Floresa.co – Bagi Karolus Wiryono Deon, ada semacam salah kaprah soal kualitas pendidikan, yang diasosiasikan dengan gedung beserta fasilitas sekolah yang megah di dalamnya.
“Bagi saya, pendidikan bukanlah tentang gedung megah. Pendidikan adalah sebuah proses belajar,” katanya.
Karena itu, ia tidak setuju dengan anggapan bahwa ada sekolah yang berkualitas dan tidak berkualitas.
“Sekolah hanyalah bangunan fisik. Yang berproses dan menentukan kualitas adalah manusia di dalamnya,” kata guru SMAK St. Ignatius Labuan Bajo ini.
Prinsip demikian yang membuatnya memilih untuk menghadirkan pendidikan kritis di sekolah.
Ia mengajak peserta didiknya untuk tidak hanya belajar materi yang ada dalam buku-buku teks, tapi mendekatkan mereka dengan realitas sosial di sekitar.
“Kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh bagaimana kita melibatkan sesama, baik teman, peserta didik, maupun seluruh elemen masyarakat dalam konteks sosial yang nyata,” kata guru berusia 37 tahun itu.
Jika hanya fokus pada buku, “guru hanya akan menjadi budak percetakan,” tambahnya.
Biasa disapa Carles, ia adalah pembina kelompok teater di sekolahnya.
Pada 21 Mei, ia mendampingi anak-anaknya mementaskan fragmen dalam sebuah diskusi yang diinisiasi Forum Titik Temu Masyarakat Sipil Flores – kolaborasi Floresa, Sunspirit for Justice and Peace dan Rumah Baca Aksara (RBA).
Diskusi bertema “Masalah Sosial di Flores: Bagaimana Peran Kaum Muda” itu digelar di Rumah Kopi Kebun Kota Labuan Bajo, sebuah kafe yang kerap menggelar acara publik.
Carles ikut menjadi salah satu narasumber, yang berbicara soal bagaimana seharusnya kaum muda mengambil sikap di tengah berbagai masalah sosial yang kini terjadi Flores. Ia berbicara soal praktik yang ia lakukan di sekolahnya.
Dalam fragmen Lonto Leok yang dipentaskan peserta didik Kelas X dan XI dalam acara itu, mereka mengangkat kisah tentang polemik geotermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai.
Teater itu mengontraskan kebijakan pemerintah menghadirkan proyek itu usai penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017 di tengah perlawanan warga yang khawatir dengan keselamatan ruang hidup mereka.
Carles berkata, fragmen itu merupakan kristalisasi dari refleksi mereka usai menyaksikan film dokumenter “Sacrifice Geothermal?” produksi Rumah Baca Aksara dan Komunitas Pemuda Poco Leok, selain membaca berita-berita seputar polemik proyek ini.
“Hasil refleksi tersebut kemudian kami padukan dan wujudkan dalam sebuah pementasan,” katanya.
Ini bukanlah kali pertama peserta didiknya membawakan teater yang menghadirkan kritik sosial.
Pada awal bulan ini, mereka juga membawakan teater bertajuk “Nestapa di Tanah Pusaka: Mengasah Asa, Melawan Pembungkaman.”
Teater yang dipentaskan pada Hari Pendidikan Nasional 2 Mei itu menyoroti karut marut sejumlah kebijakan pemerintah yang dianggap penting untuk diketahui dan direspons peserta didik.
Beberapa di antaranya soal Program Makan Bergizi Gratis, pergantian kurikulum setiap kali pergantian menteri hingga rendahnya perhatian pada kesejahteraan guru.
Pementasan teater itu, katanya, merupakan bentuk kritik terhadap pemaknaan Hari Pendidikan Nasional yang saban tahun hanya diisi upacara bendera dan acara hiburan.
Sebelumnya, dalam Festival Golo Koe yang diinisiasi Gereja Katolik pada 2022, alih-alih hanya fokus pada keindahan pariwisata Labuan Bajo yang jadi materi pementasan sejumlah kelompok seni, peserta didiknya mengangkat cerita tentang keterpinggiran warga lokal.
Teater bertajuk “Maria Zaitun” yang dipentaskan itu juga mengkritik ketidakpedulian berbagai elemen, termasuk lembaga Gereja Katolik sendiri terhadap masalah sosial di Labuan Bajo.
Carles berkata, dengan tema-tema itu, “kami mencoba keluar dari zona nyaman, dari pemahaman pendidikan yang selama ini kami miliki.”
