Intelektual Blanko dan Proyek Geotermal di Flores

Jika kampus memilih untuk netral dalam situasi ketimpangan, maka sesungguhnya ia sedang berpihak pada penindas

Oleh: Ernestus Holivil 

Pulau Flores belakangan ini menjelma menjadi laboratorium raksasa tempat jargon “hijau” diuji coba dengan gegap‑gempita. Pemerintah, investor, dan akademisi bersatu dalam simfoni pembangunan energi terbarukan.

Namun, seperti yang kita saksikan hari-hari ini, tantangan dan perdebatan seputar dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari proyek ini tidak bisa dihindari.  

Justru, sadar atau tidak, di balik narasi “energi hijau” yang didengungkan para akademisi, ada suara-suara lirih terpinggirkan—suara tanah, hutan dan masyarakat adat yang merasa dilangkahi.

Keanehan terbesar proyek ini bukan terletak pada absennya data, melainkan pada absennya keberanian epistemik.

Kampus, yang secara historis dilukiskan sebagai public conscience, justru menyajikan legitimasi, seakan ia restoran bintang lima—siap menghidangkan “kajian kelayakan” sesuai selera pemegang proyek.

Dalam terminologi Pierre Bourdieu, modal simbolik universitas sedang dikonversi menjadi modal ekonomi bagi investor; kritik digadaikan agar seminar tetap berjalan rapi, riset terdanai dan akreditasi meningkat.

Dalam laporan Jurnal Pusat Penelitian Ilmu Pendidikan Alam (JPPIPA) tahun 2024, disebutkan bahwa Flores memiliki potensi geotermal sebesar 739,5 megawatt, dengan 20 lokasi panas bumi.

Tiga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) telah beroperasi, yakni Ulumbu, Mataloko, dan Sokoria.

Angka-angka ini terdengar menjanjikan, apalagi saat digadang-gadang sebagai bentuk kontribusi terhadap energi bersih nasional.

Namun, tidak ada angka dalam laporan itu yang bicara tentang bagaimana warga adat di Poco Leok diintimidasi, bagaimana hutan lindung yang rapuh disodet oleh proyek eksplorasi, atau bagaimana sumber air di Wae Sano terancam oleh pengeboran.

Inilah yang oleh Miranda Fricker disebut epistemic injustice: ketidakadilan dalam proses pengumpulan, penyebaran dan penghargaan terhadap pengetahuan.

Pakar geotermal dari kampus ternama seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Pri Utami, misalnya, menyarankan agar pendekatan berbasis kearifan lokal dijadikan fondasi proyek panas bumi.

Ini memang terdengar indah—bahkan masuk dalam proposal riset.

Namun, benarkah proyek yang bertentangan dengan suara komunitas adat bisa disebut “berbasis kearifan lokal”?

Apakah pengetahuan lokal hanya dianggap valid bila bisa ditranslasi menjadi metode teknis, bukan sebagai prinsip resistensi?

Saya kira Pri Utami terperangkap dalam logika cultural tokenism: nilai adat dipuji hanya sejauh dapat melicinkan roda proyek.

Saat warga Poco Leok menolak pengeboran karena tanah dianggap tubuh leluhur, mereka dituduh “tidak rasional.”

Inilah akibat ketika label ilmiah berfungsi layaknya meterai kerajaan: sekali ditempel, diskusi dianggap selesai.

Foucault sudah lama mengingatkan bahwa pengetahuan adalah relasi kuasa; Flores hanya menegaskan ulang tesis itu.

Selain UGM, Ali Ashat, akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) juga menegaskan hal yang sama.

Ia menggarisbawahi efisiensi energi dan pengurangan emisi sebagai keuntungan utama dari PLTP.

Ali menyandingkan geotermal sebagai alternatif dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang boros dan mahal.

Padahal, dalam teori energi Amory Lovins, “efisiensi tanpa keadilan hanyalah alat represi yang dibungkus kebaikan.”

Apa gunanya listrik murah jika harus dibayar dengan hilangnya tanah ulayat dan rusaknya ekosistem?

Studi Amory Lovins sejak 1970‑an menunjukkan bahwa kriteria “efisiensi” tak pernah netral; ia bisa memoles ketimpangan jika tidak dipasangkan dengan keadilan.

Flores adalah bukti mutakhir: listrik murah bagi industri, tetapi biaya ekologis dan kultural ditanggung masyarakat adat.

