Buruh Migran NTT Pilih Tak Pulangkan Anak Meski ‘Terjebak’ di Sabah, Malaysia

Aturan keimigrasian disertai amandemen UU Pendidikan di Malaysia membuat buruh migran asal Nusa Tenggara Timur [NTT] harus mengambil keputusan berat: memulangkan anak atau tetap tinggal bersama?

Judul kajian: Stuck in the Short Term: Immobility and Temporalities of Care among Florenese Migrants in Sabah, Malaysia; Penulis: Catherine Allerton; Jumlah halaman: 17; Tahun terbit: 2020; Penerbit: Ethnos, Volume 85, Issue 2: Care in Asia

__________________________________________________________

Tiga pasangan orang tua – masing-masing Teresa dan Yosep, Rofina dan Paulus, Rida dan Leo – datang ke Sabah, Malaysia pada 1980-an.

Di utara Pulau Kalimantan itu, mereka berangan-angan hidup menjadi migran muda yang mandiri. Tak ingin berlama-lama juga di sana. Rencananya Sabah jadi persinggahan temporer saja.

Begitu tabungan dirasa cukup, mereka berharap segera pulang ke pulau kelahiran masing-masing di NTT.

Membangun rumah berstruktur batu bata dan membesarkan anak di tengah keluarga besar di kampung; angan-angan yang terasa dekat dengan hati.

Mula-mula segalanya terasa mudah bagi ketiga pasangan tersebut. Tahun-tahun awal di Sabah, mereka masih bisa menabung. Lalu lahir anak pertama, kedua, dan seterusnya.

Tak lama setelah anak mereka lahir, masing-masing pasangan orang tua baru itu mulai mengurus akte kelahiran.

Namun, seiring amandemen undang-undang [UU] keimigrasian dan pendidikan Sabah, sejumlah kesulitan dihadapi keluarga kecil mereka.

Pulang atau Tinggal Bersama?

Pada 2002, pemerintah Malaysia mengamandemen UU Pendidikan Tahun 1996. Amandemen turut membatasi akses pendidikan sekolah negeri bagi anak-anak warga negara asing yang tinggal di Malaysia.

Mereka yang terkena dampak termasuk anak-anak buruh migran, pencari suaka dan pengungsi.

Empat tahun kemudian, Pemerintah Sabah kembali menerbitkan aturan baru: siapapun yang tak memiliki visa yang sah, bahkan jika lahir di dan memiliki akta kelahiran Sabah, akan ditangkap.

Aturan menyebabkan ketiga pasangan buruh migran yang tinggal di permukiman temporer – didominasi struktur seng dan gampang ambruk tertiup angin kencang – merasa terperangkap.

Mereka harus mengambil keputusan penting: memulangkan anak-anak ke tanah air, atau hidup bersama meski “masa depan nyaris mustahil di negeri tetangga.”

Bagi buruh migran NTT di Malaysia, urusan memulangkan anak-anak ke kampung kelahiran tak semudah membalik telapak tangan.

Dokumen yang dibutuhkan anak-anak mereka mungkin saja lengkap. Tetapi hidup keseharian mereka di kampung ternyata “amat jauh” dari bayangan sang orang tua.

Belasan tahun bekerja keras di Negeri Jiran, ketiga pasangan buruh migran menganggap kepulangan anak-anak malah “tak sepositif” gambaran mereka.

Tony, anak sulung Teresa, pulang ke kampung ibunya di Pulau Adonara ketika berusia 20 tahun. Bagi keluarga besar Teresa, kepulangan Tony adalah hal yang luar biasa.

Mereka tak pernah bertemu “Tony kecil”. Sekali ia pulang, keluarga besar berlomba-lomba memanjakannya.

“Saya dengar ia tidur larut malam, lalu bangun di atas jam 10 pagi. Ia minum banyak kopi dan diberi banyak kudapan,” kata Teresa seperti dituliskan kembali oleh Catherine Allerton dalam kajian Stuck in the Short Term: Immobility and Temporalities of Care among Florenese Migrants in Sabah, Malaysia.

Teresa menilai perlakukan keluarga besarnya “tak baik untuk Tony karena ia jadi malas bekerja dan tak punya rasa tanggung jawab.” Belasan tahun bekerja sebagai pencuci baju yang berkeliling antarrumah di permukiman padat Sabah, ia paham rasanya “cari uang itu tidak gampang.”

Tak sampai dua tahun kemudian, ia “memaksa” Tony kembali ke Sabah. Keputusan tersebut sempat ditentang Luter, seorang adik laki-lakinya.

Lain halnya dengan Teresa, Luter yang juga buruh migran di Sabah memulangkan anak-anaknya ke Adonara dalam waktu yang lama. Alih-alih mendorong anak-anaknya bekerja di Sabah, ia berkeyakinan mereka harus menempuh pendidikan setinggi-tingginya di Indonesia.

“Hati kami berbeda,” kata Teresa ketika ditanya soal perbedaan keputusannya dengan Luter. “Jika Tony sakit di kampung, siapa yang akan merawatnya? Di sini [Sabah] ada saya dan bapaknya.”

 

Imobilitas yang Paradoks

Sabah telah lama menjadi tujuan migrasi dan percampuran budaya. Skala migrasi meningkat secara dramatis pada 1970-an, seiring kedatangan sejumlah besar pengungsi Muslim dari Filipina bagian selatan yang dilanda perang, serta buruh migran dari pedesaan timur Indonesia.

Malaysia merupakan tujuan penempatan terbesar buruh migran asal NTT, menurut data yang disediakan Badan Pusat Statistik pada 2019, atau tahun terakhir publikasinya.

Posisi Malaysia [1.352 buruh migran] diikuti Brunei Darussalam dan Singapura—yang masing-masing mencatatkan 114 buruh migran asal NTT.

Tetapi tentu saja, jumlah tersebut hanya mengakomodasi buruh migran yang berangkat secara prosedural.

Hingga kini tak ada data pasti soal buruh migran asal NTT yang berangkat secara non-prosedural. Umumnya berita soal buruh migran non-prosedural baru terungkap ketika terjadi kekerasan di negara penempatan dan, yang terburuk, pulang ke tanah air dalam peti jenazah.

Kendati banyak migran tinggal di Sabah hingga puluhan tahun, “anak-anak mereka dikonfigurasikan sebagai anak-anak yang ‘mustahil’—tak seharusnya berada di Sabah,” tulis Allerton dalam kajian yang terbit pada jurnal antropologi sosial-budaya Ethnos.

Antropolog di Departemen Antropologi London School of Economics and Political Science, Inggris itu memfokuskan studi pada masa kanak-kanak dan migrasi, khususnya di negara kepulauan Asia Tenggara.

Guna mengetahui lebih jauh permasalahan anak-anak para buruh migran di Sabah, ia mewawancarai tiga pasang suami-istri yang berasal dari pulau-pulau dekat Flores Timur: Adonara, Solor dan Lembata.

Ketiga pulau itu dipilih “lantaran memiliki kesamaan budaya dan linguistik.”

Lewat kajiannya, Allerton menemukan migrasi sektor informal dari NTT ke Sabah telah menyebabkan situasi imobilitas yang paradoks. Macam-macam kondisinya.

Dalam banyak kasus, para migran NTT “gagal membangun rumah yang mereka rencanakan di kampung kelahiran, dan gagal pula menghemat uang,” tulis Allerton dalam 17 halaman kajiannya.

Sementara bagi sebagian migran, perpindahan awal mereka dimotivasi oleh kegagalan aspirasi pendidikan. Tetapi pada kenyataannya, “mereka merasa belum mampu memberikan pendidikan berkualitas kepada anak-anak mereka yang lahir di Sabah.”

Para migran juga acapkali tak menemukan cara mudah demi kembali ke kampung halaman karena bertahun-tahun berstatus ilegal di timur Malaysia.

Visa yang tak juga diperbarui membuat mereka sulit mengunjungi kerabat di sisi lain Sabah. Sebaliknya, kerabat mereka sulit berkunjung karena tuntutan pekerjaan. Mereka sulit terkoneksi satu sama lain, walaupun berada dalam satu kota yang sama.

Para migran, tulisnya, “mendapati diri mereka ‘terjebak’ dan tidak mampu kembali ke tanah air, membangun rumah di kampung, apalagi merencanakan masa depan di Malaysia.”

Sementara ketiadaan akses keimigrasian dan pendidikan bagi anak-anak, para buruh migran asal ketiga pulau itu “membuat mereka berisiko tak memiliki kewarganegaraan.”

Rofina, seorang buruh migran asal Lembata sampai harus menyimpan semua penanda dan bukti kelahiran setiap anaknya. Mulai dari akte kelahiran, surat baptis hingga tali pusar.

Itu pun tak ia simpan di rumah temporer yang ringkih di segala sudutnya. Sebaliknya, ia menitipkan “barang-barang yang tak ternilai” untuk disimpan seorang putrinya yang bekerja di sebuah kompleks perkantoran di Sabah.

Kalaupun suatu saat harus berpisah dengan sang putri, “saya ingin ia membawa serta tali pusarnya.”

Memaknai Kerja Keras

Teresa tahu migrasinya jauh dari harapan. Meski begitu, ia menolak saran Luter untuk memulangkan anak-anaknya kembali ke Indonesia.

Ia bahkan berusaha tak sakit hati ketika keluarga besar menyebutnya “bodoh” karena dianggap tak mengutamakan pendidikan bagi keempat anaknya.

Baik Luter maupun dirinya putus sekolah demi bisa bekerja, membantu orang tua yang mulai sepuh di kampung – suatu keputusan yang hingga hari ini tak pernah ia sesali.

Memungkasi kajian, Allerton mengenang ketika dirinya mewawancarai Teresa. “Ia berlinang air mata, teringat hari pertama bekerja di Sabah,” tulis Allerton.

Puluhan tahun setelah hari itu, “ia merasa bangga karena dapat menunjukkan arti kerja keras pada keempat anaknya.”

Di tengah-tengah ketidakpastian dan perasaan “terjebak” di Sabah, ia selalu menantikan Sabtu malam. Itulah ketika anak-anaknya berkunjung sembari membawa beberapa potong ayam goreng. Semalam suntuk mereka bercerita di bawah penyangga hunian yang telah doyong di sana-sini.

Perasaan terjebak sembari ditemani anak-anak, tulis Allerton, “terkadang melahirkan kelegaan tersendiri bagi para buruh migran.” Setidak-tidaknya, “keluarga mereka tetap utuh meski masa depan terasa buram.”

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kami bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.