Pentas Teater yang Soroti Pergantian Kurikulum, Gaji Guru, MBG dan Pelanggaran HAM; Cara SMA Katolik di Manggarai Barat Peringati Hardiknas

Guru yang menjadi sutradara memberi catatan terhadap peringatan hari pendidikan saban tahun yang fokus pada kemeriahan, bukan kepedulian terhadap soal-soal yang berkaitan dengan dan memengaruhi pendidikan

Floresa.co – Tak sekedar upacara bendera seperti tahun-tahun sebelumnya, SMA Katolik St. Ignatius Loyola Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat, NTT memilih mengisi peringatan Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas tahun ini dengan sesuatu yang berbeda: mementaskan teater.

Bertajuk “Nestapa di Tanah Pusaka: Mengasah Asa, Melawan Pembungkaman,” teater yang dipentaskan di lapangan sekolah pada 2 Mei itu menyoroti karut marut sejumlah kebijakan pemerintah yang dianggap penting untuk diketahui dan direspons peserta didik.

Sebagaimana disaksikan Floresa, setidaknya tiga isu bidang pendidikan yang jadi penekanan, di antaranya pergantian kurikulum, program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan kesejahteraan guru honorer.

Teater itu juga menyinggung beberapa program pemerintah yang dinilai menghancurkan lingkungan dan meminggirkan masyarakat. 

Beberapa di antaranya adalah program pangan atau food estate, geotermal di Pulau Flores serta privatisasi pantai dan okupasi ruang laut dalam pembangunan pariwisata di Labuan Bajo. 

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan pers juga disinggung.

Carles Deon, guru sekolah itu yang menjadi sutradara berkata “teater ini merupakan antitesis dari cara berpikir pemerintah yang lebih senang dengan gebyar ketimbang merefleksikan dinamika pendidikan” ketika saban tahun memperingati Hardiknas.

Ia menyoroti keputusan Pemerintah Provinsi NTT yang mendatangkan puluhan peserta didik dari seluruh daerah itu ke Labuan Bajo “hanya untuk menari di bawah panas matahari sambil direkam kamera drone.”

Acara itu, “hanya untuk menyenangkan hati para pejabat” seraya mengabaikan “betapa letihnya para penari,” katanya kepada Floresa.  

Baginya, Hardiknas sebenarnya “momentum refleksi tentang dari mana titik awal pendidikan, hari ini bagaimana dan ke depan bagaimana.” 

Guru Diabaikan, Ganti Menteri Ganti Kurikulum

Charles berkata cerita yang diangkat dalam teater tersebut merupakan “kristalisasi keresahan dari bilik ruang kelas yang selama ini tidak tersampaikan.”

Ia berkata, masalah gaji guru menjadi sorotan karena mereka hanya dimuliakan saat pemilu dan diberi beragam janji. 

“Setelah itu dihina dengan kebijakan yang merugikan kami. Jadi, momen ini merupakan ekspresi kami,” tambahnya. 

Carles berkata “teater ini semacam menjadi ruang ekspresi untuk mengungkapkan keresahan yang tak pernah didengar penguasa.” 

Sebagai guru swasta, ia mengaku mendapat ruang yang bebas untuk mengekspresikannya. 

Andai jadi guru berstatus Aparatur Negeri Sipil, kata dia, bisa saja ada resiko akan dipindahkan ke tempat lain atau dibungkam.

Ia mengaku berani menulis dan mementaskan teater itu karena “saya tahu guru-guru punya keresahan yang sama, tetapi mereka tidak berani berbicara.” 

Ia mencontohkan guru Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang “yang bingung bicara tentang HAM karena mereka tahu ada sejumlah persoalan HAM di masa lalu yang sampai saat ini belum diselesaikan.”

Kasus-kasus itu, kata dia, di antaranya penculikan Widji Thukul, pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, penculikan aktivis 98 dan Tragedi Semanggi I dan II – saat aktivis dan mahasiswa ditembak dalam unjuk rasa peralihan dari era Soeharto ke reformasi.  

“Bahkan, sampai hari ini, kasus pelanggaran HAM masih saja terjadi. Padahal, kita hidup di zaman pasca reformasi,” katanya.

Carles Deon, pendidik di SMA Katolik St. Ignatius Loyola yang juga merupakan sutradara teater “Nestapa di Tanah Pusaka: Mengasah Asa, Melawan Pembungkaman.” (Dokumentasi Floresa)

Carles juga menyinggung soal pernyataan Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi — yang menganggap teror berupa pengiriman kepala babi kepada jurnalis media investigatif Tempo sebagai lelucon, dengan berkata “kalau kepala babi, dimasak saja.”

Ia berkata, pernyataan itu, yang juga ikut disinggung dalam teater, tidak saja merendahkan martabat pers, tetapi juga “menghina sisi critical thinking (berpikir kritis) dalam dunia pendidikan.” 

“Kurikulum sekarang mengajarkan siswa untuk berpikir kritis. Lalu ketika kekritisan itu dibungkam, kami mau ajar apa di sekolah?,” katanya.

Soal lain yang menjadi perhatian dalam teater adalah perubahan kurikulum dari Kurikulum Merdeka era Menteri Nadiem Anwar Makarim menjadi Deep Learning oleh menteri saat ini, Abdul Mu’ti.

Deep Learning diklaim dirancang dalam rangka meningkatkan pemahaman siswa melalui pendekatan yang lebih mendalam dan fokus pada keterlibatan aktif para peserta didik.

Carles berkata, perubahan kurikulum seharusnya dilakukan untuk menjawab tantangan yang ada, tetapi “akhir-akhir ini semakin tidak masuk akal.”

Kurikulum Merdeka, “baru berjalan satu tahun dan peserta didik kelas III (SMP dan SMA) baru ujian,” yang artinya “belum ada evaluasi.”

Tetapi, tiba-tiba kurikulum mau diubah, kendati “semuanya sudah ada di Kurikulum Merdeka.” 

“Seolah-olah, kalau ganti presiden dan menteri, maka kurikulum dan istilah (nomenklatur) juga ikut diganti,” katanya. 

Untuk mengganti istilah ini saja, negara menghabiskan anggaran besar, “sementara banyak guru di kampung yang digaji Rp300 per bulan.” 

Bukan Makan, Tapi Pendidikan Gratis

Kritikan terhadap Program Makan Bergizi Gratis atau MBG dalam teater itu, kata Carles, karena seharusnya “didistribusikan untuk seluruh anak di Indonesia,” tetapi “di Labuan Bajo yang mendapatkannya hanya sekolah negeri.”

Dalam catatan Floresa, hingga bulan ini program MBG hanya berlangsung di enam sekolah di Kabupaten Manggarai Barat. Lima di antaranya merupakan SD dan satu SMP, yakni SDIT Persaudaraan Wae Nahi, SD Wae Mata, SDN Lancang, SDN Labuan Bajo 2, SDN Batu Cermin dan SMPN 1 Komodo. Keseluruhan murid penerima manfaat adalah 3.003 orang.

“Di mana asas keadilan. Mereka (sekolah negeri) selama dua bulan ini sudah mencicipi MBG, sementara anak-anak kami ini belum mencicipi apa-apa,” kata Carles.

Siswa kelas 1A di SDIT Persaudaraan Wae Nahi sedang menyantap MBG yang dibagikan pada 14 April 2025. (Dokumentasi Floresa)

Ia berkata negara sudah mengalami defisit anggaran, kendati program MBG baru berjalan dua bulan dan tidak semua sekolah mendapatkannya. 

Benedikta Julita Demose, peserta didik Kelas XI F, salah satu pelakon teater berkata, “MBG adalah program yang sangat tidak adil karena tidak semua sekolah di Labuan Bajo mendapatkannya.”

Alih-alih MBG, kata dia, “kami hanya butuh pendidikan gratis.”

“Masih banyak anak di luar sana yang untuk makan siang saja sangat susah, apalagi untuk biaya pendidikan,” kata Dita, sapaannya.

Cantika Putri Wahidun, pelakon lainnya berkata, “MBG adalah program yang tidak adil karena hanya didistribusikan kepada anak-anak sekolah.”

“Bagaimana dengan anak-anak yang tidak sekolah dan terlantar? Apakah mereka juga mendapatkan MBG?”, kata Putri, sapaan peserta didik Kelas XE itu.

Senada dengan Dita, Putri menilai “pendidikan gratis jauh lebih penting daripada MBG.” 

“Di sekolah kami masih banyak siswa yang dibiayai oleh pihak lain, bukan oleh orang tua mereka,” katanya.

Benedikta Julita Demose (kiri) dan Cantika Putri Wahidun (kanan), peserta didik SMA Katolik St. Ignatius Loyola yang juga merupakan pelakon teater. (Dokumentasi Floresa)

Pariwisata Super Prihatin 

Sementara soal pembangunan pariwisata di Labuan Bajo yang ikut diangkat, kata Carles, lahir dari keresahan karena “tidak jelas dan cenderung mengingkari hak warga lokal.”

Ia mencontohkan proyek jalan Labuan Bajo menuju kawasan pariwisata Golo Mori yang turut menggusur rumah dan lahan warga di Kampung Cumbi dan Nalis, Desa Warloka tanpa ganti rugi.

