Floresa.co – PT Flobamor kembali menetapkan kebijakan kenaikan tarif bagi wisatawan di kawasan Taman Nasional Komodo [TNK], hal yang oleh pelaku pariwisata disebut sebagai pungutan liar [Pungli] dan praktik monopoli bisnis.
Kebijakan ini muncul beberapa bulan usai perusahaan yang tidak memiliki rekam jejak dalam bisnis pariwisata itu gagal menerapkan kebijakan kontroversial menaikkan tiket Rp 3,75 juta ke wilayah TN Komodo.
Sesuai Surat Keputusan Direksi PT Flobamor Tentang Tarif Jasa Pelayanan Wisata Alam di Taman Nasional Komodo Nomor 01/SK-FLB/III/2023, kebijakan baru itu mulai berlaku sejak Sabtu, 15 April 2023.
Dengan kebijakan baru ini, wisatawan yang berkunjung ke wilayah TN Komodo, khususnya di wilayah yang masuk dalam kendali perusahaan daerah milik Pemerintah Provinsi NTT itu, mesti membayar biaya tambahan. Biaya tambahan itu di luar dari yang dibayarkan kepada agen travel dan karcis masuk sesuai ketentuan PP Nomor 12 Tahun 2014 tentang Peraturan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selama ini berlaku.
Langkah ini memicu protes dari pelaku wisata dan wisatawan.
Pada hari pertama pemberlakuan kebijakan tarif baru tersebut, Ata Modo – penduduk asli Pulau Komodo -, yang sebagian besar menjadi penjual suvenir dan kuliner mengadakan aksi protes di depan kantor Balai Taman Nasional Komodo Komodo Loh Liang, pintu masuk bagi turis.
Sementara itu, para pelaku wisata terlibat perdebatan dengan staf PT Flobamor di Pulau Padar.
Dalam sebuah video yang beredar, para pelaku wisata mempertanyakan tarif masuk sebesar Rp 400 ribu per satu orang pengunjung, sementara keterangan yang tertulis dalam kertas tiket menyebut angka Rp 400 ribu untuk satu naturalist guide yang menangani lima orang pengunjung.
Staf lapangan PT Flobamor yang dimintai pertanggungjawaban kemudian mengarahkan para pelaku wisata untuk mengajukan protes langsung di kantor perusahaan tersebut.
Ketentuan Tarif Baru
Dalam SK Direksi tanggal 24 Maret 2023, PT Flobamor mengatur tarif jasa kepemanduan wisata di Pulau Komodo dan Pulau Padar, lokasi perusahaan ini mengantongi Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Wisata Alam [IUPJWA] sejak 2022.
Berdasarkan SK tersebut, tarif untuk wisatawan domestik di Pulau Komodo adalah Rp 250 ribu untuk short track, Rp 275 ribu untuk medium track, dan Rp 300 ribu untuk long track, yang termasuk dalam kelompok jasa informasi, pemanduan, dan perjalanan.
Sementara untuk kegiatan adventure Loh Liang, bervariasi mulai dari Rp 350 ribu hingga Rp 500 ribu, sedangkan pemanduan malam sebesar Rp 350 ribu.
Di lokasi wisata Padar Selatan, PT Flobamor menetapkan tarif Rp 250 ribu untuk treking, Rp 375 ribu untuk bird watching, Rp 400 ribu untuk sport fishing, Rp 375 ribu untuk syuting film, dan Rp 275 ribu untuk fotografi.
Sedangkan tarif masuk wisatawan mancanegara ditetapkan Rp 400 ribu untuk short track, Rp 425 ribu untuk medium track, dan Rp 450 ribu untuk long track.
Aktivitas adventure Loh Liang dipatok sebesar dari Rp 500 ribu hingga Rp 1,2 juta dan Rp 1 juta per orang bagi yang bermalam.
