Floresa.co – Maria Herlina Mbani hanya terdiam sambil mendekap putra bungsu yang tidur pulas di pangkuannya.
Ia menyeka air mata, enggan menjawab ketika Floresa mewawancarainya pada 4 April.
Menunggu kurang lebih sepuluh menit, Maria baru bisa bicara sambil terisak.
“Suami saya pergi ke Kalimantan dalam keadaan sehat. Mengapa sampai di sana dia meninggal?” kata Maria, 41 tahun.
Putrinya, Maria Kajila, 11 tahun, yang berada di belakangnya berusaha menenangkannya.
“Rencananya dia kerja dan mau beli beras untuk kami, nyatanya di sana dia meninggal karena lapar,” kata Maria, warga kampung Wairbaba, Desa Hoder, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka.
Ia mengenang suaminya Yodimus Moan Kaka atau Jodi, 40 tahun, yang meninggal di Provinsi Kalimantan Timur pada 28 Maret.
Ia merupakan pekerja yang direkrut secara ilegal, lalu ditelantarkan.
Saat hendak berobat dan membeli tiket untuk kembali ke Maumere, Jodi menghembuskan nafas terakhirnya di atas sebuah mobil carteran yang membawa mereka menuju sebuah rumah sakit.
Karena ketiadaan biaya untuk membawa jenazah Jodi ke Maumere, keluarga bersepakat menguburkannya di Kalimantan pada 29 Maret.
Didesak Kondisi Ekonomi
Jodi meninggalkan isteri dan dua anaknya di Sikka pada 12 Maret. Ia membawa serta anak laki-laki mereka, Aloysius Engkis Kurniawan, 19 tahun, ikut bersamanya.
Mereka meninggalkan Pelabuhan Lorens Say, Maumere bersama rombongan sekitar 70 orang, semuanya warga Sikka.
Maria mengakui “hidup kami susah sekali,” alasan yang membuat Jodi dan anak mereka mencari kerja di tempat lain.
Untuk makan sehari-hari, kata dia, mereka berharap pada hasil kebun yang tidak menentu dan pendapatan Joni dari pekerjaan sampingan sebagai ojek.
Sebelum berangkat, kata Maria, Jodi memberinya penguatan: “Saya pergi tidak akan lama.”
Jodi berjanji bahwa pada Mei akan ada gaji pertama, sesuai informasi yang didapat cari calo perekrutnya.
“Saya akan terlebih dahulu kirim uang untuk beli beras supaya kamu dan anak-anak jangan lapar,” kata Maria, menirukan ungkapan Jodi.
Direkrut oleh Calo, Kaki Tangan Caleg Terpilih
Maria berkata, kurang lebih dua minggu sebelum Jodi dan anaknya memutuskan berangkat, seseorang bernama Pilius membujuk mereka.
Pilius mengaku bekerja untuk seseorang yang disebut dengan nama Joker.
Floresa sudah mengonfirmasi bahwa Joker adalah sebutan untuk Yuvinus Solo [YS], seorang perekrut tenaga kerja yang ikut dalam pemilihan legislatif untuk DPRD Sikka pada Pemilu tahun ini. Maju dari Partai Demokrat di daerah pemilihan tiga, mencakup Kecamatan Talibura, Waigete, Bola, Waiblama, Doreng dan Mapitara, ia ikut terpilih.
Maria berkata, Pilius memberitahu suami dan anaknya untuk kerja di Kalimantan, di mana “makan minum di sana akan dijamin.”
“Kamu ke sana tinggal kerja,” kata Pilius, yang juga memberitahu mereka bahwa Joker akan menanggung tiket kapal dan biaya lainnya.
Maria mengaku tak pernah bertanya di perusahaan mana suami dan anaknya akan bekerja dan apakah perjalanan mereka mengantongi izin resmi atau tidak.
“Kami tidak berpikir sampai di situ. Kami hanya tahu kalau kerja ke Kalimantan berarti kerja di perusahaan sawit,” kata Maria.
Selain suami dan anaknya, kata dia, terdapat lima warga lain di kampungnya yang masuk dalam rombongan itu.
Ketua RT 17 Desa Hoder, Yuliana Yus dan beberapa sanak keluarga Maria yang hadir di rumah Maria mengakui hal itu kepada Floresa.
“Di RT saya ada empat orang. Mereka pergi tidak ada semacam pemberitahuan atau izin,” kata Yuliana.
“Saya juga sempat diberi tahu bahwa di RT 18 ada tiga orang. Mereka yang jalan itu saling kenal dan masih keluarga dekat,” tambahnya.
Baik Yuliana maupun Maria mengaku tidak pernah mengenal Joker sebelumnya.
Yuliana mengatakan bahwa mereka yang direkrut itu “sebut nama Joker yang rekrut, tetapi orangnya kami tidak lihat.”
Ketika Floresa menyebut nama asli Joker, Yuvinus Solo, Maria tetap tidak mengenalnya.
Ia mengaku baru mendengar nama Joker ketika Pilius datang menawarkan pekerjaan untuk suami dan anaknya.
Nama Yuvinus Solo, kata dia, baru ia dengar ketika suaminya meninggal.
Nong, warga Desa Hoder berkata kepada Floresa, nama Joker menjadi perbincangan hangat di desanya dalam proses perekrutan yang terjadi pada awal Maret.
Ia mengaku sempat bertanya kepada Jodi dan rombongan yang akan merantau ke Kalimantan, apakah mereka mengenal Joker.
“Saya tanya, ‘Siapa yang rekrut kamu? Mereka jawab, ‘Joker yang rekrut.’ ‘Kamu tahu kah Joker itu siapa’ Mereka bilang, ‘Joker itu Pak Yuvinus, [anggota] DPRD yang terpilih baru-baru ini,” kata Nong.
Nong berkata, meskipun mengetahui nama Joker maupun Yuvinus, mereka mengakui tidak pernah bertemu dengannya.
Ditelantarkan, Kelaparan, Minum Air Kotor
Petrus Arifin atau Ari, 38 tahun, dari Kampung Galit, Desa Habi, Kecamatan Mapitara ikut dalam rombongan bersama Jodi ke Kalimantan.
Ari, yang masih berada di Kalimantan berbicara dengan Floresa via sambungan telepon pada 6 April.
Ia mengakui “terjadi beberapa hal janggal dalam proses perekrutan hingga perjalanan kami dari Maumere ke Kalimantan.”
“Awalnya mereka [perekrut] datang dan beritahu kalau mereka cari tenaga kerja untuk perusahan sawit di Kalimantan atas nama Joker,” kata Ari.
Ia berkata, ketika berada di Pelabuhan Lorens Say Maumere, mereka yang tergabung dalam rekrutan Joker berjumlah puluhan orang.
Saat hendak naik ke kapal KM Lambelu, kata Ari “kami disuruh tidak boleh kerumunan, jalan harus pisah-pisah karena nanti ketahuan.”
Joker, kata dia, juga tidak ikut naik kapal itu.
Joker memberitahu mereka bahwa “banyak yang mengincar dirinya, sehingga ia memutuskan untuk naik kapal di Pelabuhan Larantuka.”
Joker kemudian bercerita kepada beberapa korban termasuk Ari bahwa “ia harus membayar polisi lima juta,” agar keberangkatan mereka sebagai tenaga kerja ilegal tidak ketahuan.
“Polisinya bilang, ‘Bapak naik kapal di Larantuka saja, jangan di sini,’” kata Ari menirukan ucapan Joker.
Akhirnya, kata dia, Joker pun naik kapal lewat Larantuka.
Tiba di Pelabuhan Kota Balikpapan, kata Ari, mereka melanjutkan perjalanan hingga ke daerah yang ia sebut ‘Simpang Kalteng,’ menggunakan tiga bus.
“Dari situ saya tahu, jumlah kami 72 orang, karena tiga bus itu penuh semua. Ada juga yang bawa balita, ada yang remaja,” katanya.
Rombongan para pekerja itu kemudian dipisahkan dalam dua kelompok.
“Kami yang satu bus kemudian diberangkatkan dari Simpang Kalteng menuju satu tempat yang mereka sebut Kamp Baru,” kata Ari.
Joker, katanya, tidak menemani mereka sampai ke lokasi kerja. Ia hanya sampai di Simpang Kalteng. Joker juga tidak menunjukan di mana tempat mereka bekerja.
“Kami malah dititipkan lagi kepada orang lain yang tidak kami kenal, namanya Yanto.”
Yanto mengatakan kepada rombongan tersebut, “sampai di Kamp Baru, kalau ada orang tanya, bilang saja kami ini nyasar.”