Inilah green grabbing versi panas bumi—pengalihan lahan di bawah bendera lestari, yang oleh James Ferguson dikategorikan sebagai anti‑politics machine: proyek pembangunan yang mendepolitisasi konflik dengan jargon teknis.

Para akademisi model ini, oleh Pramoedya Ananta Toer, dilabelkan sebagai kaum intelektual blanko, mereka yang terjebak dalam menara daging akademik, tetapi gagal merespons persoalan masyarakat.

Ada semacam kemapanan kognitif di tubuh akademik, bergerak dalam parameter “data” dan “kajian teknis.”

Mereka malas menyelami lanskap sosial yang cair dan penuh konflik. Mereka enggan duduk di tengah-tengah warga, takut kehilangan status “netral” yang mereka agung-agungkan.

Padahal, seperti kata Paulo Freire, pendidikan bukanlah proses netral; ia adalah tindakan politik.

Jika kampus memilih untuk netral dalam situasi ketimpangan, maka sesungguhnya ia sedang berpihak pada penindas.

Inilah jawaban atas pertanyaan mengapa sebagian kampus bungkam dan akademisi memilih jalur aman.

Mereka bersarang pada regime of incentives yang diciptakan negara‑pasar. Hibah riset, consulting fee, dan akses jaringan birokrasi menawarkan kenyamanan yang sukar ditolak.

Bourdieu menyebut proses ini sebagai doxa: norma begitu mengakar hingga penolakan terasa tidak masuk akal.

Akibatnya, diskursus publik kehilangan dialektika; ia menjadi monolog teknokratik yang memeram problem menjadi soal kalkulasi biaya‑manfaat.

Di Flores, kita tidak hanya butuh pembangkit energi, tetapi pembangkit nurani.

Dan, sejauh ini, kampus masih gagal menyalakan saklar keberpihakan itu.

Etika Keberpihakan

Institusionalisasi etika keberpihakan di kampus menjadi sebuah keharusan. Ini bukan soal kurikulum baru atau lokakarya berkala, melainkan soal menanamkan keberanian moral sebagai fondasi setiap praktik keilmuan.

Artinya, setiap kontrak riset harus memiliki Social Impact Audit. Audit ini dikelola dewan independen lintas disiplin—sosiolog, ekolog, antropolog, ahli hukum adat—dan bersifat binding: hasilnya menentukan izin atau penolakan kampus untuk terlibat.

Setiap kontrak riset harus mencantumkan clause perlindungan kritik, memastikan peneliti bebas memublikasikan temuan negatif tanpa ancaman pencabutan dana.

Mekanisme whistle‑blowing diperkuat agar akademisi junior punya jalur aman mengungkap konflik kepentingan profesor atau rektorat.

Dalam kerangka ini, kebebasan akademik dibaca bukan sekadar hak mengajar, tetapi hak menentang hegemoni ekonomi.

Universitas kemudian wajib membuka ruang “Kontra‑Wacana Publik”—forum bulanan di mana komunitas terdampak berhadapan langsung dengan ilmuwan dan pemangku kebijakan.

Forum ini direkam, diarsipkan dan menjadi sumber data kurikulum; mahasiswa belajar metodologi sekaligus etika perlawanan, bukan sekadar statistik.

Dengan demikian, legitimasi akademik tidak diproduksi di laboratorium tertutup, tetapi di ruang dialog setara.

Kampus perlu menginstitusikan nilai keberanian sebagai metrik kinerja. Artikel di jurnal Q1 penting, tetapi seberapa sering akademisi menghadiri musyawarah adat harus terukur pula.

Indikator pengabdian masyarakat direvisi agar mencatat advokasi, bukan sekadar sosialisasi.

Ilmuwan yang menolak konsultansi karena konflik etis layak memperoleh penghargaan, bukan bisik‑bisik sinis.

Solusi ini menuntut universitas melepaskan pakaian menara gading dan mengenakan jubah civic university.

Ia tidak sesederhana menambah mata kuliah etika, tetapi mengubah orientasi kelembagaan—dari penumpuk paten menjadi pembela kebenaran.

Mungkin jalan ini terjal dan tidak glamor, namun di tengah gemuruh bor panas bumi, hanya kompas nurani yang sanggup menuntun kampus keluar dari kegelapan intelektual blanko.

Ernestus Holivil adalah Dosen Administrasi Publik Universitas Nusa Cendana

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING