Floresa.co – Pelaku wisata dan anggota dewan di Kabupaten Manggarai Barat memprotes kebijakan kenaikan tarif jasa pemandu wisata alam [naturalist guide] di kawasan Taman Nasional [TN] Komodo, yang dinilai dilakukan secara sepihak, mengabaikan aspirasi mereka.
Evodius Gonsomer, Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia [Asita] Kabupaten Manggarai Barat menyebut penetapan tarif baru itu oleh PT Flobamor sejak awal bulan ini “tanpa ada kesepakatan” dengan berbagai stakeholder, termasuk para pelaku wisata yang tergabung dalam berbagai asosiasi.
Ia menjelaskan BUMD milik Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] yang mengantongi Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam [IUPSWA] di TN Komodo itu memang sudah melakukan dua kali konsultasi publik di Hotel Prundi, Labuan Bajo pada Januari 2024.
Sosialisasi itu, kata Evodius, melibatkan para pelaku wisata, Kepala Balai Taman Nasional Komodo [BTNK] dan perwakilan lembaga agama Keuskupan Ruteng.
Namun, katanya, sosialisasi tersebut “hanya menyetujui kenaikan tarif sebesar Rp150 ribu untuk semua jenis trekking dan direncanakan diberlakukan pada April 2024”.
“Secara sepihak PT Flobamor menetapkan tarif baru,” katanya kepada Floresa pada 15 Maret.
Hal senada disampaikan Fransiskus Hambut, pelaku wisata lainnya, menyebut kebijakan itu “mengecewakan banyak pihak.”
Kebijakan itu, katanya, tidak dibahas dalam konsultasi publik pada Januari.
“Nominal kenaikan tarif [yang disepakati] hanya Rp150 ribu untuk semua jenis trekking [lintasan] dan akan mulai berlaku awal April,” katanya.
Ia menyayangkan sikap perusahaan tersebut yang menurutnya “tidak konsisten dan tidak menghargai kesepakatan bersama saat konsultasi publik.”
“Yang lebih disayangkan, keputusan kenaikan ini mengubah pungutan menjadi tiga jenis, yaitu short track, medium track, dan long track,” ujarnya.
Kebijakan Baru PT Flobamor
PT Flobamor memberlakukan kebijakan baru pada 1 Maret.
Dalam kebijakan ini, tarif jasa pemanduan wisata [naturalist guide] di Loh Liang, pintu masuk wisata di Pulau Komodo menjadi Rp200 ribu hingga Rp300 ribu per satu sampai lima orang wisatawan, meningkat dari sebelumnya Rp120 ribu.
Tarif tersebut dibagi ke dalam tiga jenis trekking, yakni Rp200 ribu untuk short track, Rp250 ribu untuk medium track, dan Rp300 ribu untuk long track.
Sedangkan di Pulau Padar, perusahaan tersebut memungut tarif Rp150 ribu per satu sampai lima wisatawan.
Tarif lainnya yang juga diumumkan adalah lima jenis jasa adventure di Pulau Komodo, yakni Loh Liang – Hanu Nggulung, Loh Liang – Poreng, Loh Liang – Sebita, Loh Liang – Gunung Ara, dan Loh Liang – Gunung Ara – Gunung Sata Libo.
Tarif jasa adventure ini bervariasi, mulai dari Rp400 ribu hingga Rp1 juta.
Selain itu adalah empat jenis jasa pemanduan di Pulau Padar – bird watching, sport fishing, shooting film, dan fotografi – yang berkisar antara Rp400 ribu hingga Rp750 ribu.
BTNK Dukung, DPRD Sebut Bupati Cuci Tangan
Otoritas pemerintah mengambil sikap berbeda terhadap hal ini.
BTNK, lembaga yang berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], salah satu dari beberapa stakeholders yang mengatur tata kelola TN Komodo, sepakat dengan kebijakan PT Flobamor.
“Kenaikannya masih dalam batas kewajaran dan dilakukan secara bertahap, berkisar Rp30 ribu sampai Rp80 ribu per lima orang pengunjung,” kata Kepala BTNK, Hendrikus Rani Siga kepada Floresa pada 15 Maret.
Ia juga mengklaim PT. Flobamor tidak membuat keputusan sepihak karena “sudah dilakukan konsultasi publik dan sosialisasi.”
Sementara itu, Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi memilih menghindar dari pembahasan tentang kebijakan PT Flobamor dan urusan di TN Komodo.
Berbicara dalam Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Manggarai Barat pada 14 Maret, ia menyatakan “tidak punya kewenangan” dalam pengelolaan pariwisata di kawasan TN Komodo.
“Ruang koordinasi dan komunikasinya di Pemerintah Pusat, bukan kepada Pemda,” ungkapnya, sebagaimana dilansir dari Detik.com.
Endi juga mengatakan “Pemda tidak punya kewenangan untuk mengingatkan PT Flobamor atau badan layanan apapun yang melakukan pungutan di TN Komodo.”
Menanggapi pernyataan Endi, Ketua Komisi III DPRD Manggarai Barat, Inocentius Peni memberikan catatan kritis.
Seharusnya, kata dia, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat “proaktif mengkomunikasikan persoalan tersebut kepada pemerintah Provinsi NTT atau kepada KLHK.”
“Tetapi seperti dalam rapat paripurna, Pemda cuci tangan,” katanya kepada Floresa pada 19 Maret.
Sebagai tindak lanjut, kata dia, Komisi lll berencana mengadakan Rapat Dengar Pendapat [RDP] setelah masa liburan Paskah, di mana pihaknya akan memanggil pihak-pihak terkait, termasuk BTNK dan Dinas Pariwisata.
“RDP itu untuk mempertemukan para pihak. Apa alasan yang disampaikan oleh BTNK atau PT Flobamor, lalu apa aspirasi teman-teman pekerja pariwisata,” ungkapnya.
Floresa menghubungi Direktur Operasional PT Flobamor, Abner E. R. Ataupah, pada 12 Maret, meminta respons terhadap protes pelaku wisata dan kritik yang disampaikan anggota dewan. Pesan WhatsApp yang dikirim kepadanya bercentang dua, tetapi tidak direspons.
Pada 22 Maret, Abner kembali dihubungi untuk tujuan yang sama, termasuk menanyakan kepadanya terkait dasar kebijakan kenaikan tarif, hubungan kebijakan tersebut dengan IUPSWA perusahaan tersebut, dan sistem koordinasi mereka dengan stakeholder lainnya dalam pengelolaan TN Komodo.
Ia kembali tidak merespons pertanyaan Floresa.
Simpang Siur Koordinasi Sebabkan Kegaduhan
Cypri Jehan Paju Dale, akademisi yang salah satu fokus penelitiannya pada isu pembangunan pariwisata dan konservasi di TN Komodo menyebut polemik berulang akibat ulah PT Flobamor menunjukkan “kesimpangsiuran tata kelola taman nasional tersebut sebagai kawasan konservasi dan ekowisata.”
“Akarnya ada pada skema privatisasi manajemen yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo,” katanya kepada Floresa.
Privatisasi manajemen tersebut, kata dia, menimbulkan mekanisme koordinasi yang “tidak diatur” antara PT Flobamor dengan lembaga pemerintah lainnya, seperti KLHK dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif [Kemenparekraf], termasuk juga Pemprov NTT dan Pemda Manggarai Barat.
“Sebagai perusahaan yang mendapat konsesi IUPSWA di dalam TN Komodo, PT Flobamor ini merasa memiliki kuasa untuk menetapkan tarif,” kata Cypri yang kini menjadi peneliti di Universitas Wisconsin Madison, Amerika Serikat.
Ia menyebut sistem koordinasi yang terjadi antara stakeholders tersebut simpang siur, membuat para pelaku wisata yang dirugikan oleh kebijakan PT Flobamor menjadi kebingungan.
Mereka, kata dia, “terpaksa harus berhadapan dengan perusahaan ini secara langsung atau protes kepada pemerintah.”
Persoalan “tata kelola yang buruk” juga diungkapkan Venan Haryanto, peneliti dan mahasiswa program doktoral dari Universitas Bonn, Jerman.
“Monopoli bisnis ini memperlihatkan buruknya tata kelola pariwisata dan konservasi di TN Komodo yang selama ini terus dikritik publik,” katanya.
“Setiap pihak atau pemangku kepentingan hanya berusaha mencari keuntungan sendiri, tanpa berusaha bagaimana memikirkan cara terbaik untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan ke depan,” tambahnya.
Ia mengatakan, keputusan sepihak PT Flobamor “lagi-lagi memperlihatkan nafsu lama perusahaan ini untuk memonopoli bisnis pariwisata di dalam kawasan itu”.
“Sebelumnya kita perlu catat, upaya perusahaan ini untuk memonopoli pengelolaan bisnis pariwisata di sebagian kawasan TN Komodo mendapat penolakan keras dari publik,” katanya.
Venan menyinggung polemik kenaikan tarif wisata yang juga terjadi pada 2022 dan 2023, di mana kebijakan tersebut dibatalkan oleh KLHK menyusul rangkaian unjuk rasa di Labuan Bajo.
“Apa yang dilakukan oleh PT Flobamor ini merupakan langkah yang dengan sendirinya mengabaikan protes publik sebelumnya, sekaligus keputusan pihak KLHK,” ungkapnya.
Deretan Kontroversi PT Flobamor
Polemik kenaikan tarif wisata di TN Komodo bukan masalah baru.
Pada 2018, masa awal pemerintahannya sebagai Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat mewacanakan kenaikan tarif masuk kawasan tersebut sebesar 1000 dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp14 juta, sesuai kurs saat itu.
Bersamaan dengan itu, pada 2019 ia juga mengumumkan rencana relokasi warga adat Ata Modo di Pulau Komodo, mengklaim pulau itu hanya boleh dihuni oleh komodo.
“Karena namanya Pulau Komodo, maka kami harus mengatur agar pulau itu betul-betul hanya terisi komodo, tidak boleh ada manusia,” pernyataan Laiskodat kala itu yang memantik kemarahan warga Kampung Komodo.
Ia merencanakan warga Kampung Komodo dipindahkan ke pulau lain di dalam kawasan TN Komodo.
Pada 2022 Laiskodat mendatangkan PT Flobamor yang langsung mematok angka tiket sebesar Rp3.75 juta atau Rp15 juta per empat orang dalam sistem keanggotan yang berlaku selama setahun.
Kebijakan tersebut menimbulkan perlawanan warga dan pelaku wisata. Mereka melakukan aksi protes pada Agustus 2022 di Labuan Bajo yang direspons dengan represi oleh aparat keamanan. Sebagian besar dari 1.000 aparat yang mengamankan aksi itu didatangkan dari Polda NTT.
Dalam aksi itu berapa orang terluka dan beberapa lainnya ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka, sebelum kemudian dibebaskan.
Merespons polemik ini, KLHK mengumumkan penundaan kenaikan tarif itu karena dianggap bertentangan dengan sejumlah undang-undang.
Awal 2023, beberapa bulan pasca perusahaan yang tak punya rekam jejak di bidang pariwisata itu gagal menetapkan tarif Rp3.75 juta, muncul Surat Keputusan Direksi PT Flobamor Tentang Tarif Jasa Pelayanan Wisata Alam di Taman Nasional Komodo Nomor 01/SK-FLB/III/2023.
Keputusan tersebut, yang mulai berlaku sejak 15 April 2023, mengatur tarif untuk wisatawan domestik di Pulau Komodo sebesar Rp 250 ribu untuk short track, Rp 275 ribu untuk medium track, dan Rp 300 ribu untuk long track, yang termasuk dalam kelompok jasa informasi, pemanduan dan perjalanan.
Sementara untuk kegiatan adventure Loh Liang, bervariasi mulai dari Rp350 ribu hingga Rp500 ribu, sedangkan pemanduan malam sebesar Rp350 ribu.
Di lokasi wisata Padar Selatan, PT Flobamor menetapkan tarif Rp250 ribu untuk trekking, Rp375 ribu untuk bird watching, Rp400 ribu untuk sport fishing, Rp375 ribu untuk syuting film, dan Rp275 ribu untuk fotografi.
Sedangkan tarif masuk wisatawan mancanegara ditetapkan Rp 400 ribu untuk short track, Rp 425 ribu untuk medium track, dan Rp450 ribu untuk long track.
Aktivitas adventure Loh Liang dipatok antara Rp500 ribu hingga Rp1,2 juta dan Rp1 juta per orang bagi yang bermalam.
Di Padar Selatan, turis mancanegara dipungut biaya sebesar Rp400 ribu, Rp750 ribu untuk bird watching, Rp800 ribu untuk sport fishing, Rp750 ribu untuk syuting film, dan Rp550 ribu untuk kegiatan fotografi.
Kebijakan tersebut, yang ditetapkan sebulan sebelum penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara di Asia Tenggara atau ASEAN Summit di Labuan Bajo kembali mendapat protes pelaku wisata dan menyita perhatian KLHK dan Kantor Staf Presiden [KSP].
Dalam Rapat Penanganan Isu Strategis terkait TN Komodo di Labuan Bajo pada 4 Mei 2023, Helson Siagian, Tenaga Ahli Utama Kedeputian I KSP meminta PT Flobamor untuk mencabut keputusan tersebut sebelum ASEAN Summit digelar.
Selanjutnya, perintah pembatalan kebijakan perusahaan itu ditegaskan oleh KLHK dalam surat bernomor S.462/Menlhk-Setjen/Roum/KSA.3/5/2023 tertanggal 5 Mei 2023, di mana PT Flobamor juga diminta mempertimbangkan masukan dari semua pihak sebelum menetapkan kebijakan terkait tarif wisata.
“Dengan pencabutan tersebut, tarif jasa pemanduan menggunakan tarif yang lama,” demikian bunyi pernyataan dalam surat tersebut.
Karpet Merah untuk Konsesi Perusahaan
PT Flobamor merupakan salah satu dari perusahaan yang mendapat karpet merah untuk berbisnis di dalam kawasan TN Komodo.
Perusahaan ini mengantongi IUPSWA dengan luas konsesi 712,12 hektar di Pulau Komodo, Pulau Padar dan perairan sekitarnya.
Perusahaan ini sebelumnya tidak memiliki rekam jejak menangani pariwisata. Bisnis utamanya adalah jasa penyeberangan, dengan mengoperasikan tiga unit kapal feri untuk rute antarpulau di wilayah NTT dan rute antarprovinsi NTT dan Maluku.
Bisnis lain dari perusahaan yang beralamat di Jalan Teratai Nomor 5, Kelurahan Naikolan, Kota Kupang dengan akta pendirian nomor 78 tanggal 21 September 2010 itu adalah perdagangan sapi; beras dan jagung; aspal, serta potensi peluang usaha lain yang berdampak pada ekonomi kerakyatan.
Dalam berbagai langkahnya menguasai kawasan TN Komodo, perusahaan tersebut menggandeng Tambling Wildlife Nature Conservation [TWNC], bagian dari Grup Artha Graha, milik Tomy Winata yang memiliki kedekatan dengan Laiskodat.
Selain BUMD itu, perusahaan swasta lainnya yang juga mengantongi izin di kawasan TN Komodo adalah PT Komodo Wildlife Ecotourism [PT KWE] yang terkoneksi dengan jaringan pengusaha dan politisi Golkar, Setya Novanto.
PT KWE memiliki konsesi lahan seluas 274,81 hektare di Pulau Padar dan 154,6 hektare di Pulau Komodo.
Selain itu adalah PT Segara Komodo Lestari yang diberikan konsesi lahan seluas 22,1 hektare di Pulau Rinca.
Perusahaan tersebut, yang mulanya adalah milik David Makes yang menjabat sebagai Ketua Tim Percepatan Pengembangan Ekowisata pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif kini telah diakuisisi oleh kakaknya, yakni Yozua Makes, Pemilik Grup Plataran, yang menguasai berbagai bisnis pariwisata di ibukota dan di Labuan Bajo.
Grup Plataran dikenal dekat dengan Presiden Joko Widodo. Dalam beberapa kali kunjungan ke Labuan Bajo, presiden menginap di resort milik Plataran dan menggunakan kapal phinisi mereka saat berwisata.
Sementara bagian lain kawasan itu, yakni Pulau Tatawa, berada di bawah penguasaan PT Synergindo Niagatama, dengan pemegang saham mayoritas Mochamad Sonny Inayatkhan.
Perusahaan yang memiliki konsesi seluas 15,32 hektare itu terkoneksi dengan raksasa bisnis sawit dan minyak goreng Wilmar International, yang tercatat memiliki relasi bisnis dengan putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep.
Perusahaan-perusahaan ini masih belum menjalankan bisnisnya karena protes publik, yang mengkhawatirkan bahaya bagi konservasi di kawasan itu.
Pentingnya Perbaikan Tata Kelola
Venans Haryanto berharap pemerintah memperbaiki tata kelola kawasan TN Komodo, dengan model yang tidak hanya mengutamakan investasi, lalu abai dengan warga lokal juga kelestarian alam, yang menjadi ‘jualan’ pariwisata Labuan Bajo.
Tata kelola yang buruk, katanya, tampak dalam model penanganan oleh PT Flobamor yang mengambil keputusan sewenang-wenang, tanpa memperhatikan aspirasi pihak terkait lainnya.
Ia menjelaskan, salah satu tuntutan publik yang selama ini terus disuarakan adalah mencabut semua izin perusahaan dalam kawasan TN Komodo.
Pemerintah, jelasnya, perlu “mengembalikan manajemen pengelolaan TN Komodo kepada BTNK dengan spirit utama wisata berbasis komunitas serta mengutamakan konservasi.”
Cypri Dale menambahkan, kegaduhan yang terus berulang karena tata kelola yang buruk tidak hanya mengganggu kenyamanan wisatawan, namun “pada gilirannya merusak reputasi pariwisata kita.”
Terkait tata kelola tersebut, Eusebius Neno, salah seorang pelaku wisata mengatakan “kebijakan yang memiliki dampak terhadap banyak mitra yang berkepentingan, khususnya stakeholder yang akan terdampak langsung” harus diadakan secara demokratis, yakni dengan “duduk bersama menyampaikan argumentasi.”
Ia mengatakan, PT Flobamor benar melakukan pengambilan keputusan sepihak jika proses penetapan kebijakan tersebut hanya melibatkan perusahaan itu.
“Harusnya semua pemangku kepentingan pariwisata duduk bersama untuk melihat hal ini, baik pelaku industri wisata, pemerintah, investor, maupun NGO [Non Governmental Organization/Organisasi Non Pemerintah] lainnya,” ungkapnya.
Ia mengingatkan bahwa “satu keputusan di industri pariwisata akan berdampak bagi banyak pihak.”
Laporan ini ditulis oleh Anno Susabun dan Anjany Podangsa, didukung hibah dari Alumni Thematic International Exchange Seminar [TIES] Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Editor: Ryan Dagur