Ia mengaku ingin membiasakan muridnya berdiskusi soal masalah-masalah sosial, agar mereka tidak asing dengan lingkungan tempat mereka tinggal.
Saat menyiapkan teater “Maria Zaitun” yang diadaptasi dari puisi WS. Rendra, katanya, mereka misalnya menonton film dokumenter Dragon for Sale dari Ekspedisi Indonesia Baru yang mengungkap sejumlah masalah dalam upaya pemerintah menjadikan Labuan Bajo sebagai Bali Baru dan kota pariwisata super premium.
Ide menonton film demikian, yang tidak ada buku-buku pelajaran, adalah langkah “untuk mendekatkan siswa pada realitas kehidupan.”
“Setelah itu, kami berpikir bersama dan menghasilkan karya,” katanya.
Carles berkata, langkah demikian beriringan dengan upaya mengatasi beberapa “virus” yang kerap menghambat tumbuhnya kerangka berpikir kritis pada anak.
“Pertama, kami sebagai pendidik belum sepenuhnya bisa move on dari cara pandang klasik bahwa guru adalah satu-satunya sumber kebenaran,” katanya.
“Pandangan ini membuat kita menutup mata terhadap kemungkinan pengetahuan datang dari luar guru.”
Kedua, ketika sudah mengumpulkan informasi, menyusun naskah, menyiapkan panggung dan siap untuk mementaskan karya, “seringkali proses itu tiba-tiba dipotong oleh berbagai aturan yang tidak berpihak pada proses belajar.”
Ia mengaku punya pengalaman soal sensor dari penyelenggara tertentu terhadap teater yang ia hasilkan, sehingga membuatnya memutuskan batal tampil daripada dipaksa menumpulkan daya kritis.
“Di titik inilah pemikiran kritis justru sering terhambat,” mengingatkan hal ini sebagai bentuk politisasi yang merangsek masuk ke dalam institusi pendidikan.
“Bagaimana mungkin pendidikan bisa maju jika terus-menerus dipolitisasi?” kata Carles.
Politisasi pendidikan, bagi dia, adalah bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
“Tak heran jika kita melihat orang-orang yang menamatkan pendidikan tinggi justru masuk ke dunia politik, lalu terjerat kasus korupsi dan ketika dihukum, masa tahanannya dipotong.”
“Ironisnya, guru yang pernah mendidik mereka justru tunjangannya dipotong oleh pajak,” katanya.
Pendidikan Kritis Lewat Gerakan Literasi
Selaras dengan Carles, di SMA Lentera Harapan Labuan Bajo, Angly Sae bersama rekan gurunya juga menghidupi pendidikan kritis peserta didik.
Hal itu mereka lakukan lewat gerakan literasi.
Keputusan Angly dan rekan-rekannya lahir dari proses penyadaran tentang apa yang sebenarnya terjadi di Labuan Bajo di tengah gegap gempita industri pariwisata.
Guru berusia 27 tahun ini yang berasal dari Pulau Timor berkata, saat hadir di Labuan Bajo pada 2020, ia hanya mendengar cerita yang indah-indah.
“Saat pertama kali mencari tahu tentang tempat ini, saya membuka Instagram dan mengetik kata Labuan Bajo di kolom pencarian atau menggunakan tagar yang relevan. Hasilnya semua tampak indah,” katanya saat berbicara dalam diskusi pada 21 Mei.
Namun, seiring waktu, saat ia dan rekan-rekannya masuk lebih dalam ke realitas di balik keindahan itu, “kami mulai menemukan masalah besar.”
Ia mencontohkan sejumlah soal seperti rusaknya Hutan Bowosie akibat proyek kawasan bisnis pariwisata, krisis air dan privatisasi wilayah sempadan pantai yang membuat terbatasnya akses bagi warga lokal.
Hal itu kemudian membawa mereka pada pertanyaan: “Apakah kami hanya diam melihat berbagai persoalan ini?”
Angly menjelaskan, proses itu berjalan perlahan-lahan, dari tahun-tahun ke tahun.
Ia menggambarkan jejak proses itu lewat buku-buku yang diproduksi SMA Lentera Harapan.
Pada 2020–2021, katanya, ia bersama sejumlah pihak ikut memproduksi buku berjudul “Labuan Bajo Kita dalam Sajak.”
