Proyek ‘Parapuar’ BPO-LBF di Hutan Bowosie Berbasis Prinsip Ramah Lingkungan, Apa Benar?

Selain menggusur kawasan hutan, proyek Parapuar juga masih menyisakan persoalan dengan kelompok warga yang memprotes penguasaan lahan oleh BPO-LBF

Floresa.co – Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores [BPO-LBF], lembaga yang sedang mengerjakan proyek pariwisata Parapuar di kawasan Hutan Bowosie, Labuan Bajo mengklaim proyek itu dibangun “dengan menggabungkan keindahan alam dan pendekatan berbasis lingkungan.”

Hal tersebut disampaikan oleh Pelaksana Tugas Direktur Utama BPO-LBF Frans X. Teguh dalam acara Diskoria [Diskusi Kolaborasi Bersama Media] pada 30 April.

“Kami berkomitmen untuk menjadikan Parapuar sebagai model pengembangan kawasan yang berbasis lingkungan. Kami menjamin bahwa Parapuar akan tetap mengedepankan kontur aslinya sebagai Pintu Menuju Hutan dan pembangunan di dalam kawasan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan,” kata Frans.

Parapuar diambil dari Bahasa Manggarai, para yang berarti pintu dan puar yang berarti hutan.

Ia mengatakan pembangunan di kawasan tersebut dipandu oleh ketentuan-ketentuan tertentu, misalnya dari 129,6 hektar luas Hak Pengelolaan Lahan, hanya 20,05 persen yang boleh dimanfaatkan oleh investor, juga aturan tinggi bangunan 10 meter dan maksimal dua lantai.

Ketentuan lainnya adalah “setiap pohon yang ditebang untuk pembangunan akan dikompensasikan dengan menanam 10 pohon baru.”

Selain itu, kata dia, proyek yang fokus pada “prinsip konservasi” itu “diharapkan dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat lokal dan generasi mendatang.”

Apa Benar Demikian?

Floresa menguji klaim Frans, dengan merujuk pada kondisi dan fakta di lapangan serta desain pembangunan sarana wisata tersebut yang dikeluarkan BPO-LBF pada Maret 2021.

Pada 21 April 2022, lembaga tersebut memulai penggusuran jalan masuk ke kawasan seluas total 400 hektar itu, yang membelahnya dari arah barat hingga bagian puncak bukit. 

Jalan yang dibangun BPO-LBF membelah kawasan Hutan Bowosie. (Foto: Floresa)

Penggusuran di lahan pertanian tersebut ditolak warga dengan mengadakan aksi pengadangan, di mana satu orang sempat ditangkap dan ditahan oleh aparat.

Setahun berselang, pada 4 April 2023 banjir melanda Labuan Bajo, di mana salah satunya berasal dari Hutan Bowosie, dan menyebabkan kerusakan rumah warga di sisi hutan itu. 

Warga menyebut banjir 2023 adalah yang terparah sepanjang sejarah di kota yang menjadi pintu masuk wisata menuju Taman Nasional Komodo tersebut.

Warga Racang Buka, yang tinggal di dekat lokasi Parapuar juga mengaku sebelumnya belum pernah terjadi banjir di wilayah tersebut. Banjir, kata mereka, baru terjadi usai BPO-LBF membangun jalan ke kawasan itu.

Frans Sebo, warga Racang Buka yang rumahnya dihantam banjir pada 5 April 2023. (Dokumentasi Floresa)

Dari sisi master plan desain proyek yang dipublikasikan pada 2021, tampak jelas bahwa kawasan seluas 400 hektar tersebut, yang dibagi dalam dua skema alih fungsi yakni Area Penggunaan Lain seluas 136,28 hektar dan Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Alam seluas 236,72 hektar, akan dibongkar untuk pembangunan hotel dan sarana wisata lainnya dengan jumlah kamar mencapai angka ratusan.

Dokumen master plan itu menyebut kawasan Hutan Bowosie dibagi ke dalam empat distrik, yakni Cultural District, Leisure District, Wildlife District dan Adventure District.

Di dalam empat distrik itu, akan dibangun sejumlah fasilitas, seperti Hotel dan Mice [168 kamar], Family Hotel Resort [113 kamar: 17 Bungalow dan 96 Kamar], High-End Resort [155 kamar: 29 Bungalow dan 126 Kamar], dan High-End Glamping [Hotel Glamour Camping] dengan perkiraan jumlah kamar 25 kamar.

Selain bertolak belakang dengan klaim “ramah lingkungan”, proyek tersebut juga terbukti telah menimbulkan konflik agraria yang berkepanjangan dengan Komunitas Masyarakat Racang Buka, yang telah menempati sisi barat kawasan tersebut sejak era 1990-an.

Kelompok warga tersebut telah menempuh berbagai macam cara untuk mempertahankan lahan pemukiman dan pertaniannya, salah satunya dengan menghadiri rapat dengan pendapat di Kantor DPR RI, Jakarta.

Mereka memprotes Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2018 yang menjadi legitimasi penguasaan lahan 400 hektar oleh BPO-LBF, yang menurut mereka sebagiannya termasuk lahan yang sudah mereka kuasai puluhan tahun.

Warga Komunitas Racang Buka di Labuan Bajo menggelar aksi unjuk rasa menentang penggusuran kebun mereka oleh BPO-LBF pada 25 April 2022. (Dokumentasi Floresa)

Kesimpulan

Berdasarkan dokumen master plan desain kawasan Parapuar dan kondisi di lapangan, klaim BPOLBF yang menyebut proyek tersebut dibangun berbasis ekologis atau ramah lingkungan dapat dikategorikan sebagai disinformasi.

Disinformasi merupakan informasi keliru yang disebarluaskan, meski orang yang menyebarkannya tahu bahwa itu keliru.

Editor: Ryan Dagur

CEK FAKTA LAINNYA

Baca Artikel Lainnya