Floresa.co – Para jurnalis yang berbasis di wilayah Flores dan Lembata menyatakan kecemasan terhadap kebebasan pers, merespons intimidasi yang menyasar media investigatif Tempo.
Mereka menyebut kasus itu sebagai ancaman terhadap kebebasan pers yang perlu disikapi secara serius.
Dua teror itu terjadi dalam waktu berdekatan. Pada 19 Maret, Tempo mendapat paket berisi kepala babi yang ditujukan kepada Cica, panggilan Francisca Christy Rosana, jurnalis pada desk politik sekaligus host siniar ‘Bocor Alus Politik.’
Pada 22 Maret, paket lain berisi bangkai tikus juga dikirim ke kantor Tempo.
Ven Darung, jurnalis berbasis di Labuan Bajo berkata, teror itu merupakan bentuk pelecehan terhadap kebebasan pers dan negara seharusnya hadir menyikapinya.
“Saya sangat berempati kepada Tempo,” kata jurnalis Bulat.id itu kepada Floresa pada 25 Maret.
“Kejadian ini menimbulkan kegelisahan di antara para pekerja pers,” tambahnya.
Patris Agat, jurnalis SuaraNusantara.com, yang berbasis di Ruteng berkata, teror itu merupakan ancaman terhadap demokrasi, di mana pers merupakan salah satu pilarnya.
Ia juga menyebut teror itu berpotensi membatasi karya jurnalis dalam menyampaikan informasi kepada publik secara kritis dan independen.
“Tindakan ancaman, kekerasan fisik, atau perilaku diskriminatif lainnya yang dialami oleh jurnalis di Indonesia mesti menjadi perhatian serius pemerintah,” kata Patris kepada Floresa pada 24 Maret.
Ia berkata, keselamatan jurnalis dan kebebasan pers telah dilindungi dan dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Undang-undang tersebut antara lain menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Ekorantt.com, Irenius Sagur berkata, kasus ini menambah deretan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis.
Merujuk pada laporan Aliansi Jurnalis Independen [AJI] Indonesia, telah terjadi 22 kasus teror dan kekerasan terhadap jurnalis pada tahun ini.
“Apa yang dialami oleh teman-teman di Tempo hari ini bukan tidak mungkin akan dialami oleh jurnalis yang lain,” kata Iren kepada Floresa pada 24 Maret.
Kasus serupa, kata dia, bisa jadi akan terjadi juga di Flores dan NTT.
Iren menyinggung kasus penyekapan dan penyiksaan Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut pada Oktober tahun lalu.
“Keselamatan jurnalis dan kebebasan pers yang semakin terancam harus menjadi masalah kita semua. Jurnalis yang tinggal di Flores-Lembata harus solid dalam melawan intimidasi,” katanya.
Ia menekankan bahwa tugas pers adalah “menegur kekuasaan yang sewenang-wenang.”
Senada dengan Iren, Dominikus Karangora, jurnalis Nttmediaexspres.com yang berbasis di Pulau Lembata berkata, teror terhadap Tempo menunjukkan hilangnya penghargaan terhadap jurnalis.
“Kita berharap kasus intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis tidak terjadi di Lembata,” kata Domi kepada Floresa pada 25 Maret.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut, mengkritisi tanggapan pemerintah terhadap kasus ini yang justru memperlihatkan lemahnya komitmen menjaga kebebasan pers.
Ia menyinggung pernyataan Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi yang menganggap teror itu sebagai lelucon, dengan berkata “kalau kepala babi, dimasak saja.”
Pernyataan tersebut, duganya, bukan merupakan sesuatu yang spontan, tetapi didesain “untuk mengolok-olok maupun mendelegitimasi jurnalis dan media yang kritis dan sungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan publik.”
Pernyataan itu, jelasnya, menunjukkan kepada publik bahwa “berharap pada pemerintah memang sia-sia” karena “gagal menjamin keamanan dan kebebasan warganya sendiri.”
“Melalui pernyataan itu, pemerintah seolah berkata bahwa ‘kami mendukung teror tersebut’ dan ‘kami berdiri di belakang peneror,’” tambahnya.
Kasus ini telah memicu kecaman dari Dewan Pers dan sejumlah organisasi pers dan advokasi.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu berkata, peristiwa ini merupakan teror yang diduga dilakukan oleh pihak yang terpojok, tapi tidak mau bertanggung jawab.
Seharusnya, kata dia, kalau keberatan dengan pemberitaan Tempo, bisa menggunakan cara-cara yang sudah diatur dalam regulasi soal pers.
“Mereka memiliki hak jawab. Gunakan hak jawab tersebut sebaik-baiknya,” kata Ninik, seperti dilansir Tempo.
“Situasi terkini menunjukkan adanya ancaman sistematis terhadap kemerdekaan pers,” katanya saat beraudiensi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 24 Maret.
“Menghadapi ini, negara harus memberikan perlindungan serta hak atas rasa aman terhadap jurnalis dan media dalam menjalankan tugasnya memberikan informasi untuk kepentingan publik,” tambah Erick.
Laporan ini dikerjakan oleh Adrian Naur dan Doroteus Hartono
Editor: Ryan Dagur