Floresa.co – Kaum muda di Flores, NTT perlu membangun sikap kritis, memiliki empati dan terlibat dalam berbagai masalah sosial yang sedang terjadi agar pembangunan yang digalakkan pemerintah tidak mengabaikan dimensi hak asasi manusia dan keberlanjutan ekologi.
Hal tersebut menjadi poin yang disoroti enam pemantik dalam diskusi bertajuk “Masalah Sosial di Flores: Bagaimana Peran Kaum Muda?”
Berlangsung di Rumah Kopi Kebun Kota, Labuan Bajo pada 21 Mei, acara itu diinisiasi Forum Titik Temu Masyarakat Sipil Flores – kolaborasi Floresa, Sunspirit for Justice and Peace dan Rumah Baca Aksara (RBA).
Para pemantik diskusi adalah anggota kolektif RBA Arif Harmi Hidayatullah, pengajar SMAK St. Ignatius Loyola Labuan Bajo Karolus Wiryono Deon, peneliti Sunspirit for Justice and Peace Adriani Miming, anggota Puan Floresta Bicara Fransiska Juita.
Dua lainnya adalah Ketua DPC Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Manggarai Barat Aloysius Suhartim Karya dan pengajar SMA Lentera Harapan Labuan Bajo Angly Sae.

Diskusi dipandu Elisa Lehot dari Forum Titik Temu Masyarakat Sipil Flores.
Arif membagikan pengalaman RBA terlibat dalam advokasi warga Poco Leok di Kabupaten Manggarai yang tengah menentang proyek geotermal.
Salah satu hal konkret, kata Arif, adalah bekerja sama dengan Kawan Muda Poco Leok dalam produksi film dokumenter “Geothermal Sacrifice?” yang “mengangkat dokumentasi warga ketika mereka menghadapi berbagai ancaman proyek geotermal selama beberapa tahun terakhir.” Film itu ikut ditampilkan dalam acara ini.
“Kawan-kawan RBA mulai melakukan riset di Poco Leok pada 2023 menggunakan metode sama-sama makan, sama-sama tidur dan sama-sama bekerja,” kata Arif.
Dengan metode demikian, kata dia, film itu tidak lahir dari inisiatif RBA, tapi dari warga sendiri.
RBA, katanya, hanya mengemas hasil dokumentasi warga sendiri dalam film.
Produksi film itu, lanjut Arif, adalah bagian dari upaya menyebarluaskan semangat literasi kritis di kalangan kaum muda.
Ia memberi catatan bahwa “ketika literasi tidak didekatkan dengan rakyat, akan hilang marwahnya.”
Pendidikan Kritis di Sekolah
Pembicara kedua, Karolus Wiryono Deon membagikan metode pembelajaran kritis di SMAK St. Ignatius Loyola.
“Bagi saya pendidikan bukan gedung sekolah, tetapi proses belajar. Di manapun kita belajar, di situlah pendidikan itu ada,” kata guru yang disapa Carles itu.
Pandangan tersebut menginspirasinya ketika mendampingi kelompok teater yang sudah menampilkan karya seni kritis dalam beragam kegiatan.
Salah satunya fragmen berjudul Lonto Leok yang ditampilkan pada bagian akhir diskusi pada 21 Mei.
Fragmen itu lahir setelah proses belajar bersama dalam tim yang terdiri atas 15 siswa.

Bagi Carles, pendidikan kritis di sekolah dapat dilakukan dengan “melibatkan anak-anak dalam kondisi sosial yang nyata.”
“Tidak ada sekolah berkualitas, karena sekolah itu gedung. Yang berproses adalah manusia,” katanya.
Sementara Angly Sae dari SMA Lentera Harapan memaparkan pengalamannya mendampingi siswa dalam memproduksi buku-buku kumpulan puisi hingga cerpen dan esai.
Angly berkata, saat pertama kali tinggal di Labuan Bajo pada 2020, “media sosial hanya menampilkan keindahan” kota pariwisata super premium itu.
“Di dalamnya ternyata ada masalah besar” yang diketahui setelah melakukan pengamatan langsung di lapangan, membaca media-media kritis dan berdiskusi dengan para pegiat sosial.
Pengalaman hidup di Labuan Bajo, juga kolaborasi dengan berbagai elemen kritis, membuatnya terinspirasi membawakan pelajaran dengan metode kritis.
Angly mengkoordinasi siswa di setiap kelas untuk melakukan riset lapangan terkait isu pariwisata dan privatisasi pantai, deforestasi di Hutan Bowosie dan isu sosial lainnya yang hasilnya dituangkan dalam buku.
“Tidak semua hal kita temukan di sekolah,” katanya, menekankan bahwa peserta didik mesti turun ke lapangan untuk berempati.
Dari riset lapangan pada 2024, katanya, siswa mengumpulkan 67 esai, dan “itu artinya ada 67 masalah” yang perlu direspons secara kritis.
Aksi nyata dari riset tersebut, katanya, antara lain penanaman 1.100 pohon mangrove di Tanjung Boleng, sebelah utara Labuan Bajo dan penanaman 100 pohon bambu di Hutan Mbeliling.
Suara Perempuan
Adriani Miming dari Sunspirit for Justice and Peace menyoroti proyek-proyek pembangunan di Flores yang “arahnya ditentukan oleh kebijakan yang mengutamakan eksploitasi sumber daya alam.”
“Alih-alih menciptakan kesejahteraan, model pembangunan justru kontradiktif dengan situasi lapangan,” katanya.
Ia berkata, proyek-proyek pariwisata, infrastruktur skala besar dan energi – terutama geotermal – menggunakan pendekatan kekuasaan dominatif yang berakibat pada eksploitasi dan peminggiran warga adat.
“Model ini tidak memberdayakan dan memutus kemiskinan, tapi memperpanjang ketertinggalan,” katanya.
Karena itu, kata Adriani, kaum muda di Flores perlu menjalin kolaborasi untuk bersama-sama membangun gerakan kritis di tengah beragam masalah itu.
Sementara itu, Fransiska Juita dari Puan Floresta Bicara – organisasi yang fokus pada advokasi kesetaraan gender – melihat maraknya pelanggaran hak kaum perempuan dalam pembangunan di Flores.
“Proyek Strategis Nasional itu berdampak buruk bagi perempuan,” katanya mengangkat contoh kaum perempuan yang kini menentang proyek geotermal di Poco Leok.
Masalah-masalah tersebut, termasuk kekerasan seksual yang semakin marak, menjadi fokus agenda Puan Floresta Bicara yang aktif mengadakan diskusi publik dan pendampingan perempuan korban kekerasan.
“Perempuan adalah elemen strategis, tetapi sering dipandang tidak mampu karena kuatnya kultur patriarki,” terangnya.
Fransiska mengajak kaum perempuan lebih banyak terlibat mengorganisasi diri dalam kelompok-kelompok kritis.
“Perempuan punya energi, kreativitas dan semangat untuk memberikan ide mengatasi masalah di Flores. Perempuan harus berdaya, merdeka dan mandiri,” tegasnya.
Aloysius Suhartim Karya, Ketua HPI Manggarai Barat menyoroti minimnya dampak ekonomi pariwisata bagi warga setempat, baik di Labuan Bajo maupun Flores pada umumnya.
Ia berkata, “masyarakat sebagai tuan rumah harus jadi penyedia pariwisata, bukan penonton.”
Ia menegaskan, kawasan Labuan Bajo dan Flores memiliki kelebihan karena alam dan budayanya yang “indah dan eksotik.”
Salah satu soal yang diangkat Loys adalah “lalu lintas kepariwisataan yang tidak diatur dengan baik dan benar.”
Hal itu tampak dalam minimnya pendapatan 400 orang pemandu wisata atau guide yang terdaftar resmi dalam HPI, sementara pada 2024 “satu juta mobilitas in dan out turis di Bandara Komodo.”
Ia mencurigai maraknya praktik kepemanduan ilegal yang merugikan naturalist guide yang sebagian besar merupakan warga asli Flores.
Karena itu, kata dia, HPI kini tengah mendorong tata kelola yang lebih baik, sambil mengupayakan peningkatan pengetahuan dan skill pemandu wisata asal Flores.
Mengambil contoh kasus kenaikan tarif masuk TN Komodo pada 2022, Loys berkata, “kalau kita tidak bergerak, pariwisata mati.”

Diskusi di Rumah Kopi Kebun Kota berlangsung hingga pukul 21.20 wita. Pesertanya mencakup puluhan kaum muda, baik pelajar SMA, mahasiswa, jurnalis maupun pegiat sosial.
Editor: Ryan Dagur