Tiga Tahun Berlalu, Dugaan Korupsi Lebih Dari Rp1,9 Miliar di Desa di TTU Tak Kunjung Ditindaklanjuti, Warga Tagih Janji Kejaksaan

Kami berjuang membongkar kasus korupsi dana desa bukan untuk mencari keuntungan pribadi, tetapi ingin menyelamatkan keuangan negara, kata warga

Baca Juga

Floresa.co – Warga di Kabupaten Timor Tengah Utara [TTU] menagih janji Kejaksaan terkait tindak lanjut laporan kasus dugaan tindak pidana korupsi di desa mereka yang disampaikan tiga tahun lalu.

Kasus ini menyeret Kepala Desa Usapinonot, Serilius Yan Maumbe di  Kecamatan Insana Barat sebagai penanggung jawab Alokasi Dana Desa [ADD] dan Dana Desa [DD].

Adi Nesi, warga yang berbicara kepada Floresa pada 6 Mei berkata, “kami menduga Serilius menyelewengkan ADD dan DD tahun anggaran 2015-2020 senilai lebih dari Rp1,9 Miliar.”

Ia berkata, pada 16 Maret 2021 mereka mengadukan kasus tersebut Kejaksaan Negeri TTU.

Pengaduan kembali dilakukan pada 21 Juni 2021, untuk melengkapi laporan sebelumnya, melampirkan bukti dugaan penyelewengan.

Ia merinci, pada 2015 Desa Usapinonot mendapat ADD sebesar Rp46 juta untuk membangun kaptering sumber mata air Niufleu. 

Namun, kata Adi, pemerintah desa hanya membangun satu unit bak reservoir berukuran 3×3 meter di dekat sebuah kapel di desa itu.

Setahun kemudian, tambahnya, desanya mendapat ADD sebesar Rp106 juta untuk pengadaan sumur bor, pengeboran titik pertama sedalam 63 meter di tanah milik Laurensius Neno, RT/RW 004/002 gagal total karena tidak ada air.

“Selanjutnya pelaku program dan kepala desa melakukan survei pada titik kedua dan melakukan pengeboran sedalam 53 meter di atas tanah milik Elisabeth Luti di RT/RW 002/001. Namun, pengeboran itu gagal lagi karena tidak ada air,” katanya.

Adi mengatakan “para pelaksana program dan kepala desa mencoba menipu kami” di mana mereka kembali ke titik pertama untuk memasang meteran listrik dan dinamo, padahal di situ tidak ada air.”

Para pelaksana program dan kepala desa, kata dia, juga membeli dan menginstalasi pipa serta menempatkan fiber di setiap RT.

Ia berkata pada tahun yang sama desanya mendapat ADD sebesar Rp200 juta yang bersumber dari APBD II untuk rehabilitasi embung di Sele, padahal tidak ada air di embung itu.

Ia mengatakan selama lima tahun pemerintah desa juga melakukan penyertaan modal ke Badan Usaha Milik Desa [BUMDes] sebesar Rp250 juta, di mana setiap tahun dana yang dialokasikan sebesar Rp50 juta.

Namun, kata dia, warga tidak mengetahui perkembangan usaha maupun keuangannya.

“Setiap tahun ada alokasi dana untuk penambahan modal usaha, tetapi sama saja, tidak ada pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi warga,” katanya. 

Adi mengatakan pada 2017 desanya mendapat bantuan dana sebesar Rp200 juta dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi untuk rehabilitasi sumber mata air Kenat yang merupakan program Pamsimas tahun anggaran 2008.

Namun, kata dia, proyek itu juga gagal karena airnya macet, bahkan lebih buruk dari kondisi sebelum direhab.

“Khusus untuk program pengadaan air minum bersih selama tiga tahun anggaran, para pelaksana program, kepala desa dan perangkatnya telah merugikan keuangan negara sebesar Rp552 juta,” katanya.

Ia mengatakan pada tahun yang sama, desa mendapat ADD sebesar Rp170 juta untuk pembangunan rumah rakyat atau rumah layak huni sebanyak 10 unit. 

Pengerjaan, kata dia, ditargetkan selesai pada September 2018, namun realisasinya baru mencapai 60% kendati pencairan dana sudah 100%.

Ia berkata pemerintah desa juga tidak menginformasikan kepada warga terkait anggaran pembangunan gedung BUMDes tahun anggaran 2017-2020.

Gedung yang diduga dibangun dengan anggaran sebesar Rp300 juta itu, kata dia, mubazir karena tidak difungsikan. 

Adi mengatakan desa juga pernah mendapat ADD sebesar Rp150 juta untuk pengadaan bibit kambing sebanyak 186 ekor dengan rincian kambing jantan berharga Rp750 ribu per ekor dan kambing betina Rp650 ribu per ekor.

“Kami terima ada yang besar dan ada yang kecil. Akibatnya, banyak yang mati,” katanya. 

Pada 2018, jelasnya, ada beberapa program yang dananya tidak diinformasikan ke publik, di antaranya pembangunan jembatan penghubung antara Usapinonot dan Usapibena, jalan rabat sepanjang 40 meter, drainase dan tembok penahan sepanjang satu kilometer dan pembelian molen satu unit.

“Jalan rabat tidak dikerjakan dan molen mubazir karena tidak difungsikan,” katanya.

Ketika pada 2019 desa mendapat ADD sebesar Rp402.572.500 untuk pengadaan sapi, warga tidak tahu jumlah dan harga sapi per ekor.

Ia berkata sapi yang dibeli dan dibagikan ke warga juga berukuran sangat kecil. 

Adi juga menuding kepala desa mengambil kembali sapi yang telah dipelihara Andreas Tasi Tefa selama enam bulan tanpa alasan yang jelas.

Ia mengatakan pada tahun yang sama desa mendapat ADD sebesar Rp140.500.000 juta untuk pembangunan jalan tani, tetapi volume pengerjaannya tidak dicantumkan di papan informasi proyek.

Dalam pelaksanaannya, kata dia, volume pengerjaannya hanya 300 meter dan hanya sekadar dibersihkan dan disiram dengan pasir dan batu kali. 

Ia mengatakan pada 2020 desa mendapat ADD untuk pembangunan tujuh unit rumah layak huni. Namun, kata dia, sampai akhir tahun itu pelaksanaannya baru mencapai 25%.

“Dan ada beberapa rumah yang sloof atasnya tidak menggunakan besi beton tetapi menggunakan batang bambu,” katanya.

Adi mengatakan pada tahun yang sama Bantuan Langsung Tunai Covid-19 untuk periode Desember sebesar Rp28,8 juta tidak disalurkan oleh kepala desa ke 98 penerima manfaat.

Kepala desa, kata dia, mengklaim telah melakukan musyawarah khusus dan mengalihkan dana bantuan itu untuk menuntaskan pembangunan tujuh unit rumah.

Dari sejumlah kasus ini, Adi memperkiraan dugaan kerugian negara Rp1.968.872.500.

Ia mengatakan terhadap hal itu, warga melayangkan tiga tuntutan ke Kejari TTU di antaranya; memproses kepala desa dan pelaksana program sesuai perundang-undangan yang berlaku, mengembalikan uang negara, menyita harta milik mereka, baik bergerak maupun tidak bergerak sebelum melunasi kerugian negara.

Tagih Janji Kejaksaan

Adi mengatakan sampai saat ini, laporan kasus ini tidak digubris kejaksaan.

Setiap kali “kami datang mempertanyakan perkembangan laporan tersebut, Hendrik Tiip, Kepala Seksi Intel Kejari TTU berulang kali berjanji segera menuntaskan kasus itu.” 

“Hanya janji belaka, memperpanjang penantian warga tentang kepastian hukum kasus itu. Laporan kami tidak disentuh para penyidik Kejari TTU sehingga berjalan di tempat,” katanya.

Ia mengatakan kelambanan Kejari TTU mengusut kasus dugaan korupsi itu membuat “kami kesal dan tidak percaya dengan mereka.” 

Laporan itu, kata dia, diduga kuat dibungkus rapi sehingga para penyidik tidak menindaklanjutinya.

Laporan Ntthits.com pada 12 April menyebutkan Kejari TTU berjanji segera menindaklanjuti laporan itu

Hal itu merespons kedatangan warga ke kantor Kejari menanyakan tindak lanjut penanganannya.

Kala itu, Hendrik mengaku optimis bisa mengusutnya dan mengatakan kasus itu sedang ditangani Tim Penyidik dari Unit Tipikor Satreskrim Polres TTU. 

Ia juga berkata “akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian terkait teknis penyelesaiannya.”

Hendrik juga mengklaim Serilius telah menyetor kembali uang sebesar Rp8 juta ke kas desa dan telah menyerahkan kendaraan yang dipakainya ke BUMDes.

“Selebihnya kami akan selesaikan satu per satu secara profesional,” katanya. 

Hendrik berkata saat ini pihaknya masih mendalami pengadaan sumur bor yang tak berfungsi dan berjanji menindaklanjuti secara tuntas dugaan-dugaan itu karena waktu pengembalian uang negara yang diberikan Inspektorat ke Serilius sudah selesai.

“Kami menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kejaksaan,” katanya.

Sebulan berlalu usai janji itu, warga terus mempertanyakan perkembangan tindak lanjut laporan mereka ke Kejari TTU.

Adi mengatakan Hendrik sempat berjanji memanggil dan memeriksa serta menindaklanjuti laporan yang sudah berulang kali dipertanyakan warga, para aktivis maupun publik pemerhati korupsi di kabupaten itu. 

“Apa yang menyebabkan Kejari TTU lamban mengusut laporan kami? Apa kendala apa yang membuat Kejari TTU susah untuk mengungkapkan kasus tersebut? Padahal, sudah ada bukti permulaan dari kami sebagai petunjuk dan informasi untuk dapat menyelidikinya,” ungkapnya.

Ia mengatakan jika persoalannya adalah kekurang data, “mengapa Kejari sengaja diam dan tidak memberi Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan sehingga kami dapat melengkapinya.”

“Kami memperjuangkan kasus korupsi dana desa bukan mencari keuntungan pribadi, tetapi ingin menyelamatkan keuangan negara terutama demi hak-hak kesejahteraan dan kelangsungan warga Desa Usapinonot,” tambahnya.

Adi berkata warga berharap agar “laporan yang sudah lama mengeram dan terbungkus rapi itu segera ditindaklanjuti Kejari agar mendapat kepastian hukum.”

Jika laporan yang “sudah terlalu lama” itu tidak ditangani, maka dalam waktu dekat, kami akan kembali mendatangi Kejari.

Warga, katanya, juga akan melayangkan surat terbuka yang ditujukan kepada Kejari TTU, Kejaksaan Tinggi NTT, Kejaksaan Agung, Menteri Hukum dan HAM, Presiden dan Polri agar menjadi atensi bersama.

Floresa meminta tanggapan Hendrik melalui pesan WhatsApp pada 7 Mei. Namun, ia tak meresponsnya kendati pesan itu bercentang dua, tanda telah sampai kepadanya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini