Belajar Menenun Semasa Pandemi, Siswi di Flores Timur Pilih Tak Patah Arang di Tengah Kesukaran

Magdalena Hoin Leba tetap tekun belajar saat kembali ke rumahnya akibat pandemi Covid-19. Ia juga memanfaatkan waktu luang untuk berlatih menenun, keterampilan yang diwariskan turun-temurun oleh perempuan di kampungnya.

“Orang hebat tidak dihasilkan dari kemudahan, kesenangan, dan kenyamanan; mereka dibentuk melalui kesulitan, tantangan, dan air mata.”

Ungkapan itu tidak semata kalimat motivasi tetapi telah dibuktikan oleh orang-orang yang telah melaluinya.

Pengalaman orang-orang yang unggul menunjukkan keberhasilan mereka tidak semudah membalik telapak tangan. Tak jarang mereka harus melewati berbagai tantangan dan kesukaran demi menggapai mimpi.

Bagi Magdalena Hoin Leba, tantangan dan kesukaran tak lantas membuatnya cepat patah arang. Sebaliknya, ia tetap bertekad merajut cita-cita, meski dihadang pandemi sekalipun.

Magdalena berstatus siswi SMP Negeri 3 Wulanggitang di Hewa, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur ketika Indonesia memasuki masa pandemi Covid-19.

Sekolahnya harus ditutup. Aturan pemerintah soal pembatasan sosial mewajibkan murid belajar secara mandiri di rumah masing-masing, tak terkecuali Magdalena.

Ia pun meninggalkan kamar kos yang telah dua tahun ditempati. Magdalena kembali ke kampung kelahiran, yang berjarak sekitar tujuh kilometer dari Hewa.

Tetap Belajar di Tengah Pandemi

Magdalena berasal dari Buranilan, suatu kampung di kaki Gunung Lewotobi Laki-laki. Kampungnya tercakup dalam wilayah administrasi Desa Lewowang, Kecamatan Ilebura, Flores Timur.

Ia tinggal bersama orang tua dan dua saudaranya dalam sebuah rumah berstruktur bambu.

Ayahnya bermata pencaharian sebagai petani, sementara ibunya sebagai penenun sarung dan selendang.

Lusia Lolon Tobi, ibu dari Magdalena, menyadari pekerjaan menenun tak terlalu menguntungkan. 

Kendati begitu, ia ingin terus menenun lantaran ingin mewariskan tradisi itu ke anak-anaknya.

Di tengah-tengah pendapatan yang tak seberapa, upaya Lusia dan suaminya untuk menyekolahkan anak mereka tak pernah menyurut. 

Itulah mengapa ketika Magdalena kembali ke kampung akibat pandemi Covid-19 menjadi pemikiran tersendiri bagi Lusia.

“Bila Covid-19 masih ada, biarlah anak kami ini berhenti sekolah untuk membantu saya menenun saja,” katanya.

Belajar di Rumah

Magdalena memilih tak menyerah dengan keadaan.

Kepada kedua orang tuanya, ia berusaha meyakinkan mereka bahwa dia tetap dapat belajar meski terhalang pandemi.

“Saya berusaha meyakinkan bapa dan mama bahwa saya dapat belajar secara mandiri,” kata Magdalena.

Meski sehari-hari di rumah, ia tak lantas malas membaca modul serta mengerjakan tugas sekolah. Tugas-tugas itu ia kerjakan dengan baik dan tepat waktu.

Jika belum memahami betul suatu materi, ia tak sungkan bertanya ke teman-teman sekampung yang juga murid di sekolah yang sama.

Saat itu, di Buranilan, terdapat belasan murid SMPN 3 Wulanggitang yang belajar di rumah.

Selama pandemi Covid-19, SMP Negeri 3 Wulanggitang melakukan beberapa upaya pembelajaran termasuk kunjungan guru ke desa asal murid serta kegiatan belajar-mengajar secara daring. Tugas-tugas, misalnya, sebagian dikirim via WhatsApp kepada murid yang punya ponsel.

Belajar Menenun

Selain belajar materi pelajaran, kesempatan berada di rumah juga dimanfaatkan Magdalena untuk belajar menenun. 

Dalam dirinya mengalir bakat menenun yang diwariskan Mama Lusia.

Magdalena mulai berlatih menenun ketika duduk di kelas V SD. Lebih banyak di rumah semasa pandemi memberikannya kesempatan untuk memperdalam keterampilan menenun.

Beruntung, ia memiliki guru terbaik: Mama Lusia.

Magdalena Hoin Leba sedang menenun.

Ketika saya berkunjung ke rumahnya, terdengar bersemangat ia menjelaskan proses menenun selendang. 

Proses menenun selendang bermula dari penyiapan benang putih, kata Magdalena, sebelum disusun pada slage, sebutan untuk alat menenun berupa kayu berbentuk persegi panjang berukuran 2×1,5 meter.

Proses berlanjut pada pembuatan motif pada benang lungsin melalui pengikatan daun tarum yang lebih dulu dikeringkan.

Motif yang terbentuk lalu diberi warna lewat teknik pencelupan. Kain itu lalu dikeringkan, dan siap ditenun menjadi selendang atau sarung.

Magdalena menuturkan, untuk menghasilkan selendang yang bagus dan bermutu, butuh ketekunan, ketelitian, kesabaran dan keuletan. Sebuah kain selendang bisa ditenun dalam waktu  tujuh hari, bisa juga lebih dari itu.

Ia tak pernah mengharuskan dirinya memiliki waktu khusus untuk menenun. Aktivitas itu dapat ia lakukan kapan saja, tak terkecuali di sela-sela kegiatan belajar-mengajar.

Selama tinggal di rumah, Magdalena telah menenun tiga lembar selendang dan selembar sarung.

Hasil tenunannya tersebut telah terjual seharga Rp200.000 per lembar untuk selendang. Uang tersebut disimpan dan digunakan untuk modal usahanya.

Magdalena berhasil menjawab keraguan orang tuanya ketika harus tinggal dirumah karena pandemi.

Magdalena telah tamat dari di SMP Negeri 3 Wulanggitang pada 2021. Kini, ia melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Wulanggitang.

Berbekal keterampilan menenun yang sudah miliki, kini ia bisa membantu ibunya, ketika sedang di rumah, mencari uang dengan menenun.

Gadis kelahiran 11 Maret 2006 ini, bungsu dari tiga bersaudara, mengukir mimpi masa depannya, dengan bercita-cita menjadi guru.

Marinus Raja Muda adalah guru SMP Negeri 3 Wulanggitang, Flores Timur

Editor: Anastasia Ika

(Tulisan ini diolah kembali dari naskah feature yang diikutsertakan dalam lomba menulis guru se-NTT menyongsong Hardiknas Tahun 2021. Lomba diadakan oleh PGRI Kabupaten Flores Timur dan tulisan ini mendapat peringkat pertama).

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Artikel Terbaru

Baca Juga Artikel Lainnya