Yang ditulis dalam buku itu tentang keindahan saja, “tak ada satupun masalah yang dimunculkan.”
Usai buku itu terbit, ia mulai berkenalan dengan para pegiat sosial di Labuan Bajo. Dari mereka, ia mendapat cerita bahwa Flores dan Labuan Bajo “tidak selalu indah.”
Namun, kendati pada 2022 sekolah menerbitkan buku lagi, belum ada perubahan yang signifikan.
“Isinya masih belum terlalu kritis, masih memuja-muja keindahan,” kata Angly.
Baru pada 2023, pihaknya mulai menantang narasi semacam itu yang masih dominan.
“Anak-anak generasi penerus mulai menulis cerpen dalam proyek buku ‘Flores Punya Cerita.’ Mulai tampak bahwa cerita mereka tidak hanya tentang keindahan, tetapi juga duka dan kesengsaraan,” katanya.
Di sinilah proses pembentukan kesadaran mulai terlihat, kata Angly.
“Anak-anak SMA Lentera Harapan mulai terbentuk pemikirannya, termasuk melalui diskusi bersama. Kami sadar bahwa keindahan yang selama ini ditampilkan di media sosial adalah potret yang tidak utuh,” ujarnya.
Tahun lalu, ketika makin menyadari bahwa kian banyak masalah sosial yang mengemuka, peserta didik dan guru mencoba memproduksi tulisan esai dengan pendekatan kritis.
Ada 67 judul esai yang dihasilkan dan membahas masalah berbeda-beda.
Untuk memperkuat pemahaman peserta didik tentang masalah-masalah itu, mereka juga diwajibkan turun ke lapangan.
“Misalnya, ketika menulis tentang Bowosie,” katanya merujuk pada kawasan hutan di pinggir kota Labuan Bajo yang menjadi lokasi proyek bisnis pariwisata, “kami minta mereka datang ke sana saat musim hujan.
Tujuannya “untuk merasakan langsung bagaimana menjadi korban dari persoalan itu, di mana banjir menjadi ancaman nyata.”
Ia berkata, “tulisan mereka menjadi lebih bermakna ketika mereka melihat langsung kondisi lapangan. Kalau tidak turun langsung, mereka tidak akan benar-benar tahu.”
“Tulisan kritis,” kata Angly, “tidak lahir dari ruang kelas yang nyaman, tapi dari pengalaman yang mengusik rasa keadilan mereka.”
Di sisi lain, kata dia, sekolah juga menjalin kolaborasi dengan komunitas-komunitas, gerakan perempuan, media, sastra, seni dan pariwisata untuk bersama-sama memikirkan solusi.
Karena itu, esai-esai itu tak hanya mengangkat masalah, tetapi juga berupaya memperbaikinya lewat solusi-solusi kecil yang ditawarkan.
Ujung dari proses itu adalah pada upaya mengambil langkah konkret.
Ia mencontohkan program sekolah yang menanam mangrove di pesisir Labuan Bajo demi mencegah abrasi dan menopang pariwisata pesisir yang berkelanjutan.
Selain itu, mereka juga menanam pohon di kawasan Hutan Mbeliling, yang menjadi sumber mata air untuk Labuan Bajo.
Dengan sejumlah inisiatif ini, kata Angly, sekolah sedang menanamkan kesadaran dalam diri peserta didik untuk peduli dan berempati.
“Kita tidak bisa menutup mata bahwa empati kita belum setara. Ada yang tidak tahu persoalan karena akses informasi terbatas. Ada juga yang merasa tidak terdampak karena tinggal di zona nyaman,” katanya.
Menurutnya, membentuk empati tidak bisa dilakukan dengan pendekatan instan.
“Empati tidak bisa diunduh. Tidak seperti AI (Artificial Intelligence) yang bisa memberi jawaban cepat. Empati harus ditumbuhkan perlahan lewat pengalaman nyata,” katanya.
Ia pun mengajak peserta diskusi itu untuk lebih serius menciptakan ruang belajar yang tidak hanya fokus pada aspek akademik, tetapi juga membentuk kepekaan sosial anak-anak.
“Tugas kita bukan hanya mencerdaskan secara intelektual, tapi juga menumbuhkan empati. Anak-anak kita adalah generasi penerus yang harus peduli terhadap sesama dan lingkungan tempat mereka hidup,” kata Angly.
Arivin Dangkar berkontribusi dalam penulisan laporan ini
Editor: Herry Kabut