Di Padar Selatan, turis mancanegara dipungut biaya trekking sebesar Rp 400 ribu, Rp 750 ribu untuk bird watching, Rp 800 ribu untuk sport fishing, Rp750 ribu untuk syuting film, dan Rp550 ribu untuk kegiatan fotografi.
Kebijakan Sepihak
Yohanes Romualdus, salah satu operator tur di Labuan Bajo menyatakan menolak kebijakan kenaikan tarif tersebut “karena itu masuk kategori pungli yang terselubung” yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Peraturan itu yang selama ini berlaku dalam penerapan tiket masuk ke wilayah TN Komodo.
“Tidak boleh ada negara dalam negara, artinya tidak boleh ada aturan yang tumpang tindih di atas PP 12 tahun 2014 itu,” kata Yohanes kepada Floresa.
Leo Embo, salah satu pelaku wisata mengatakan sejak awal kehadiran PT Flobamor adalah bentuk upaya monopoli bisnis wisata di TN Komodo.
Pemberian izin kepada perusahaan tersebut oleh pihak Balai Taman Nasional Komodo, kata dia, bersifat “memaksa pengunjung harus memakai jasa PT Flobamor”.
“Balai Taman Nasional Komodo menyediakan karpet merah PT Flobamor untuk monopoli usaha jasa wisata alam di Pulau Padar dan Pulau Komodo,” sebutnya.
Ia mengatakan, posisi PT Flobamor sebagai sebuah badan usaha sama dengan badan usaha lainnya yang menyediakan layanan jasa wisata di TN Komodo, sehingga tidak ada keharusan bagi pengunjung untuk menggunakan jasa perusahaan tersebut.
Seorang pelaku wisata yang enggan namanya dipublikasikan mengatakan kebijakan tersebut menimbulkan ketidakpercayaan tamu wisata yang menggunakan layanan mereka, sebab informasi tarif yang mereka sampaikan sebelumnya ternyata berbeda dengan yang terjadi di lapangan.
“Ini terlalu drastis, tergesa-gesa, dan tidak melalui diskusi dan sosialisasi terlebih dahulu,” katanya kepada Floresa.
Sementara itu, menanggapi aksi penolakan yang terjadi di Pulau Komodo dan Pulau Padar, Direktur Operasi PT Flobamor, Abner E. R. Ataupah meminta kepada Kapolres Manggarai Barat untuk mengamankan situasi.
Permohonan tersebut diketahui dalam surat bernomor 18/FLB/IV/2023 perihal Permohonan Pengamanan di Pulau Komodo.
“Meminta pengamanan oleh sejumlah personil kepolisian untuk menghindari keributan yang bisa saja terjadi di lapangan,” bunyi surat bertanggal 14 April 2023 itu.
Leo Embo mengatakan kebijakan yang dibuat oleh PT Flobamor membawa masalah baru di tengah upaya warga dan pelaku wisata untuk “mengembalikan citra pariwisata Labuan Bajo” pasca polemik kenaikan tarif menjadi 3.75 juta rupiah pada tahun lalu.
“Saat ini kondisi wisata masih lesu dan kami sedang berusaha meyakinkan kembali wisatawan setelah isu tarif 3.75 itu batal,” ungkapnya.
“Belum pulih dari sakit lama, tapi kok dibuat sakit lagi?” tambahnya.
Polemik terkait kebijakan kenaikan tarif masuk TN Komodo oleh PT Flobamor sebelumnya terjadi pada tahun 2022. Saat itu, perusahaan ini mematok angka tiket sebesar Rp3.75 juta, yang lalu menimbulkan perlawanan warga dan pelaku wisata.
Aksi protes mereka sempat direspons secara represif oleh aparat keamanan dan menyebabkan beberapa orang terluka dan beberapa lainnya ditangkap serta dijadikan tersangka.
Kebijakan itu kemudian dibatalkan sendiri oleh pemerintah setelah diakui bertentangan dengan sejumlah undang-undang.