Floresa.co – “Dilarang masuk dan mancing di area embung.”
Tulisan pada pagar kayu yang dililit kawat berduri itu terpancang di gerbang masuk kawasan Embung Anak Munting.
Berlokasi di Sambi Ribak, Kampung Kenari, Desa Warloka, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, embung itu merupakan salah satu warisan proyek infrastruktur era mantan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang kini terlantar dan menyisakan persoalan dengan warga pemilik lahan.
Haji Abas, salah satu pemilik lahan embung yang berada di pinggir ruas jalan Labuan Bajo menuju kawasan pariwisata Golo Mori itu berkata, mereka menulis itu karena pemerintah belum kunjung memenuhi hak mereka.
Mereka juga ingin menjaga fasilitas itu agar tidak rusak dan keasliannya tetap terjaga.
“Jangan sampai pemerintah pikir kami yang bikin rusak, apalagi embung ini masih belum jelas,” katanya kepada Floresa pada awal April.
Floresa memasuki kawasan itu setelah meminta izin kepada Abas dan satu pemilik lahan lainnya.
Di dalamnya, terdapat berbagai fasilitas seperti toilet, bak air, toren, gazebo, instalasi listrik, gedung pertemuan dan kantor untuk staf. Semuanya tampak tidak terawat.
Area sekeliling genangan embung dipagari besi. Tidak ada petugas jaga, sementara beberapa ekor sapi berkeliaran.
Embung itu dibangun pada Oktober 2022 oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) era Menteri Basuki Hadimuljono.
Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara II yang berbasis di Kupang menjadi penanggung jawab pembangunannya. Area kerja balai ini mencakup Wilayah Sungai Flores di Pulau Flores, Wilayah Sungai Benanain dan Wilayah Sungai Noelmina di Pulau Timor.
Kementerian PUPR menunjuk PT Brantas Abipraya sebagai kontraktor pelaksana dan PT Yodya Karya sebagai kontraktor pengawas. Keduanya adalah Badan Usaha Milik Negara, yang masing-masing bergerak di bidang konstruksi dan jasa konsultan engineering.
Menelan anggaran Rp29,65 miliar, embung itu dibangun di lahan 15,025 hektare, dengan luas genangan 4,5 hektare yang bisa menampung 150.000 meter kubik air.
Pembangunanya diklaim punya fungsi utama konservasi dan mendukung pariwisata di Destinasi Pariwisata Super Prioritas Labuan Bajo dalam rangka persiapan pelaksanaan ASEAN Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi pemimpin negara-negara se-Asia Tenggara pada 9-11 Mei 2023 di Labuan Bajo.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengadaan Lahan dari BWS Nusa Tenggara II, Beni Malela berkata kepada Floresa, embung itu merupakan proyek direktif Jokowi.
Ia merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 116 Tahun 2021 tentang Percepatan Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur untuk Mendukung Penyelenggaraan Acara Internasional di Provinsi Bali, DKI Jakarta, NTB dan NTT.
Menurut PPK Pendayagunaan Air Tanah dan Pengembangan Air Baku II dari BWS Nusa Tenggara II, Daud W. Djami, pengerjaannya yang dimulai pada 19 September 2022 seharusnya selesai pada 30 Desember 2022 atau 103 hari kalender.
Namun, hingga akhir Desember 2022, perkembangan pengerjaannya baru 40% setelah menghabiskan dana Rp11 miliar. Hal itu membuat pengerjaannya diperpanjang hingga Februari 2023.
Kendati demikian, hingga 19 Maret 2023, dua bulan sebelum ASEAN Summit, pengerjaannya baru mencapai 80%.

Lahan Warga Diambil, Ganti Rugi Belum Jelas
Pengerjaan yang tidak tuntas itu memicu persoalan lain: hingga kini warga belum mendapat ganti rugi atau ganti untung dalam bahasa yang kerap dipakai Jokowi.
Haji Abas berkata, sesuai kesepakatan dengan Isac Mesak, PPK Perencana pembangunan embung, harga lahan adalah Rp350 ribu per meter persegi. Dikalikan dengan luas tanah 15,025 hektare, totalnya mencapai Rp52.587.500.000.
Kesepakatan itu menjadi landasan sosialisasi di kantor Desa Warloka pada 2022 yang dihadiri oleh perangkat daerah, termasuk Kepala Satpol PP Manggarai Barat, Yeremias Ontong dan Sekretaris Kecamatan Komodo, Sofiandi.
Sosialisasi pertama itu juga diikuti oleh PT Brantas Abipraya bersama Isac Mesak dan Beni Malela dari BWS.
Salah satu poin dalam berita acara sosialisasi itu, kata Abas, adalah pembayaran ganti rugi lahan dilakukan dua kali.
Pembayaran pertama sebelum “lokasi itu disentuh oleh PT Brantas Abipraya” dan “pembayaran kedua dilakukan selesai kerja,” katanya.
Ia berkata, mereka diberitahu bahwa sebelum ASEAN Summit pengerjaannya harus selesai dan setelahnya ganti rugi lahan langsung dilunasi.
Karena mereka meminta agar “jangan dulu kerja” sebelum pembayaran tahap pertama, BWS yang kala itu mengaku belum punya dana, meminta dana talangan ke PT Brantas Abipraya.
Perusahaan itu lalu menyanggupi untuk membayar 10%. Abas tidak merinci total dana 10% persen itu yang diterima oleh 15 pemilik lahan. Ia sendiri menerima Rp230 juta.

Berjuang Minta Ganti Rugi, Diamankan di Kantor Polisi
Setelah pada Maret 2023 proses perpanjangan waktu pengerjaan pembangunan embung itu berakhir, Abas berkata, ia menghubungi Isac Mesak dan Beni Malela dari BWS “menanyakan kepastian ganti rugi.”
Namun, kata dia, keduanya meminta waktu karena “pengukuran tanah yang resmi harus dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat.”
BPN, katanya, sempat mengukur bagian luar lahan menjelang kedatangan Jokowi pada 14 Maret 2023 untuk meninjau persiapan ASEAN Summit
Namun, BPN tidak menuntaskannya.
Hal itu membuat mereka memilih menduduki lokasi.
“Kami musyawarah di embung. Kami menuntut ganti rugi segera dibayar karena pengerjaannya tinggal 20%. Jangan sampai pekerjaan selesai, tetapi tidak dibayar,” katanya.
Salah satu pemilik lahan bercerita kepada Floresa, “kami membuat baliho untuk melarang orang memasuki lokasi embung itu.”
“Kami menahan alat berat dan meminta PT Brantas Abipraya agar tidak melanjutkan pengerjaan. Kami bilang harus ada titik terang terkait harga tanah,” katanya.
Warga itu berkata “saat sedang mengadang dan bernegosiasi dengan PT Brantas Abipraya,” Kapolsek Komodo, AKP Ivans Drajat dan anggota Satuan Intel Polres Manggarai Barat datang.
“Mereka mencegat kami dan mengambil semua baliho.”
Para pemilik lahan, katanya, berkata kepada para aparat itu “kami tidak akan melarang orang masuk ke sini, yang penting apa yang menjadi hak kami harus tercapai.”
Tanpa mendengar aspirasi tersebut, “mereka menarik paksa kami ke Polres.”
Bahkan, kata dia, ada intel lain dari Mabes Polri yang mengejar mereka hingga ke Polres.
“Mereka pikir kami orang jahat benaran. Kami diperlakukan seperti teroris,” katanya.
Ia berkata ketika sampai di Polres, mereka diarahkan untuk masuk ke ruangan Kasat Intel yang saat itu dijabat oleh Iptu Markus Frederiko Sega Wangge.
Markus menanyakan “apa yang kami kerjakan di sana?”
“Kami bilang, tidak ada kerja apa-apa. Kami hanya mau pasang baliho supaya pemerintah pusat tahu bahwa belum ada penyelesaian terkait lokasi embung,” katanya.
Dalam pembicaraan itu “kami menyampaikan bahwa pengerjaan embung hampir rampung, namun BWS belum membayar ganti rugi lahan.”
“Jangankan bayar, ukur lahan saja belum dilakukan oleh BPN,” katanya.
Merespons pernyataan itu, Markus berkata “tidak bisa desak seperti itu karena ini adalah proyek pemerintah.”
Namun, “kami tetap ngotot menuntut agar lahan tersebut segera diukur dan dibayar.”
Karena itu, Markus mendorong agar mereka bersama PT Brantas Abipraya dan BWS yang diwakili Isac Mesak dan Nahasan Harianndiah membuat kesepakatan baru yang dituangkan dalam sebuah berita acara.
Salah satu poin berita acara itu menyatakan “BWS diberi waktu selama tiga bulan sampai 30 Oktober 2023 untuk membayar ganti untung lahan.”
