Floresa co – Dewan Pers dan sejumlah organisasi pers dan advokasi menyebut pengiriman paket kepala babi untuk jurnalis media investigatif Tempo pada 20 Maret merupakan teror dan ancaman serius terhadap kebebasan pers.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu berkata, tindakan tersebut merupakan teror yang diduga dilakukan oleh pihak yang terpojok, tapi tidak mau bertanggung jawab.
Seharusnya, kata dia, kalau keberatan dengan pemberitaan Tempo, bisa menggunakan cara-cara yang sudah diatur dalam regulasi soal pers.
“Mereka memiliki hak jawab. Gunakan hak jawab tersebut sebaik-baiknya,” kata Ninik, seperti dilansir Tempo.
Ninik menyebut hal ini sebagai tindak pidana sehingga menyarankan Tempo segera melapor kepada aparat keamanan.
“Dewan Pers meminta kepada pihak aparat keamanan agar segera mengusut tuntas sehingga hal serupa tidak terjadi lagi,” katanya.
Dalam siaran pers Tempo yang diterima Floresa, paket berisi kepala babi itu diterima oleh satpam pada 19 Maret sekitar pukul 16.15 WIB.
Tanpa identitas pengirim, paket itu ditujukan kepada ‘Cica,’ panggilan Francisca Christy Rosana, jurnalis pada desk politik.
Cica baru menerima paket itu pada 20 Maret pukul 15.00 WIB setelah kembali dari liputan bersama rekannya, Hussein Abri Yusuf Muda Dongoran.
Mendapat informasi soal paket itu, ia membawanya ke kantor.
Hussein yang pertama kali membuka paket dalam kotak kardus tersebut berkata, “bau busuk langsung tercium begitu mulai dibuka.”
“Saya langsung curiga karena ini jelas bukan paket biasa, apalagi tidak ada nama pengirimnya,” katanya.
Dugaannya terbukti karena usai dibuka, Hussein melihat isinya adalah kepala babi yang baunya semakin menyengat dan terlihat masih ada darahnya.
Ia bersama beberapa wartawan pun langsung membawa kotak kardus itu keluar gedung. Setelah dibuka seluruhnya, terpampang kepala babi, dengan kedua telinganya terpotong.
Cica dan Husein juga merupakan host ‘Bocor Alus’, program siniar Tempo yang telah menyabet setidaknya dua penghargaan jurnalistik, yaitu Oktovianus Pogau Award pada 2023 dari Yayasan Pantau dan Udin Award pada 2024 dari Aliansi Jurnalis Independen.
Hussein juga mendapat teror pada Agustus tahun lalu, di mana mobilnya dirusak oleh pelaku yang hingga kini belum terungkap.
Pemimpin Redaksi Tempo, Setri Yasra, mengecam kejadian ini dan menduga kuat bahwa paket tersebut merupakan bentuk intimidasi terhadap kerja jurnalistik.
“Kami mencurigai ini sebagai upaya teror,” padahal “kebebasan dalam bekerja di dunia jurnalistik tidak boleh mendapatkan teror.”
Kinerja wartawan, katanya, diatur di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang memberi perlindungan agar tidak boleh diintimidasi oleh alasan apapun.
Kecaman dari Lembaga Advokasi
Staf Advokasi Lembaga Bantuan Hukum, Mustafa Layong meminta pemerintah agar tidak mengabaikan kasus ini demi “memastikan hak pers memberitakan secara merdeka.”
“Tindakan ini sangat keji dan sangat terang sebagai bentuk ancaman,” katanya.
Sementara Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhamad Isnur menilai kasus ini sebagai ancaman nyata terhadap kebebasan pers di Indonesia.
“Ini semakin menunjukkan bahwa Indonesia bukan negara hukum yang demokratis, yang menjamin kebebasan pers,” katanya kepada Tempo.
Menurut Isnur, pemerintah dan aparat keamanan selama ini cenderung lamban dan tidak serius dalam menangani kasus kekerasan terhadap pers.
“Kami sudah sering melihat bagaimana kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis dibiarkan begitu saja, tanpa ada penyelesaian yang adil dan transparan,” katanya.
Ia juga menyebutkan bahwa dalam lima tahun terakhir, serangan terhadap jurnalis semakin brutal dan terjadi di berbagai tempat, ”seiring dengan kinerja pemerintah dan DPR yang semakin ugal-ugalan dan tirani dalam menyusun kebijakan.”
