Floresa.co – Januari merupakan bulan terhangat di perairan Fiji, negara kepulauan di selatan Samudra Pasifik.
Bulan itu lumrahnya nelayan mampu menjala lebih banyak ikan, yang sebagian besar menyukai temperatur lebih panas.
Namun, bahkan pada hari pertama Januari, tak seorang pun dari 21 awak kapal perikanan [AKP] migran asal Indonesia memenuhi dek Longbow No. 7 dengan bergunung-gunung tangkapan ikan.
Mereka memilih mogok kerja hingga jenazah Sikry Elmadem Subu tiba di daratan.
Sikry, seorang AKP migran asal Desa Sahraen, Kecamatan Amarasi Selatan, Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] meninggal di atas Longbow No. 7 pada pengujung 2023.
“Kami membalut jasadnya dengan selimut, lalu menempatkan tubuh kakunya dalam ruang penyimpanan beras,” kata Adrian, seorang rekan kerja Sikry pada 24 April.
Adrian meminta Floresa hanya menuliskan sapaan alih-alih nama lengkapnya “supaya kelak saya tetap berpeluang bekerja di laut.”
Mendapati Sikry meninggal, kapten tak segera melabuhkan kapal, beralasan “perjalanan ke darat membutuhkan waktu lama.”
Pada saat yang sama, kata Adrian berupaya menerjemahkan ucapan dan bahasa tubuh kapten yang sehari-hari berbahasa Mandarin, “laut sedang memasuki masa panen ikan, kita harus tetap menjala.”
Menyesalkan keputusan kapten asal Taiwan itu, para AKP migran dari Indonesia mogok kerja hingga 3 Januari.
Selama mogok kerja, “berkali-kali perusahaan perekrut mengancam kami tak akan menerima gaji dan paspor didaftarhitamkan.”
Puluhan AKP migran “berusaha tak menanggapi ancaman itu,” kata Adrian.
Mereka tetap menolak bekerja sembari tegas pada pendirian semula: “kapten mesti segera menyandarkan kapal dan jenazah teman kami harus lekas pulang ke kampung halaman.”
Terus Bekerja Meski Sakit
Sikry mulai mengeluh sakit pada awal Desember. Saat itu, kenang Adrian, “tampak kakinya membengkak.”
Berjalan tertatih-tatih, Sikry–ditemani Adrian dan beberapa AKP migran lain–menyampaikan keluhannya ke kapten, berharap lekas mendapat pengobatan.
Kapten merespons dengan memberi Sikry obat-obatan.
Mula-mula ia mual, lalu “diberi obat mag dan antibiotik oleh kapten kapal,” kata Direktur Perkapalan dan Kepelautan Kementerian Perhubungan, Hartanto seperti disitir dari Detik.com.
Adrian mengaku tak tahu-menahu jenis obat itu.
Apalagi, selama berbulan-bulan mereka berdialog dengan bahasa berbeda, yang memungkinkan Adrian hanya dapat menafsirkan mimik dan bahasa tubuh kapten–dan itu mungkin benar, mungkin juga keliru.
“Apakah kapten memberikan obat-obatan yang sesuai bagi Sikry?,” kata Koordinator Departemen Kemaritiman Serikat Buruh Migran Indonesia [SBMI], Dios Lumban Gaol, mempertanyakan satu dari beberapa kejanggalan terkait kematian Sikry.
“Atau jangan-jangan kapten menyamaratakan setiap penyakit yang mendera AKP migran, sehingga ia memberikan sembarang obat ke Sikry?,” katanya kepada Floresa.
Menurut Adrian, kaki Sikry tetap bengkak hingga akhir Desember, seiring keluhan akan “perutnya yang terus-terusan mual.”
Ia dilaporkan meninggal akibat edema disertai gastroenteritis–dua gangguan fisik yang mendorong sejumlah periset dan lembaga advokasi mempertanyakan kesahihannya.
Edema merupakan kondisi medis saat cairan ekstra terkumpul pada ruang antara sel-sel dalam tubuh, menyebabkan pembengkakan jaringan. Gastroenteritis mengacu pada muntah dan diare akibat peradangan pada sistem pencernaan.
Dari hasil dialog dengan beberapa rekan sekerja Sikry, SBMI menemukan lelaki asal Pulau Timor itu tetap bekerja kendati mulai sakit-sakitan.
“Terlepas dari ia [Sikry] bekerja sesuai kemauan pribadi atau paksaan kapten, itu soal lain. Tetapi bahwa ia masih bekerja hingga meninggal, harus digali sebab-akibatnya,” kata Dios.
Selain SBMI, Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia [AP2I] turut mengawal kasusnya.
Kepada Floresa pada 8 Mei, Ketua Umum AP2I, Imam Syafi’i menegaskan organisasinya berfokus mendampingi keluarga Sikry memperoleh hak-hak mereka.
“Perusahaan perekrut sudah melunasi gaji Sikry. Asuransi sedang proses klaim, yang nanti akan serah-terima di kantor Kementerian Perhubungan,” kata Imam tanpa memerinci waktunya.
Meski begitu, Dios tetap membubuhkan catatan terhadap “sejumlah masalah yang belum terungkap dalam kasus meninggalnya Sikry.
SBMI “dengan tegas meminta pemerintah menelusuri semuanya.”
Beda Bendera Kapal, Hak AKP Migran Dipertanyakan
Adrian bercerita mereka mulai berlayar pada Mei 2023.
PT Mutiara Jasa Bahari, perusahaan perekrut AKP migran berbasis Pemalang, Jawa Tengah menjanjikan mereka bekerja di kapal Taiwan.
Adrian membenarkan mereka lebih dulu berangkat ke Taiwan. Namun, sesampainya di Taiwan, “saya menyadari bahwa kapal tempat kami nantinya bekerja ternyata berbendera Vanuatu.”
“Kasus yang menimpa teman-teman di atas Longbow No. 7 hanyalah satu dari banyak perkara serupa yang mendera AKP migran,” kata periset Indonesia Ocean Justice Initiative, Jeremia Humolong Prasetya.
Dalam sektor perikanan, perbedaan bendera itu terkait dengan praktik flags of convenience. Kapal flags of convenience mengibarkan bendera yang berbeda dengan bendera negara asal pemilik kapal.
“Praktik tersebut umum terjadi di kapal-kapal berbendera China dan Taiwan,” katanya.
Sejumlah riset menemukan praktik flags of convenience kerap memicu pengabaian terhadap hak-hak AKP migran. Pengabaian itu termasuk upah kerja rendah, keseharian yang buruk dan kerja paksa.
Merespons dampak flags of convenience, Imam Syafi’i menyebut “biasanya praktik tersebut tidak memengaruhi gaji lantaran sudah ada nota kesepahaman antara perusahaan perekrut dan agency di Taiwan, misalnya.”
Namun, Jeremia menilai sebaliknya.
Bahkan sebelum memberangkatkan AKP migran, katanya, “perusahaan perekrut kerap menyampaikan informasi yang tidak tepat bagi mereka [calon AKP migran].”
“Mesti diperiksa kembali bunyi surat kontraknya,” kata Jeremia mengingatkan “guna memastikan tepat atau tidaknya kewajiban perusahaan sekaligus hak-hak para AKP migran.”
Pemenuhan hak bagi AKP migran turut menjadi perhatian Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah.
“Kapal-kapal penangkap ikan jarak jauh acapkali tak menjadikan keselamatan pekerja sebagai hal yang utama,” katanya.
“Yang mereka pikirkan adalah aspek bisnisnya,” kata Afdillah, “setiap biaya yang dikeluarkan seolah-olah membuat mereka rugi besar, yang membuat pemilik kapal akhirnya meminggirkan hak pekerja.”
Ia menilai peminggiran hak-hak AKP migran asal Indonesia mesti menjadi “tak hanya sorotan, melainkan isyarat bagi pemerintah untuk lekas berbenah.”
Anastasia Ika berkontribusi dalam penulisan laporan ini
Editor: Ryan Dagur