“Kami yang hadir tanda tangan semua, termasuk Kasat Intel. Berita acara itu masih kami pegang,” katanya.
Poin lainnya, “jika BWS tak kunjung membayar, maka dana talangan yang sudah diberikan PT Brantas Abipraya-merujuk pada pembayaran pertama-dinyatakan batal dan lahan embung akan dikembalikan kepada pemiliknya.”
Tiga hari menjelang jatuh tempo pada 30 Oktober 2023 itu, katanya, “kami kembali menghadap ke Kasat Intel untuk memberitahukan bahwa BPN belum mengukur lahan.”
“Kasat Intel waktu itu berjanji akan berusaha menghubungi BPN. Namun, sampai sekarang tidak ada hasil,” katanya.
Abas berkata, “lucunya, sehari setelah meneken kesepakatan itu, tiga orang anggota Satuan Intel Polres Manggarai Barat datang ke rumah untuk meminta membatalkan kesepakatan dalam berita acara.”
Kepada para polisi itu, ia berkata “kalau surat ini (berita acara) ditarik kembali, apa pegangan kami?”
“Kami tidak akan kasih surat itu. Kami akan kasih kalau hari ini BWS bayar ganti rugi lahan. Kalau mereka bayar, biar semua berita acara ini ditarik, tidak masalah,” katanya.
“Akhirnya berita acara itu tidak jadi dibatalkan. Kami pegang surat itu sampai urusan embung ini selesai. Ini menjadi pegangan kami,” tambahnya.
Sejak saat itu, kata Abas, “saya mulai kecewa” karena “prosesnya tidak berjalan dengan baik dan berita acara yang sudah disepakati malah diminta untuk dibatalkan.”

Jokowi Tanam Pohon, Warga Kembali Didatangi Aparat
Sementara warga masih berjuang mendapatkan ganti rugi, Jokowi mengunjungi embung itu pada 5 Desember 2023. Ia hadir bersama Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Penjabat Gubernur NTT, Ayodhia GL Kalake, Unsur Forkopimda NTT dan Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi.
Mereka melakukan penanaman pohon di lokasi embung itu bersama anak-anak sekolah.
Sebelum kunjungan itu, kata Abas, “aparat keamanan datang lagi” dan meminta izin agar Jokowi bisa masuk ke embung.
Kepada mereka, ia berkata “kami tidak larang, cuman lahan kami belum dibayar oleh pemerintah.”
Beberapa saat kemudian, ia mengaku dipanggil oleh seorang intel militer di Labuan Bajo, yang tidak ia identifikasi namanya.
“Kami minta kepada dia untuk bisa ketemu dengan Menteri PUPR (Basuki Hadimuljono) secara langsung,” katanya.
“Namun dia bilang ‘tidak bisa’ karena ‘untuk menemui orang-orang besar seperti itu, tidak sembarang orang,’” tambahnya.
Merespons penolakan itu, Abas berkata “kami memang bukan orang besar, namun lokasi kami dibutuhkan oleh orang besar.”
“Ketika kami tidak bisa menyampaikan sesuatu sesuatu ke orang besar, apa langkah kami sekarang?” katanya menirukan ucapannya kala itu.
Intel itu menjawabnya: “tenang, kami akan perjuangkan.”
Mereka tak lagi mendapat lagi informasi hingga aparat kembali menemui mereka sehari sebelum Jokowi menanam pohon.
“Kami dijemput oleh anggota Intel Polres Manggarai Barat untuk bertemu dengan Kapolda NTT, Johni Asadoma di Restoran Senang Mose di Desa Gorontalo,” katanya. Asadoma kini menjadi Wakil Gubernur NTT.
“Di situ juga ada beberapa Dirjen Kementerian PUPR,” katanya, namun tidak mengetahui nama-nama mereka.

Kepada Asadoma dan para dirjen itu, Abas berkata “kami izinkan Jokowi untuk tanam pohon, tapi kami minta ganti rugi lahan.”
Dalam pertemuan itu, kata Abas, para dirjen mendorong BWS merekomendasikan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTT turun ke lokasi untuk menggali cerita tentang pengadaan lahan.
Beberapa waktu kemudian, BPKP mengeluarkan rekomendasi agar “BPN mengajukan surat diskresi kepada Menteri ATR/BPN yang kala itu dijabat Hadi Tjahjanto.
Surat diskresi merujuk pada surat yang memberi pengecualian atau tindakan di luar aturan dalam pengadaan atau pengolahan tanah.
“Kami menunggu surat itu sampai sekarang. Jika surat itu keluar baru terjadi proses lanjutan dari PPK Perencana (merujuk Isac Mesak),” kata Abas.
BWS Salahkan BPN
Abas berkata, beberapa kali mendatangi BPN Manggarai Barat, mereka mendapat jawaban bahwa pengukuran lahan “sedang proses.”
“Itu jawaban mereka sampai sekarang.”
Menurut BPN, katanya, BWS menyalahi prosedur karena “program pembangunan apapun, terlebih dahulu lahannya harus diukur oleh BPN, baru mulai dikerjakan.”
Abas berkata, klaim BPN berbeda dengan pernyataan Isac Mesak saat meminta persetujuan pemilik lahan pada 2022 bahwa “kalau memang program strategis nasional,” maka “harus dikerjakan, pengukuran lahannya nyusul.”
BPN, kata dia, membantah klaim Isac dengan menyatakan “untuk mendapat rekomendasi pembayaran (ganti rugi), maka lahan harus diukur oleh BPN” sehingga luas tanah per orang bisa diketahui.
“Itu saja sekarang prosesnya. Kami sudah menghubungi PPK Pengadaan Lahan (merujuk Beni Malela). Dia bilang, ‘kami menunggu proses dari BPN,’” katanya.
“Sementara, BPN bilang sedang diproses. Pokoknya mereka saling lempar,” tambahnya.
Kepada Floresa, PPK Pengadaan Lahan dari BWS, Beni Malela mengklaim tahapan pengadaan tanah embung itu sudah dilakukan sesuai Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Ia berkata pihaknya langsung menyampaikan informasi terkait pengadaan tanah kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) NTT setelah Gubernur NTT menetapkan lokasi pembangunan embung.
Kanwil BPN NTT, kata dia, mendelegasikan BPN Manggarai Barat untuk melaksanakan pengadaan tanah.
“Kami bersama pemilik lahan melakukan pengukuran lahan meski dalam genangan air,” katanya pada 22 April.
Malela berkata, pihaknya telah memenuhi beberapa persyaratan yang diminta BPN termasuk foto cametrik — untuk pengukuran geometri objek, seperti pemetaan atau analisis struktur — dari pihak ketiga maupun dari Badan Riset dan Inovasi Nasional.
BPN juga “meminta kami untuk mengajak masyarakat (pemilik lahan) sama-sama melakukan pengukuran bidang.”
Lantaran sudah ada genangan air, katanya, “kami menggunakan metode kapal” dengan menyewa perahu karet milik Tim SAR.
“Kami lakukan (pengukuran) di dalam air dan BPN juga hadir dalam kegiatan itu,” katanya.
Malela berkata, usai pengukuran itu, “kami berharap BPN mengumumkan peta bidang.”
Jika peta bidang diumumkan dan telah melewati masa sanggah, “kami segera menunjuk Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk melakukan appraisal, yakni menilai tanah dan tanaman yang tumbuh di atasnya.”
Malela berkata, dalam prosesnya, BPN tak kunjung mengeluarkan peta bidang daftar nominatif.
Karena itu, kata dia, BWS yang didampingi Kejaksaan Tinggi NTT menyelenggarakan rapat koordinasi dengan Dirjen Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan Kementerian ATR/BPN, Embun Sari di Labuan Bajo.
Rapat itu menghasilkan kesepakatan bahwa “BPN segera menyerahkan dokumen terkait data-data pelaksanaan pengadaan tanah kepada BPKP untuk direviu dan ditindaklanjuti.”
Hasil reviu BPKP kemudian menyatakan “pembangunan Embung Anak Munting adalah proyek direktif presiden menjelang ASEAN Summit yang pelaksanaannya tidak bisa ditunda” sehingga “pelaksanaan konstruksinya ditunjuk langsung dari Jakarta.”
“Mereka (kontraktor pelaksana) datang ke sini langsung kerja. Pada saat mereka bekerja, kami baru melakukan pengadaan tanahnya secara simultan,” kata Malela.
“Jadi kami sama-sama kerja waktu itu, tidak ada yang ketinggalan,” tambahnya.

Namun, persoalannya, kata Malela, BPN menyatakan, “pengadaan tanah harus mendahului pembangunan embung” — sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Dengan adanya perbedaan prinsip itu, kata dia, BPN melalui Kanwil BPN memohon diskresi kepada Menteri ATR/BPN, Hadi Tjahjanto-senada dengan pengakuan Abas.
Lantaran tak kunjung keluar, Kementerian PUPR mengundang Dirjen Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan Kementerian ATR/BPN, Embun Sari untuk membahas surat diskresi itu pada Februari 2025.
Karena tak kunjung ada perubahan, maka Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi “mengadakan rapat dengan kami.”
Ia menambahkan Edistasius juga mengirim surat kepada Menteri ATR/BPN yang kini dijabat Nusron Wahid, meminta agar “surat itu segera keluar sehingga kami tindaklanjuti.”
“Namun, sampai saat ini, diskresi yang diharapkan belum dikeluarkan oleh Menteri ATR/BPN,” katanya.
Malela berkata, ketika Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono menerbitkan “Surat Edaran Menteri” — sebagai tindak lanjut direktif presiden tentang pembangunan Embung Anak Munting — harapannya Menteri ATR/BPN juga “mengeluarkan surat diskresi supaya nyambung.”
“Jangan hanya melimpahkan persoalan ini kepada Kementerian PUPR,” sementara “Menteri ATR/BPN tidak mengeluarkan diskresi.”
Ia berkata saat ini embung tersebut masih dalam masa pemeliharaan dan masih berstatus sebagai aset Kementerian PUPR. Kalau lahan warga sudah dibayar, maka “pengelolaan embung itu akan diserahkan ke pemerintah daerah.”
Ia tidak mempersoalkan penyegelan embung itu karena “memang lahan warga belum dibayar.”
Ia menambahkan berdasarkan data sementara, pemilik lahan berjumlah 15 orang, tetapi “hasil pendataan yang dilakukan oleh Satgas BPN belum diumumkan.”
“Saya pasang badan supaya diskresi ini cepat keluar, biar kami bisa menindaklanjutinya,” katanya.
“Saya juga beban. Embung sudah dibangun, tetapi kami masih harus memenuhi persyaratan-persyaratan dari undang-undang,” tambahnya.
Malela berkata, kesepakatan awal terkait harga lahan adalah “dalam rangka mendukung dokumen perencanaan,” namun, “itu bukan merupakan harga yang ditetapkan oleh penilai” — merujuk KJPP.
Dalam dokumen perencanaan, anggaran yang dibutuhkan untuk pengadaan tanah adalah Rp50 miliar.
“Kami akan membayar sesuai hasil penilaian dari KJPP. Kami belum sampai ke tahap untuk menetapkan berapa nilai yang pasti,” katanya.
BPN Tolak Buat Diskresi
Persoalan ini tampaknya masih belum menemukan titik temu karena BPN menyatakan tidak akan mengeluarkan diskresi, sebagaimana harapan BWS.
Floresa mendatangi BPN Manggarai Barat pada 8 April namun mereka meminta untuk menyediakan jawaban tertulis.
Dalam jawaban tertulis itu pada 24 April, BPN mengklaim telah melaksanakan tahapan pengadaan tanah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan peraturan turunannya.
Merujuk Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang tersebut, kata BPN, tahapan pengadaan tanah meliputi inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah; penilaian ganti kerugian; musyawarah penetapan ganti kerugian; pemberian ganti kerugian; dan pelepasan tanah instansi.
BPN mengklaim telah melaksanakan tahapan awal, yaitu kegiatan inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Tetapi, kata BPN, saat Panitia Pelaksana Pengadaan Tanah melaksanakan inventarisasi dan identifikasi, ternyata di lokasi telah dibangun embung yang meliputi penggenangan air, tanggul, dan bangunan penunjang lainnya.

Berdasarkan pengamatan di lokasi, kata BPN, pembangunan Embung Anak Munting sudah hampir rampung.
“Terhadap kondisi ini telah dilakukan langkah dengan pendampingan dari BPKP dengan hasil rekomendasi mengajukan diskresi ke Menteri ATR/BPN dan hasilnya tidak dikabulkan,” tulis BPN.
BPN mengklaim Kementerian ATR/BPN dan Kementerian PUPR telah menggelar rapat untuk mencari solusi atas persoalan “pengadaan tanah di lokasi yang terlanjur terkonstruksi.”
Rapat itu menghasilkan rekomendasi yakni membentuk tim terpadu yang terdiri dari Aparat Penegak Hukum, BPKP dan instansi terkait lainnya.
Rekomendasi lainnya adalah “melaksanakan mekanisme B to B (business to business) atau pengadaan tanah secara langsung.”