Ia pun menegaskan bahwa kasus ini harus dibawa ke ranah pengadilan agar pelaku dan dalangnya dapat diungkap.
“Semoga rekan-rekan Tempo dan seluruh insan pers di Indonesia terus diberikan kekuatan dan keteguhan untuk menjalankan tugas pers yang membuka dan membuat terang informasi kepada rakyat,” katanya.
”Cara-cara teror menebar ketakutan seperti itu hanya dilakukan oleh rezim yang otoriter,” kaya Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Dimas Bagus Arya.
Ia menjelaskan, teror terhadap jurnalis merupakan strategi lama yang terus digunakan untuk membungkam suara kritis.
“Ini bukan pertama kalinya jurnalis mengalami teror. Jika kita tidak melawan, ini akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia,” katanya.
Ia juga meminta kepolisian bertindak profesional dan transparan dalam mengusut kasus ini.
“Jangan sampai ada kesan bahwa aparat hanya bekerja setengah hati dalam menangani kasus yang menyangkut kebebasan pers,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Keadilan, Abdul Hamim Jauzie menyatakan, “kepala babi merupakan simbol yang sangat ofensif dan jelas ditujukan untuk mengintimidasi serta menakut-nakuti jurnalis Tempo dan pekerja jurnalistik lainnya.”
“Kebebasan pers adalah pilar demokrasi” katanya, dan ”jurnalis adalah mata dan telinga publik.”
“Jika mereka dibungkam dengan cara-cara teror seperti ini, maka rakyatlah yang dirugikan,” kata Abdul.
Dalam pernyataan yang diterima Floresa, Sikap Serikat Jurnalis untuk Keberagaman atau Sejuk juga menyebut “kebebasan pers adalah pilar penting dalam demokrasi yang sehat dan setiap upaya untuk mengancam atau menakut-nakuti media harus ditolak.”
Sejuka pun mengajak seluruh elemen masyarakat untuk “berdiri bersama dalam mendukung kebebasan pers dan menolak segala bentuk kekerasan serta intimidasi.”
“Solidaritas dan dukungan kita sangat penting untuk memastikan bahwa jurnalis dapat menjalankan tugas mereka tanpa rasa takut, demi menjaga transparansi, akuntabilitas, dan kebenaran informasi bagi publik.”
Tren Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis
Teror terhadap jurnalis Tempo ini terjadi di tengah fenomena kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia yang masih mengkhawatirkan.
Merujuk pada data Aliansi Jurnalis Independen, selama tahun terjadi 17 kasus. Pada tahun lalu, aliansi itu mencatat 74 kasus, menurun dari 101 kasus pada 2023, namun lebih tinggi dari 64 kasus pada 2022 dan 42 kasus pada 2021.

Salah satu kasus kekerasan tahun lalu dialami oleh Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut saat meliput aksi protes terhadap proyek geotermal oleh warga Poco Leok di Kabupaten Manggarai.
Anggota Polres Manggarai, Hendrikus Hanu, terbukti bersalah dalam sidang etik pada 24 Februari, namun hanya dijatuhi sanksi berupa “permintaan maaf.”
Sementara itu, riset yang diluncurkan baru-baru ini terkait Indeks Keselamatan Jurnalis pada 2024 meningkat sebesar 0,7 persen dari tahun sebelumnya menjadi 60,5. Indeks itu diluncurkan oleh Konsorsium Jurnalisme Aman – Yayasan Tifa, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara dan Human Rights Working Group – dalam kolaborasi dengan lembaga riset Populix.
Berbicara saat peluncurannya pada 21 Februari, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen berkata, kendati ada kenaikan, namun terjadi pergeseran kualitas kekerasan yang menuntut perhatian berbagai pihak, termasuk pemerintah.
Salah satu kasus yang ia soroti ialah kematian Rico Sempurna Pasaribu, jurnalis asal Kabupaten Karo, Sumatera Utara yang tewas terbakar pada Juli 2024.
Rico sebelumnya menulis berita soal usaha judi oleh sejumlah anggota TNI setempat. Komite Keselamatan Jurnalis menduga kematian Rico merupakan bagian dari pembunuhan berencana.
Arivin Dangkar berkolaborasi dengan Ryan Dagur dalam penulisan laporan ini
Editor: Ryan Dagur