Tiba di Kamp Baru, kata Ari, rombongan dipindahkan ke beberapa tempat dan tinggal di pondok.
“Kami satu kelompok itu ada sembilan orang, termasuk Kakak Jodi.”
“Tanggal 18 Maret kami mulai kerja. Di pondok itu tidak ada peralatan dapur maupun bahan makanan. Lampu dan peralatan tidur pun tidak disediakan. Mereka hanya beri peralatan untuk kerja,” katanya.
Ia berkata, “hari-hari pertama kami masih dapat makan, tetapi beberapa hari kemudian kami diberi makan nasi basi.”
“Kami makan hanya pagi hari, makan siangnya jam setengah sepuluh malam. Setelah itu kami tidak dapat jatah makanan lagi,” katanya.
Kondisi itu membuat Ari dan kawan-kawannya memutuskan untuk kembali ke kantor di Kamp Baru dengan berjalan kaki delapan kilometer dalam keadaan lapar.
Setiba di sana, Ari menanyakan kepada salah satu petugas perihal alasan mereka tidak diberi makan.
Petugas itu, kata dia, lantas menjawab, “Tanya saja ke orang yang merekrut kamu.”
Bicara Terakhir dengan Suami
Maria tak ingat lagi tanggal Jodi terakhir kali berbicara dengannya.
Saat itu Jodi menelepon saat sedang menyusuri hutan dan kebun sawit menuju ke kantor yang terletak di Kamp Baru.
Jodi, kata Maria, mengeluh lapar.
“Orang tidak beri kami makan beberapa hari ini. Saya lapar dan haus sekali. Kaki tangan saya juga sakit, tidak seperti biasanya. Saya sudah tidak sanggup jalan lagi,” ucap Jodi dari seberang.
Maria kaget dan syok.
“Tolong jual babi dan kirim uang ke sini, saya dan Engkis mau pulang. Saya juga mau berobat tetapi tidak ada uang di sini. HP saya akan saya jual untuk biaya berobat,” pinta Jodi kala itu.
Berharap suaminya bisa kembali, keesokan harinya Maria langsung menjual babi peliharaan mereka.
Babi itu, kata dia, satu-satunya “barang berharga” yang rencananya disembelih saat acara Sambut Baru putri mereka pada Juni mendatang. Sambut Baru, sebutan untuk upacara Komuni Pertama dalam gereja Katolik, biasa dirayakan istimewa di Flores.
Maria tak menyangka malam itu adalah percakapan terakhir dengan suaminya.
Pada 29 Maret malam, Maria kaget ketika seorang tetangga membangunkannya.
Tetangga itu meminjamkan ponsel kepada Maria dan mengatakan Engkis menelpon dari Kalimantan.
“Belum sempat saya berbicara, anak saya menangis. Dia bilang, ‘Mama, Bapa sudah tidak makan tiga hari tiga malam, sekarang sudah tidak sadarkan diri. Saya sudah mencoba bangunkan dari tadi tetapi Bapa tidak menyahut.’”
“Suami saya meninggal di atas oto,” ucap Maria, sembari mengusap air mata.
Ari mengungkapkan kondisi kesehatan Jodi menurun sejak mereka tidak diberi makan oleh perusahaan dan terpaksa minum air kotor dari parit.
Ia mengaku sempat berusaha menelpon Joker yang saat itu masih berada di Balikpapan, ibu kota Kalimantan Timur, meminta tolong agar Jodi dibelikan tiket pulang ke Maumere.
Joker, kata dia, menjanjikan membeli tiket itu.
“Namun, sampai Jodi meninggal, tiket itu tidak dibelikan. Dia suruh rujuk Jodi ke rumah sakit. Kami juga disuruh ikut sekalian ke sana tetapi dia tidak beri uang,” kata Ari.
“Kami semua dalam posisi tidak ada uang sepeserpun. Untuk beli makan saja susah, apalagi harus ikut ke rumah sakit.”
Dengan uang hasil jual babi yang dikirim Maria, kata Ari, Jodi ditemani Engkis berusaha mencari tiket kapal laut dan berobat ke Balikpapan.
Keduanya menumpang sebuah mobil carteran, namun nyawa Jodi tidak tertolong.
“Saudara kami itu meninggal karena lapar,” kata Ari.
Aparat Diminta Tindak Tegas
Tim Relawan Untuk Kemanusiaan – Flores [TRUK-F], lembaga kemanusiaan milik Gereja Katolik berbasis di Maumere sedang menangani kasus ini yang sudah dilaporkan ke Polres Sikka.
Selain mendampingi Maria dan dua anaknya, TRUK-F juga berjanji mengawal proses hukumnya.
“Beberapa hari ke depan, Mama Maria bersama kami di shelter guna mendapatkan pendampingan dan penguatan psikologi,” kata biarawati Katolik pimpinan lembaga itu, Suster Fransiska Imakulata, SSpS, saat mendampingi Maria memberikan keterangan di Polres Sikka pada 5 April.
Ia menambahkan, mereka juga “coba menghindari adanya intimidasi yang dilakukan pihak tertentu” terhadap Maria.
“Kita ingin mama Maria tenang dulu,” katanya.
Suster Fransiska juga berkata akan membantu polisi untuk memperlancar proses penyidikan.
Menurutnya, TRUK-F sedang menelusuri informasi terkait keterlibatan YS atau Joker.
Sekretaris TRUK-F, Heni Hungan berkata, dari kronologis kejadian dan keterangan keluarga serta seorang pekerja yang masih di Kalimantan, “kami yakin YS terlibat kasus ini.”
“Ini merupakan kasus kejahatan kemanusian. Jadi, kami minta polisi bertindak cepat untuk menelusuri dan menangkap para pelaku,” tambahnya.
Ia menjelaskan, kasus ini bisa masuk kategori Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO] sebagaimana diatur dalam UU No 21 Tahun 2007.
Menurut UU itu, TPPO merupakan serangkaian tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman dan pemindahan orang yang mengakibatkan korban tereksploitasi.
“Mereka-mereka yang menjadi korban ini mengalami proses itu. [Mereka direkrut] dengan tujuan untuk bekerja, tetapi ternyata di sana mereka belum bisa bekerja,” kata Heni.
“Mereka mengalami penelantaran, kesulitan mendapatkan makanan, bahkan ada yang sampai sakit dan meninggal,” tambahnya.
Ia berkata unsur-unsur TPPO “dalam kronologis yang diceritakan oleh keluarga dan seorang korban di Kalimantan semuanya masuk.”
Heni juga menyoroti pola perekrutan dengan sasaran keluarga pelaku.
“Ketika mereka merekrut dalam lingkaran keluarga, daya dorong untuk mempengaruhi orang itu lebih kuat,” katanya, menambahkan adanya keyakinan tidak mungkin ada upaya merusak keluarga sendiri.
Dalam kasus ini, kata Heni, ada hubungan keluarga dekat antara YS dan Jodi.
“Jadi, untuk kita semua, perlu waspada dan harus mempelajari modus ini,” katanya.
Pemain Lama
Heni berkata YS dan beberapa nama yang disebut keluarga korban bukan nama baru bagi TRUK-F yang selama ini memberi perhatian terhadap isu kemanusiaan, termasuk TPPO.
Ia berkata, pada 2023, “kasus serupa terjadi dan YS ini menjadi perekrut, tetapi kemudian entah dilaporkan ke polisi atau tidak, kasus ini akhirnya diselesaikan secara damai oleh pihak keluarga.”
Yang jelas, kata dia, YS, “memang ada di balik kasus itu.”
“Cerita dari masyarakat dan korban memperkuat dugaan TRUK-F bahwa dia bukan orang baru, karena modus yang dia lakukan itu adalah modus orang-orang yang berpengalaman dalam merekrut orang secara ilegal.”
Heni memberi contoh beberapa kasus yang pernah ditangani TRUK dengan pelaku orang baru.
Polanya, kata dia, membeli tiket secara berkelompok, berkerumun dan naik kapalnya bersama-sama.
“Hal itu kan cepat mengundang kecurigaan orang, sehingga pada akhirnya kasusnya cepat terungkap.”
Modus YS, kata dia, berbeda “seperti pembelian tiket terpisah, mereka diarahkan jalan sendiri-sendiri, naik kapal harus berpencar, sampai di kapal baru bertemu.”
“Ini modus canggih yang dilakukan oleh perekrut pemain lama yang tahu dan bisa baca situasinya sehingga akhirnya secara kasat mata aksi ini tidak dapat diidentifikasi oleh pihak kepolisian,” katanya.
Dalam kasus ini, menurut Heni, YS juga tidak turun sendiri ke lapangan, namun menyuruh orang lain bertemu langsung para korban.
“Ini berarti ada jaringan yang sudah terbangun. Dugaan kami ini bisa model sindikat, dia menggunakan sistem rantai terputus.”
Selain itu, Heni berkata YS juga diduga sudah mempunyai jaringan di daerah tujuannya.
Hal itu, jelas dia, yang menguatkan keyakinan korban bahwa nasib mereka akan pasti di daerah tujuan.
Apalagi, kata mereka, korban mengalami masalah “kemiskinan, pengetahuan yang minim, pengangguran, tidak ada lapangan pekerjaan.”
Pidana Tetap Lanjut, Kendati Ada Upaya Damai
Floresa sudah berusaha menghubungi YS sejak 5 April. Namun, nomornya tidak bisa dihubungi.
Namun, Floresa mendapat konfirmasi dari Didimus Rusman, salah satu perwakilan keluarga YS soal keterlibatan YS.
Ia mengakui bahwa YS yang merekrut para korban dan menyampaikan ada upaya damai dari mereka kepada korban.
“Kasus ini terjadi di dalam lingkaran keluarga saja. Baik saya, YS dan Jodi masih memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat,” katanya kepada Floresa pada 5 April.
Jadi, kata dia, “YS meminta saya untuk memediasi,” yang dilakukan saat anak Jodi sudah kembali ke Sikka.
Didimus berkata tidak memiliki hak untuk memaksa berdamai, tetapi hadir untuk mempertemukan pihak keluarga korban dan YS.
Ia menjelaskan, YS ingin datang melayat dan berkomitmen menangani urusan adat korban.
“Ia juga akan menyantuni anak korban dengan menyekolahkannya ke jenjang yang lebih tinggi,” katanya.
Merespons pernyataan Didimus, Maria berkata akan terus memproses kasus ini.
“Dari awal tidak ada niat baik dari dia, bahkan pada saat ketiadaan biaya untuk pemulangan jenazah, dia janji untuk kirim uang Rp24 juta ke Kalimantan. Ternyata dia tipu,” katanya.
“Dia mempermainkan kami selama proses itu. Dia telepon bilang kirim uang Rp5 juta, Rp10 juta bahkan Rp24 juta, tetapi kemudian HPnya dimatikan dan kami susah menghubungi dia,” katanya.
Heni dari TRUK-F menambahkan, proses damai bisa saja terjadi, tetapi materi pokoknya tetap diproses hukum.
“Urusan keluarga ya terserah, mau berdamai, tetapi dalam hal ini, dengan bukti sudah jelas, kami rasa tepat untuk menetapkan YS ini sebagai tersangka TPPO,” katanya.
“Apalagi YS juga diketahui merekrut seorang anak di bawah umur,” tambahnya, merujuk pada seorang korban Yohanes Ranolius Dulo yang berusia 17 tahun .
“Kita sempat bertemu orang tuanya. Kita sudah memastikan pada saat terjadi proses perekrutan dan pemindahan usia anak ini berumur 17 tahun. Di sini, selain UU TPPO, kita juga akan menindaklanjuti dengan UU Perlindungan Anak.”
Ia berkata akan mengawal kasus ini.
“Jika benar-benar jaringan ini diungkap dan ditangkap, kami benar-benar mengapresiasi Polres Sikka serius menangani hal ini,” katanya.
Heni mengungkapkan bahwa saat ini Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka sedang berupaya berkoordinasi dengan berbagai pihak di Provinsi Kalimantan untuk memulangkan para korban.
“Kami sudah rapat bersama dan saat ini ada upaya untuk memulangkan mereka meskipun masih terkendala kontak dari para korban karena mereka berada di tempat yang susah sinyal,” katanya.
“Kita tetap berdoa, semuanya berjalan dengan baik.”
Kepala Seksi Humas Polres Sikka, AKP Susanto mengonfirmasi laporan keluarga korban sudah ditindaklanjuti.
“Saat ini penyidik sementara bekerja,” katanya kepada Floresa.
Mengenai keterlibatan oknum polisi yang diduga ikut terlibat dalam proses pemberangkatan korban, kata Susanto, hingga saat ini masih ditindaklanjuti.
“Ini masih dugaan. Yang memberikan informasi ini juga belum bisa memastikan benar atau tidak,” katanya.
Namun, kata dia, “ini juga ditindaklanjuti oleh polisi.”
Editor: Ryan Dagur