Sr. Frederika Tanggu Hana, SSpS: Korban Percuma Lapor Polisi Kalau Kasusnya Tidak Diproses, Pelaku Dibiarkan Berkeliaran

Biarawati Katolik yang disapa Suster Rita ini mengisahkan pengalaman mendampingi para korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Banyak kasus yang prosesnya berbelit-belit di kepolisian, sehingga membuat korban putus asa

Floresa.co – Sejak intens memberi pendampingan bagi perempuan dan anak korban kekerasan, para biarawati Katolik di Rumah Singgah St. Theresia Labuan Bajo kerap berurusan dengan polisi, khususnya di Polres Manggarai Barat.

Para suster memang menjadi sandaran harapan bagi para korban yang berjuang mengungkap masalah mereka dan berusaha mencari keadilan.

Dalam empat tahun terakhir, tercatat 47 kasus kekerasan seksual di wilayah hukum Polres Manggarai Barat. Korban umumnya anak di bawah umur, menurut data polisi yang diperoleh Floresa. 

Sebagian besar dari kasus-kasus ini diadukan ke polisi dengan bantuan para suster.

Namun, menurut Suster Frederika Tanggu Hana, SSpS yang kini memimpin Rumah Singgah St. Theresia, mereka seringkali menemui tantangan, terutama untuk kasus-kasus kekerasan seksual.

Proses hukumnya, kata dia, seringkali menyulitkan korban. Padahal, kata biarawati yang disapa Sr. Rita ini, untuk membuat korban berani bercerita tentang masalah mereka saja sudah butuh perjuangan panjang. Terlebih karena beban trauma dan tekanan sosial dari masyarakat yang umumnya cenderung menyalahkan korban.

“Jangan heran kalau rantai kekerasan seksual ini terus terjadi, karena dalam proses penyelesaian tidak ada keseriusan. Korban merasa percuma lapor polisi, kalau pada akhirnya tidak diproses dan membiarkan pelaku berkeliaran,” katanya.

Anjany Podangsa dari Floresa baru-baru ini mewawancarai Sr. Rita tentang pengalaman mendampingi korban, bentuk pendampingan, juga tantangan dan harapannya untuk berbagai pihak.

Berikut petikannya.

Sejak kapan para suster SSpS di wilayah Flores barat memberi pendampingan bagi korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual?

Kami memulainya pada 2006. Kala itu, dalam suatu pertemuan besar Kongregasi, kami membaca perkembangan zaman dan tantangan yang ada dan yang akan datang. Kami mengidentifikasi persoalan atau masalah yang harus kami tangani. Kami bersepakat untuk fokus pada dua persoalan yaitu hak asasi manusia dan kerusakan alam ciptaan.  

Berangkat dari situ, lahir kesepakatan membentuk Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC), Komisi untuk Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan.

Kesepakatan tersebut turut mendorong pembentukan SSpS Flores bagian barat untuk membantu menangani masalah kemanusiaan dan lingkungan hidup.

Keterlibatan khusus kami dalam isu kekerasan terhadap perempuan dan anak juga berangkat dari pengalaman Suster Maria Yosephina Pahlawati. Dia adalah pendahulu kami yang memimpin JPIC SSpS Flores barat dan terlibat dalam pendirian rumah singgah ini.

Dalam beberapa kunjungan pastoral ke wilayah-wilayah pedalaman, banyak korban kekerasan seksual yang datang kepadanya, bercerita tentang masalah yang mereka hadapi. Mereka adalah anak-anak muda. Mereka mengatakan, “Selama ini kami pendam Suster, karena tidak tahu pada siapa kami bercerita. Kami percaya Suster adalah tempat yang pas untuk kami bercerita.”  

Dari situlah hati kami tergerak untuk memberi konsentrasi pada pendampingan korban. Kebetulan saat itu belum ada lembaga yang mendampingi korban kekerasan di Labuan Bajo.

Apa strategi yang pertama dilakukan kala itu?

Kalau dipikir-pikir, korban ini sebenarnya punya hak untuk melaporkan kasus yang mereka alami ke pihak yang berwajib. Namun, nyatanya mereka memilih bungkam. Kami menilai hal itu terjadi karena mereka tidak tahu caranya.

Oleh karenanya, langkah yang pertama kali dilakukan Suster Yosephina adalah melakukan sosialisasi di setiap paroki dan desa-desa tentang cara menyikapi masalah-masalah kekerasan. Di lain sisi, saat itu pendampingan terhadap korban masih belum intens.

Pada 2014, suatu lembaga dengan sukarela memberikan sumbangan kepada SSpS berupa lahan dan gedung yang sekarang menjadi biara SSpS di Labuan Bajo.

Pada 2017, ketika rumah singgah berdiri, kami mulai memulai pendampingan yang intens bagi korban.

Berapa jumlah korban yang sudah didampingi?

Kami tak memiliki data pasti selama tahun-tahun awal pendampingan Meski saat itu menangani banyak kasus, tak semuanya dapat kami arsipkan. Sebabnya, saat itu kami kekurangan tenaga, sedangkan fokus kami pada pendampingannya saja.

Kami mulai melakukan pendataan yang terorganisasi sejak 2019. Tahun itu kami mendampingi tiga kasus kekerasan seksual dan satu kasus kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Tahun berikutnya, 2020, terdapat enam kasus kekerasan seksual, empat kasus pemerkosaan dan lima kasus KDRT. Tahun 2021, ada empat kasus kekerasan seksual, satu kasus pemerkosaan dan 12 kasus KDRT. Tahun 2022, ada dua kasus kekerasan seksual dan sembilan kasus KDRT.

Tahun ini jumlah kasus yang kami dampingi meningkat signifikan. Kami menangani 27 kasus kekerasan seksual, tujuh kasus pemerkosaan dan 34 kasus KDRT.

Hingga kini, ada beberapa korban yang masih tinggal di rumah singgah, yaitu 11 orang anak dan lima orang ibu. Ada beberapa korban yang tidak tinggal di rumah singgah, tetapi datang dari rumah masing-masing untuk mengikuti proses pendampingan.

Seperti apa bentuk penanganan yang dilakukan untuk setiap kasus?

Pertama, setiap kali kami mendapat laporan atau mendengar ada kasus, entah kekerasan seksual, KDRT atau kasus lainnya, kami mengonfirmasi kebenarannya. Sebisa mungkin kami bertemu dengan keluarga korban, berdiskusi. Ini salah satu cara melindungi dan menjaga keamanan korban dari intimidasi dan hal lain yang berpotensi merusak psikisnya. Dalam hal ini, saya berbicara untuk konteks masyarakat kita yang masih rentan menyalahkan korban.

Kedua, karena kami bukan psikiater, kami bekerja sesuai kemampuan dan pengalaman kami, yaitu melakukan pendampingan dengan mulai dari cara yang santai. Selama beberapa hari kami biarkan korban melampiaskan emosinya sendiri. Setelah itu baru kami mewawancarainya. Sejauh ini cara tersebut membuat korban nyaman untuk bercerita.

Kami berusaha sebisa mungkin membuat dia merasa nyaman dan mau sembuh dari trauma yang dialami. Dengan pendampingan seperti ini, kami berusaha membantu korban agar tidak terpuruk dengan kemungkinan munculnya stigma atau pelabelan sosial bahwa dia adalah makhluk yang hina, kotor dan tidak sempurna. Bahkan bisa jadi dia dicap tidak pantas untuk hidup kembali di tengah masyarakat.

Ketiga, ketika kasusnya dibawa ke kepolisian, yang menjadi tanggung jawab kami adalah mendampingi korban melakukan visum et repertum dan segala urusan wajib lainnya untuk memenuhi persyaratan dalam proses penyelesaian kasusnya. Kami juga membantu memenuhi kebutuhan pribadi korban. Prinsipnya, selama kasusnya diproses, kami dampingi hingga selesai.

Keempat, kami punya tanggung jawab untuk keberlanjutan hidup korban. Misalnya korban sedang bersekolah, kami punya opsi untuk memindahkannya ke beberapa sekolah yang merupakan mitra kami. Kebetulan sekolah ini masih satu kompleks dengan biara kami, sehingga kami tidak kesulitan mengontrol korban dalam aktivitas di sekolahnya.

Kelima, untuk korban yang adalah ibu-ibu atau remaja yang sudah menyelesaikan studinya,  kami berusaha sedapat mungkin menuntun mereka menekuni beberapa keterampilan yang sudah kami siapkan di sini, seperti membuat kerupuk dan menjahit. Kerupuk yang kami olah sudah dipasarkan di beberapa tempat di Labuan Bajo.

Dengan keterampilan ini, setidaknya ketika sudah pulih dan pulang dari rumah singgah ini, mereka memiliki skill sebagai bekal untuk mereka geluti dalam kehidupan selanjutnya. Cara ini juga merupakan bagian dari proses penyembuhan dari trauma karena korban punya fokus tertentu untuk dia kerjakan.

Berapa lama korban didampingi?

Minimal enam bulan korban berada di rumah singgah. Lamanya tinggal di rumah singgah berkaitan erat dengan proses kasusnya di kepolisian yang paling cepat setahun baru selesai.  

Ini menjadi perjuangan terberat kami karena korban harus menunggu lama. Bahkan terdapat kasus yang sudah bertahun-tahun dilaporkan, tetapi prosesnya tidak kunjung selesai.

Setelah masa pendampingan, ada korban yang diterima kembali oleh orang tuanya. Namun, ada juga korban yang ditolak keluarga. Sebagian besar penolakan dipicu masalah ekonomi keluarga serta pertimbangan untuk menjaga nama baik keluarga pelaku. Ketika itu terjadi, mau tidak mau kami tetap mengasuhnya di sini.

Korban yang tinggal di sini datang dari beragam latar belakang dan kasus yang berbeda. Bagaimana proses pendampingan terhadap mereka agar bisa berbaur?

Kami membiasakan mereka terlibat dalam sharing kelompok. Ini berguna untuk membangkitkan kembali semangat dan sekaligus mengingatkan bahwa setiap manusia punya masa lalu masing-masing dan kita tidak pernah sendirian untuk menyelesaikan persoalan. 

Bagaimana dengan keluarga korban? Apa respons mereka terhadap proses pendampingan di sini?

Kami secara umum sangat didukung oleh keluarga korban. Memang ada sebagian orang tua yang  memiliki kekhawatiran terhadap kondisi anak mereka.

Namun, kami biasanya menjelaskannya dengan baik kepada mereka bahwa kami hadir untuk melindungi dan menjaga korban.

Kami berusaha menjelaskan pada keluarga korban bahwa, ‘Ini anakmu, bukan anak kami. Kami hanya bantu untuk melindunginya.’ 

Kami juga menegaskan tujuan kami hanya menjaga dan melindungi korban, tidak ada niat untuk memiliki dia. 

Kami juga bekerja sama dengan Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak dalam proses penjemputan korban.

Persoalan yang kami hadapi sebetulnya adalah, tidak semua keluarga korban bersedia kasusnya diproses hukum. Mereka hanya menginginkan korban tetap kami dampingi.

Sementara masalah pelik lainnya terkait korban yang menjadi sasaran kekerasan dari pelaku yang adalah orang terdekat. Dalam kasus seperti ini, keluarga biasanya tidak percaya bahwa dia adalah korban. Akhirnya, korban merasa tidak punya siapa-siapa.

Apa tantangan yang dihadapi dalam proses penanganan kasus-kasus ini?

Untuk KDRT, banyak yang tidak diproses hukum, tetapi berujung mediasi dan surat perjanjian dari pelaku.

Sementara untuk kasus kekerasan seksual, kendala yang kami hadapi adalah menunggu proses terlalu lama, sehingga korban dan keluarga jenuh karena ujungnya tidak jelas. Biasanya jika sudah lama menunggu, korban memilih tidak melanjutkan pemrosesan kasusnya. Hal ini kemudian dibiarkan begitu saja oleh kepolisian.

Karena itu, jangan heran kalau rantai kekerasan seksual ini terus terjadi, karena dalam proses penyelesaian tidak ada keseriusan. 

Korban merasa percuma lapor polisi kalau pada akhirnya tidak diproses. Sementara pelakunya dibiarkan berkeliaran di mana-mana. Kalau penanganannya terus seperti ini, bisa jadi akan ada korban berikutnya.

Pertanyaannya, mau sampai kapan?

Apa biasanya kendala yang membuat prosesnya sulit dan lama?

Hal yang sulit bagi korban adalah membuktikan bahwa dia adalah korban. Ini sering terjadi pada korban percabulan. Ada kesulitan untuk memenuhi unsur-unsur menurut ketentuan undang-undang.

Namun, pertanyaannya, mengapa polisi tidak menggunakan kebijakannya untuk berpihak pada korban? Ujung-ujungnya kasus dibiarkan mandek dengan dalih tidak cukup bukti.

Di sisi lain, tidak ada proses penanganan serius terhadap korban, terutama yang sangat membutuhkan psikolog.

Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat memang kerap mendatangkan psikolog dari tingkat provinsi. Namun, penanganannya tidak efektif, karena pendampinganya hanya satu sampai dua kali. Konsep pendampingan korban itu harus intens, sampai pada tahap bahwa dia sudah merasa terbantu.

Hanya satu atau dua kali pendampingan,  menurut kami, semacam simbolis saja. Tidak ada efeknya bagi korban. 

Apa pesan suster untuk seluruh perempuan, anak, orang tua dan kepolisian?

Semua orang punya hak dan martabat yang sama untuk mendapatkan perlindungan dan pertolongan.

Anak muda adalah aset bangsa. Dalam menjalankan hari-hari hidup mereka, jangan biarkan mereka jalan sendiri. Jangan hancurkan masa depan mereka.

Untuk orang tua, mari menjaga anak-anak dan bijaksanalah. Bangun komunikasi dengan anak. Dengan begitu anak akan mudah untuk terbuka, termasuk ketika mereka memiliki masalah. Orang tua harus tahu bahwa 90% pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat korban.

Untuk pihak kepolisian, harus punya simpati dan empati terhadap setiap korban yang melaporkan kasusnya. Percaya pada korban.

Tentu saja saya mengapresiasi langkah polisi dalam beberapa kasus, namun catatan saya adalah prosesnya berbelit-belit, sehingga berdampak pada psikis korban. Setiap kasus seharusnya diselesaikan dengan serius.

Saya ambil contoh saat mendampingi para remaja korban Kekerasan Berbasis Gender Online pada Agustus lalu dan status kasusnya dinyatakan sebagai kasus prioritas. 

Dalam kasus ini, beberapa remaja putri Sekolah Menengah Pertama usia 12-13 tahun dijebak oleh pelaku yang mengirim pesan lewat media sosial Facebook bahwa telah mengantongi foto telanjang korban. Pesan semacam itu dikirimkan untuk menakuti-nakuti mereka agar menuruti permintaan pelaku.

Dalam laporan progres dari polisi, dinyatakan bahwa kasus itu sudah ditangani. Tapi, kenapa pelaku belum juga ditangkap sampai sekarang? Dugaan kami, pelaku bukan ‘orang biasa’, tetapi orang yang mengerti tentang penggunaan teknologi digital.

Kalau penanganan setiap laporan tetap dengan model seperti ini, kesan yang akan muncul dalam masyarakat adalah tidak percaya lagi pada polisi. Masyarakat menganggap polisi tidak bekerja.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Wawancara Lainnya