“Keputusan terhadap dua pilihan di atas diserahkan kepada instansi yang membutuhkan tanah (Kementerian PUPR),” tulis BPN.
Dulu Dirayu, Sekarang Harus “Mengemis”
Sengkarut ini hanyalah salah satu dari proyek warisan Jokowi di Labuan Bajo yang menyisakan soal dengan warga setempat.
Tak jauh dari Embung Anak Munting, hingga kini warga di Kampung Cumbi dan Nalis, yang juga bagian dari Desa Warloka, masih berjuang menuntut ganti rugi untuk rumah dan lahan yang digusur untuk untuk pembangunan jalan Labuan Bajo-Golo Mori.
Mereka telah menempuh berbagai cara untuk menuntut ganti rugi itu, termasuk mendatangi Kantor Staf Presiden di Jakarta pada September 2023.
Hingga kini, perjuangan mereka belum berhasil.
Haji Abas kecewa karena dulu mereka dirayu untuk menyerahkan lahan, sekarang harus mengemis.
Ia mengenang ketika pada 25 Juni 2022 sore saat hendak memberi makan sapi dan kerbau di lahannya yang kini jadi embung itu, ia menemukan lima buah mobil Kijang Innova sedang parkir.
Ia mencoba mencari pemiliknya dan menemukan seorang sopir yang sedang berbaring di samping salah satu mobil.
Bersamaan dengan itu, ia mendengar bunyi kamera drone terbang di udara.
Sopir itu memberitahunya bahwa itu adalah mobil dari Dinas PUPR Provinsi – merujuk pada BWS.
“Mereka bilang baru mau survei lokasi untuk pembangunan embung pariwisata.”
Ia sempat protes ketika itu karena “seharusnya beri tahu pemilik (lahan) dulu (kalau) mau survei.”
“Sopir itu mengklaim ‘ini nanti untuk menghidupkan orang di sini’. Sopir itu menyampaikan banyak propaganda.”
Abas berkata, beberapa menit kemudian, rombongan dari BWS yang didampingi Kepala Dusun Kenari, Muju Kaning menghampirinya.
Pegawai itu mengaku “mau survei lokasi dan hanya diperintah.”
Keesokan harinya, “mereka datang survei lagi ke lokasi itu” dan ia sudah tiba lebih dulu.
Saat rombongan dari BWS tiba, ia menghampiri PPK Perencanaan, Isac Mesak.
Isac, katanya, mengaku “kami diperintah oleh Menteri PUPR — merujuk Basuki Hadimuljono — untuk membangun embung” yang merupakan program strategis Presiden Joko Widodo untuk mendukung ASEAN Summit.”
Ia mengaku sempat memberitahu rombongan itu dengan menyatakan “ini adalah lokasi milik saya dan di sini ada kandang ternak.”
Ia juga menjelaskan kepada rombongan itu bahwa “lahan milik saya hanya berukuran 11×200 meter” dan “lokasi ini bukan hanya milik saya.”
“Kalau program ini mau berjalan, maka harus disetujui oleh semua pemilik lahan. Itu pun kalau tujuannya menguntungkan kami,” tambahnya.
“Malamnya mereka datang ke rumah saya. Semua pemilik lahan (kelompok batu) hadir semua untuk mendengar penjelasan mereka,” katanya.
Usai dinyatakan layak untuk dibangun embung, BWS menyelenggarakan musyawarah terkait harga lahan, yang kini belum terealisasi.

Salah satu pemilik lahan berkata “kalau bicara tentang embung, saya sedikit malu, ada rasa penyesalan dan bisa-bisa keluar air mata.”
“Awalnya mereka (BWS) baik sekali, bahkan bilang kalau embung ini jadi, anak bapak bisa kerja di sini,” katanya.
“Kalau tahu seperti ini, kami tidak kasih lahan ke mereka,” tambahnya.
Haji Abas yang mempunyai 25 ekor kerbau dan 15 ekor sapi berkata “sekarang ternak-ternak itu berkeliaran di jalan dan tidak terarah” karena “saya tidak bangun kandang lagi.”
Seekor sapinya yang melintasi jalan mati usai ditabrak mobil pikap.
“Tidak gampang kami relakan lahan yang sebelumnya jadi tempat untuk ternak. Kami hidup karena ternak,” katanya.
Laporan ini dikerjakan oleh Herry Kabut dan Doroteus Hartono
Editor: Ryan Dagur