021, warga berkumpul membahas surat tersebut yang mereka sebut menggadaikan masa depan mereka. (Foto: Floresa)

Sementara Maria Yosefina Voni mengkritisi pernyataan Madin bahwa penolakan warga “harus disertakan dengan alasan yang rasional dan bisa dipertanggungjawabkan.”

Pernyataan semacam itu, katanya, menunjukkan arogansi pemerintah yang seolah mengklaim warga tidak tahu apa-apa. Padahal, yang mereka serukan adalah tentang ruang hidup dan masa depan.

“Selama ini alasan kami sudah sangat rasional,” katanya, menegaskan bahwa pemerintah dan perusahaanlah yang tidak mengerti alasan mereka.

Sementara Yosef Subur mengingatkan bahwa yang dilontarkan Madin merupakan bagian dari upaya “memaksa kehendak”.

Sudah semestinya, kata dia, “tidak boleh memaksa kehendak kepada siapapun,” apalagi dengan masyarakat kecil seperti di Wae Sano yang dalam posisi rentan di hadapan pemerintah dan pengusaha.

Editor: Anastasia Ika

Laporan ini bagian dari seri liputan Panas Dingin Proyek Strategis Nasional di Pulau Panas Bumi, yang didukung oleh Jaringan Advokasi Tambang

spot_imgspot_img

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Juga Artikel Lainnya

Floresa Hadiri Peluncuran ‘Journalism Trust Initiative’ untuk Penguatan Media Digital di Indonesia

Indonesia adalah satu dari 10 negara prioritas di Asia-Pasifik yang diharapkan bisa bergabung dalam proses sertifikasi media digital ini

Menteri Sandiaga Uno Tanam 1.000 Pohon di Golo Mori, Labuan Bajo, Tapi Dukung Pembabatan ‘Jutaan Pohon’ untuk Proyek Parapuar di Kawasan Hutan Bowosie

Penanaman pohon, kata Sandiaga, bagian dari upaya mendukung ‘green tourism’ di Labuan Bajo, namun dianggap sebagai aksi ‘tipu-tapu’

Maria Suryanti Jun: Menentang Geotermal karena Poco Leok Tanah Adat dan Warisan Leluhur Kami

Kelompok perempuan di Poco Leok terlibat aktif dalam gerakan perlawanan menolak proyek geotermal yang diyakini mengancam masa depan hidup dan lingkungan mereka

Abrasi Kian Parah, Pesisir Sikka Kian Terancam

Warga berjibaku mencari solusi di tengah abainya pemerintah

BRI Cabang Ruteng Beri Penjelasan terkait Kasus Nasabah yang Protes Soal Tunggakan Pinjaman

Nasabah tersebut mempersoalkan tunggakan lebih dari Rp29 juta