Warga di kedua kampung tersebut telah menempuh berbagai cara untuk menuntut ganti rugi itu, termasuk mendatangi Kantor Staf Presiden di Jakarta pada September 2023. Hingga kini, perjuangan mereka belum berhasil.

Carles juga menyinggung tentang proyek Embung Anak Munting warisan Presiden Joko Widodo yang “dibiarkan terlantar.”

Kini, embung yang berlokasi di Sambi Ribak, Kampung Kenari, Desa Warloka itu disegel pemilik lahan karena “mereka tak kunjung mendapat ganti rugi.”

Sementara Dita dan Putri menyoroti masalah privatisasi pantai dan okupasi ruang laut di Labuan Bajo demi pembangunan hotel dan resor.

“Kalau pemerintah dan pengusaha memagari laut, berarti mereka tidak memikirkan nasib warga,” kata Dita. 

Menurutnya, pembangunan semacam itu berdampak pada sempitnya ruang tangkap serentak mengurangi pendapatan nelayan. 

“Sebagai warga Labuan Bajo, kami sangat kecewa karena pendapatan utama masyarakat setempat terutama nelayan kan dari hasil tangkapan di laut,” katanya. 

Sejumlah bangunan milik Ta’aktana Spa dan Resort yang berdiri di atas laut di Pantai Binongko, Labuan Bajo. (Dokumentasi Floresa)

Putri menambahkan, “seharusnya ada keuntungan untuk hotel dan ada keuntungan untuk nelayan, biar adil.”

“Jangan laut dipagari,” tambahnya.

“Kita di sini seperti ikan lele. Dikasih pakan selama tiga bulan setelah itu dipanen. Kalau tidak bisa dipanen, dikasihlah predator, yang mempraktikkan devide et impera atau politik pecah belah,” kata Carles.

“Jadi, Labuan Bajo sebagai pariwisata super premium ini terkesan seperti pariwisata super prihatin,” tambahnya. 

Dari Takut Jadi Bangga

Dita mengaku “masuk kelompok teater atas kemauan sendiri.”

Ia sempat gugup karena “ini adalah kesempatan pertama” dan “takut tidak bisa membawakan teater di depan banyak orang.” 

Namun, “saya bertekad dan memotivasi diri supaya percaya diri dan tidak malu tampil di depan banyak orang.”

Putri berkata “saya masuk teater supaya punya banyak pengalaman,” termasuk mengasah kemampuan akting.

“Kami latihan selama satu minggu, pagi dan sore,” katanya.

Ia berkata, awalnya kami tidak tahu akan membawakan teater Nestapa di Tanah Pusaka” karena “kami pikir akan membawakan cerita-cerita tentang pendidikan.”  

“Ternyata kami akan membawakan teater yang mengkritisi kebijakan pemerintah.”

Sama seperti Dita, Putri juga mengaku “sedikit takut dan ragu mau ikut teater ini karena naskahnya berkaitan dengan pemerintah.” 

Namun, setelah beberapa kali ikut latihan, “ternyata ceritanya bagus,” apalagi soal-soal yang diangkat adalah fakta.

Dita mengaku “takut karena teater ini juga menyinggung Widji Thukul,” mengingat aktivis yang yang dikenal karena membawakan teater keliling berisi kritik sosial itu hilang dan sampai saat ini keberadaannya belum diketahui. 

Keduanya juga mengaku pada malam pementasan teater sempat was-was karena di sini polisi dan tentara ikut ikut menonton, mengingat mereka juga menyinggung soal pengerahan aparat keamanan untuk membungkam kritik atas sejumlah proyek yang merugikan masyarakat. 

Rasa takut itu seketika hilang ketika “kami mendengar gema suara dukungan penonton,” kata Dita.

”Setelah penonton juga bersorak, ternyata banyak yang mendukung. Rasanya merinding,” kata Dita.

Putri berharap teater tersebut dapat menggugah kesadaran pemerintah agar merumuskan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat dan membangun kesadaran kritis masyarakat supaya “tidak bungkam di tengah ketidakadilan.” 

Di akhir pementasan teater, para pelakon membacakan puisi Widji Thukul  berjudul “Lawan.” 

Carles Deon berkata, “bagi kami Widji Thukul merupakan orang yang luar biasa” karena menyampaikan pesan (kritik sosial) lewat panggung-panggung kecil dan lorong-lorong kecil. 

“Widji Tukul menghilang bersama karyanya. Ia mati dengan jubah aktivisnya,” katanya.

Lewat teater ini, kata Carles, ia ingin mengajak peserta didik menghidupi keresahan terhadap masalah sosial agar kemudian bisa mengambil langkah transformatif.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA