Floresa.co – Warga di Kabupaten Manggarai Timur mengeluhkan operasi perusahaan tambang bebatuan yang dekat dengan pemukiman mereka, menyebut rumah dan lahan pertanian terancam longsor.
Tambang di Desa Watu Mori, Kecamatan Rana Mese itu adalah milik PT Menara Armada Pratama, PT Waekuli Saranamega serta milik perorangan. Salah satu tambang perorangan adalah milik Sakarias Garut.
Willybrodus Suryadi, salah seorang warga yang rumahnya berjarak sekitar 20 meter dari lokasi tambang milik Sakarias berkata, ia cemas dengan tempat tinggalnya
“Selama ini kami mau sampaikan hal tersebut tetapi serba salah. Yang berkuasa adalah mereka yang punya uang. Kita mau omong apa saja mereka tidak pernah dengar,” katanya kepada Floresa di rumahnya di Kampung Liang Leso, Dusun Golo Mongkok pada 18 Juli.
“Tinggal bagaimana pemerintah melihat hal ini,” tambah Wili, sapaannya.
Ia menjelaskan tambang milik Sakarias yang beroperasi sejak empat tahun lalu juga hanya berjarak dua meter dari sawahnya, hal yang membuat hasil panen “tidak seperti dulu lagi”.
“Setelah ada galian ini, air di sawah cepat hilang, tidak pernah bertahan. Pagi kita alirkan air ke sawah, sorenya sudah kering,” katanya.
Selain rumah dan sawah itu, kata Wili, enam rumah lainnya juga tak jauh dari lokasi tambang.
Ia mengaku pernah memberi tahu Sakarias untuk tidak “gali terlalu mepet dengan sawah”, mengingat risiko longsor, namun hingga kini tidak direspons.
“Bagaimana kalau longsor, apakah kamu tanggung jawab?” katanya mengulang pembicaraan dengan Sakarias.
Pantauan Floresa di lapangan, tampak beberapa dump truck dan satu eksavator sedang menggali pasir.
Sekitar satu meter dari batas terluar tambang tersebut, terdapat saluran irigasi yang mengairi sawah milik Wili dan warga lainnya.
Sempat Ada Kesepakatan
Mathias Marut, warga lain yang ditemui Floresa berkata bahwa mereka pernah diminta menandatangani sebuah surat pada tahun 2013.
Surat itu diberikan oleh Damas, warga yang ternyata kemudian menjual tanahnya kepada Sakarias.
Mathias mengira surat tersebut hanya merupakan surat jual beli tanah, namun ternyata untuk lokasi tambang bebatuan – yang sebelumnya dikenal sebagai galian C.
“Jika kami tahu bahwa maksudnya seperti ini kami tolak,” katanya, mengklaim ketika itu Damas tak menjelaskan maksud dan tujuan penggunaan lahan itu.
Pasca penandatangan surat itu, ia dan warga lainnya sempat bersepakat secara lisan dengan Damas bahwa lokasi tambang akan berjarak minimal 300 meter dari pemukiman.
Namun, katanya, hal itu diingkari, di mana sekarang lokasinya kian mepet dengan pemukiman dan lahan pertanian.
Dugaan Setoran ke Polisi
Wili berkata, menyusul protes mereka, petugas pernah datang ke lokasi tambang dan memasang garis polisi atau police line.
“Tetapi kami tidak tahu itu petugas dari mana karena menggunakan pakaian bebas.”
Setelah kedatangan petugas itu, tidak ada tanda-tanda bahwa aktivitas galian akan dihentikan.
“Kami duga bahwa uang sudah bermain,” katanya.
Dugaan Wili juga merujuk pada informasi yang pernah disampaikan Erik, anak dari Sakarias bahwa mereka menyetor Rp10 juta per tahun dari hasil tambang tersebut kepada polisi.
Erik, kata dia, juga memberi tahu dirinya bahwa kedatangan petugas yang pernah memasang garis polisi karena polisi “tidak puas sepuluh juta per tahun.”
Kapolres Manggarai Timur, AKBP Suryanto membantah klaim Sakarias soal setoran ke polisi.
Saya “tidak pernah menerima sepeserpun dari pemilik tambang,” katanya kepada Floresa di ruang kerjanya pada 19 Juli.
“Apakah uang itu kasih ke Kapolres atau ke siapa? Saya Kapolres loh dan tidak pernah terima hal yang begitu,” kata Suryanto yang baru memimpin Polres Manggarai Timur sejak Februari 2024.
Suryanto mengatakan pihaknya memang telah memanggil pemilik tambang dan melakukan pengecekan di lokasi tambang tersebut, “baik yang punya izin maupun yang tidak” dan sedang memproses keluhan warga.
Pemanggilan para pemilik tambang diakui juga oleh Kasat Reskrim Polres Manggarai Timur, Iptu Ilham Gesta Rahman.
Surat ke pemilik tambang, katanya, dikirim sebulan lalu, “tapi belum ada yang datang.”
Ia juga mengklaim sudah koordinasi dengan dinas di provinsi yang mengurus perizinan, namun tidak merinci hasil koordinasi itu.
Minta Pemerintah Intervensi
Di tengah kecemasan tentang rumah dan sawahnya, Wili berkata, “kami berharap pemerintah, khususnya dinas terkait, datang langsung ke lokasi.”
“Apakah galian yang dekat dengan pemukiman ini layak atau tidak dari segi aturan,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Manggarai Timur, Kasmir A Dalis mengklaim salah satu kepala bidang di dinasnya sudah turun ke lapangan merespons keluhan warga dan masih menunggu laporannya.
Ia berkata, urusan izin memang ada pada pihak provinsi, dan pihaknya hanya menjalankan mandat untuk pemantauan pelaksanaan di lapangan.
“Kami akan melakukan sidak apabila tidak memiliki izin,” katanya kepada Floresa pada 20 Juli.
Merujuk pada data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi NTT yang diperoleh Floresa, dari dua perusahaan yang beroperasi di Desa Watu Mori, PT Waekuli Saranamega tercatat mengantongi izin, yang terbit pada 24 Januari 2024.
PT Waekuli Saranamega tercatat sebagai satu-satunya perusahaan tambang bebatuan berbasis di Manggarai Timur yang mengantongi izin.
Sementaar PT Menara Armada Pratama yang berbasis di Kabupaten Manggarai, status izinnya tertulis “menunggu verifikasi persyaratan.”
Laporan ditulis oleh Waldus Budiman
Editor: Ryan Dagur