ReportaseMendalamPenulis Opini yang Kritik Militer Diintimidasi Hingga Artikelnya Dicabut; Apa Kabar Demokrasi, Kebebasan Pers dan Kebebasan Sipil?

Penulis Opini yang Kritik Militer Diintimidasi Hingga Artikelnya Dicabut; Apa Kabar Demokrasi, Kebebasan Pers dan Kebebasan Sipil?

Dewan Pers dan sejumlah organisasi advokasi mendesak semua pihak menghormati dan menjaga ruang demokrasi serta melindungi suara kritis warga

Floresa.coTak lama setelah artikel opininya yang mengkritik militer terbit di media siber nasional Detik.com, seorang mahasiswa yang juga Aparatur Sipil Negara mengalami dua kejadian yang ia anggap sebagai bentuk intimidasi dan membahayakan keselamatannya.

Dalam peristiwa pada 22 Mei itu, ia mengaku diserempet dan didorong oleh orang tidak dikenal saat mengantar anaknya ke sekolah.

Siangnya, dua pelaku berbeda dengan motor berbeda kembali menyerempetnya hingga terjatuh.

Pelaku dalam dua insiden itu mengenalkan helm full-face, jenis helm yang menutupi seluruh bagian muka, kecuali mata.

Insiden itu membuat mahasiswa itu memutuskan mengontak Detik.com, meminta agar tulisannya yang berjudul “Jenderal di Jabatan Sipil, Bagaimana Merit ASN?” dihapus.

Namun, permintaan itu tidak dikabulkan, sebab prosedur penghapusan artikel opini memerlukan rekomendasi Dewan Pers.

Ia lalu melapor ke Dewan Pers, yang membuat sehari kemudian Detik.com menghapus tulisannya.

Semula, media itu menulis pada tautan artikel itu bahwa penghapusannya atas rekomendasi Dewan Pers dan demi keselamatan penulis. Pemberitahuan itu dibubuhi pesan lain: “harap maklum.”

Terkini, tautan tulisan ini diberi judul: “Tulisan Opini Ini Dicabut.” Detik.com mengklarifikasi bahwa penghapusan tulisan atas permintaan penulis, bukan atas rekomendasi Dewan Pers.

“Kami memohon maaf atas keteledoran ini. Sedangkan mengenai alasan keselamatan, itu berdasarkan penuturan penulis opini sendiri,” tulis Detik.com.

Tangkapan layar artikel di Detik.com yang sudah dicabut

Dalam sebuah pernyataan pada 24 Mei, Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat mengonfirmasi bahwa memang ada laporan dari penulis opini itu soal intimidasi karena artikelnya.

Namun, pihaknya belum memberikan rekomendasi, saran, ataupun permintaan kepada redaksi Detik.com untuk mencabut artikel.

“Saat ini [Dewan Pers] tengah melakukan verifikasi dan mempelajarinya,” kata Komaruddin.

Ia menilai penghapusan sebuah artikel opini atas permintaan penulis adalah hak yang perlu dihormati oleh redaksi.

“Sama seperti halnya permintaan pencabutan pendapat dari narasumber yang diwawancarai oleh sebuah media,” katanya. 

Dewan Pers, kata Komaruddin, juga menghormati kebijakan redaksi media, termasuk untuk melakukan koreksi atau pencabutan berita dalam rangka menjaga akurasi, keberimbangan, dan memenuhi kepatuhan pada Kode Etik Jurnalistik.

“Namun setiap pencabutan berita harus disertai dengan penjelasan yang transparan kepada publik agar tidak menimbulkan spekulasi serta tetap menjaga akuntabilitas media,” katanya.

Senada dengan Komarudin, Wisnu Prasetya Utomo, Dosen Komunikasi Universitas Gadjah Mada berkata, sesuai Pedoman Pemberitaan Media Siber dari Dewan Pers, media memiliki kewenangan untuk mengedit atau bahkan mencabut karya jurnalistik maupun opini yang diterbitkan.

Namun, katanya kepada Floresa, “dasar pencabutan ini harus dijelaskan secara transparan.” 

Hal itu, kata Wisnu, tidak tampak dalam kasus pencabutan artikel opini di Detik.com.

“Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi?” katanya.

Artikel opini itu yang salinannya kini tersebar luas via aplikasi percakapan WhatsApp dan diperoleh Floresa mengkritisi langkah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengangkat Letnan Jenderal TNI Djaka Budhi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah melantik Djaka pada 23 Mei.

Penulis opini mempertanyakan kualifikasi Djaka untuk mengisi jabatan itu yang tidak selaras dengan sistem merit dalam birokrasi. 

“Birokrasi yang sehat harus menghargai proses, bukan hanya hasil. Kita tentu menghormati profesionalisme militer, tapi jabatan sipil harus tetap tunduk pada prinsip-prinsip sipil — terutama soal transparansi, akuntabilitas, dan kesetaraan akses,” tulisnya.

Ancaman terhadap Demokrasi dan Kebebasan Sipil

Kasus ini telah memicu kekhawatiran terhadap tergerusnya demokrasi, kebebasan pers dan kebebasan sipil di Indonesia di era pemerintahan Prabowo, yang merupakan eks jenderal.

Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat pun mendesak semua pihak menghormati dan menjaga ruang demokrasi dan melindungi suara kritis warga.

Ia juga mengingatkan pentingnya menghargai dan menghormati ruang berekspresi dan berpendapat terhadap kebijakan penyelenggaraan negara.

“Dewan Pers juga mengimbau kepada semua pihak untuk menghindari penggunaan kekerasan serta tindakan main hakim sendiri,” katanya. 

Sementara itu, sejumlah organisasi advokasi dan pers yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengingatkan bahwa kritik merupakan bagian sah dari partisipasi publik yang dilindungi oleh konstitusi.

“Tindakan kekerasan terhadap warga sipil hanya karena menyampaikan kritik adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi,” kata koalisi dalam pernyataan pada 24 Mei.

Koalisi juga menyatakan, teror terhadap penulis opini itu bukanlah kejadian tunggal, melainkan bagian dari pola kekerasan berulang yang muncul sejak gelombang penolakan terhadap revisi Undang-Undang TNI bergulir.

Dalam dua bulan terakhir, kata koalisi, telah terjadi sejumlah insiden teror berupa pengintaian, intimidasi, serta serangan fisik dan digital terhadap masyarakat sipil saat menyampaikan pandangan kritis terhadap keterlibatan TNI dalam urusan sipil. 

Sejumlah teror itu termasuk intimidasi terhadap diskusi mahasiswa berkaitan dengan penolakan RUU TNI di Universitas Udayana, UIN Wali Songo, Universitas Indonesia dan pengiriman kepala babi dan bangkai tikus yang ditujukan kepada para jurnalis Tempo.

Koalisi memandang, tindakan pembiaran terhadap pola kekerasan—tanpa penyelidikan menyeluruh, akuntabilitas, dan pemulihan korban—“adalah bentuk pengabaian tanggung jawab konstitusional oleh pemerintah dan aparat penegak hukum.”

Padahal, kata koalisi, masyarakat sipil sedang menyatakan kekhawatiran terhadap rencana atau kebijakan yang membuka ruang kembalinya praktik dwifungsi militer seperti pada era Orde Baru. 

Karena itu, kritik terhadap hal tersebut, “bukanlah ancaman, melainkan alarm demokrasi yang wajib didengar dan ditanggapi secara substantif, bukan dibungkam melalui kekerasan.”

Sementara menurut Wisnu Prasetyo, kasus ini menunjukkan bahwa kebebasan berbicara dan berpendapat di Indonesia sedang dalam ancaman serius. 

Kasus ini, kata dia, “menunjukkan bahwa kondisi demokrasi di Indonesia semakin memburuk.” 

Ketua AJI Indonesia Nany Afrida juga sepakat bahwa kasus ini menjadi semacam penegasan bahwa ancaman pada kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di Indonesia nyata adanya. 

Kasus ini “merupakan bentuk nyata pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi dan UU Pers No 40/1999.” 

Nany berkata, teror terhadap penulis opini bukan hanya serangan terhadap individu dalam hal berekspresi, tetapi juga ancaman terhadap kebebasan pers, hak publik atas informasi dan pilar-pilar demokrasi yang sehat.

“Pola ini menunjukkan adanya upaya sistematis untuk menciptakan efek gentar (chilling effect) agar masyarakat takut menyampaikan pendapat dan media enggan membuka ruang bagi suara-suara kritis,” kata Nany.

Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung menambahkan, teror dan intimidasi adalah pola-pola represi seperti era Orde Baru dalam membungkam suara kritis masyarakat. 

Ia berkata, tindakan tersebut tak bisa dibenarkan dan negara harus bertanggung jawab.  

Bagaimana Seharusnya Media dan Negara Merespons?

Sementara kepada media, khususnya Detik.com, AJI mendorong untuk mengambil sikap tegas dalam melindungi penulis opini itu, dengan melaporkan secara resmi kepada kepolisian dan menyediakan dukungan hukum dan keamanan.

AJI juga meminta Dewan Pers agar mengingatkan media massa tentang pentingnya melindungi narasumber sebagai bagian dari perlindungan terhadap kebebasan pers. 

Menurut Wisnu Prasetya Utomo, memang agak sulit meminta media bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan narasumber, termasuk penulis opini. 

Namun, kata dia, idealnya media bisa melakukan langkah-langkah preventif seperti analisis risiko oleh redaksi atau editor sebelum liputan atau artikel opini diterbitkan. 

Menerbitkan lalu mencabut berita atau artikel opini dan menimpakan tanggung jawab hanya pada penulis, kata dia, “merupakan tindakan yang tidak tepat.”

Demi menghindari pengulangan kasus serupa, AJI mendesak sejumlah lembaga negara agar memberi perhatian serius pada kasus ini.

Kepada Komnas HAM, organisasi itu meminta melakukan investigasi dan memberi pelindungan pada penulis opini.

Sementara kepada Kapolri, AJI mendesak untuk bertindak cepat dan serius mengusutnya.

“Pembiaran terhadap teror semacam ini akan menciptakan preseden buruk yang mengancam kebebasan sipil kita bersama,” kata AJI.

Organisasi itu juga ikut menuntut Presiden Prabowo “menegaskan komitmennya pada demokrasi, serta menghentikan dan menarik kembali tentara yang menduduki jabatan sipil.”

“AJI mengajak seluruh media, organisasi jurnalis, masyarakat sipil, dan publik luas untuk bersolidaritas melawan segala bentuk teror dan upaya pembungkaman. Suara-suara kritis adalah oksigen bagi demokrasi,” kata AJI.

Ketika satu suara dibungkam, “maka yang terancam bukan hanya orang itu, tetapi kita semua.”

Wisnu Prasetya Utomo yang kini menempuh studi doktoral di University of Sheffield, Inggris sepakat bahwa kasus ini mesti ditindaklanjuti dengan serius.

Ia berkata, pembiaran dan impunitas terhadap pelaku akan membuat kasus semacam ini terjadi terus dan melahirkan “spiral ketakutan.”

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA