Floresa.co – Berbagai bentuk Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dimulai sejak era Presiden Joko Widodo dan kini dilanjutkan Prabowo Subianto merupakan cara negara mengkooptasi kewenangan desa sekaligus upaya merampas ruang hidup rakyat.
Karena itu, menurut para akademisi dan peneliti yang berbicara dalam diskusi baru-baru ini, masyarakat dan pemerintah desa mesti menyiapkan berbagai strategi agar mampu melawan hal ini, termasuk memproduksi wacana kontra hegemoni.
PSN merujuk pada proyek-proyek infrastruktur yang dianggap strategis dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, kesejahteraan masyarakat dan pembangunan di daerah.
PSN diatur melalui Peraturan Presiden, sementara pelaksanaan proyeknya dilakukan secara langsung oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan/atau badan usaha serta Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU).
Prabowo telah menetapkan 77 PSN melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) Tahun 2025-2029 yang ditandatangani pada 10 Februari 2025.
Penetapan 77 PSN tersebut diklaim sebagai langkah konkret pemerintah untuk mendukung dan memastikan pelaksanaan kegiatan prioritas utama yang tercantum dalam RPJMN 2025-2029.
Meskipun demikian, status PSN yang ditetapkan oleh Prabowo masih didominasi pengambilalihan PSN era Jokowi yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020.
Sementara, PSN yang statusnya baru sebanyak 29, termasuk Program Makan Bergizi Gratis.
PSN itu menyebar di seluruh Indonesia, sebagiannya di NTT.
PSN Menjarah Desa
Berbicara dalam diskusi bertajuk “Di Balik Proyek Strategis Nasional, Desa Bisa Apa?” di Yogyakarta pada 19 Mei, Yonathan H.L. Lopo, dosen Universitas Nusa Cendana Kupang berkata, PSN lahir dari upaya menjawab diskursus global seperti krisis pangan, renewable energy (energi baru dan terbarukan) dan climate change (perubahan iklim).
Pemerintah, katanya, memanfaatkan diskursus-diskursus tersebut melegitimasi berbagai PSN yang berlokasi di desa.
“Celakanya, semua kebijakan itu tidak pernah melibatkan desa, tetapi desa dipaksa tunduk atas nama pembangunan,” katanya saat diskusi di Ruang M. Soetopo, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa ‘APMD’ (STPMD APMD) Yogyakarta itu.
Diinisiasi Dewan Pengurus Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPK GMNI) STPMD APMD, diskusi tersebut juga menghadirkan Titok Hariyanto, Direktur Atmawidya Alterasi Indonesia, lembaga berbasis di Yogyakarta yang salah satu fokus kajiannya adalah tentang pembangunan desa.
Menurut Yon, PSN merupakan salah satu medium penetrasi kapitalisme global yang biasanya menggunakan dua cara, yakni mengkooptasi rezim dan mengakali regulasi agar memungkinkan masuknya investasi.
“Kalau investasi masuk, pola umumnya menciptakan konflik, warga harus dibuat pro dan kontra,” katanya.

Yon mencontohkan PSN di NTT yang dijalankan untuk menjawab rencana pembangunan strategis pemerintah yakni Bali dan Nusa Tenggara sebagai gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional.
Beberapa di antaranya adalah PSN di sektor pariwisata seperti di Labuan Bajo, hutan energi berbasis masyarakat di Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan; industri garam di Kabupaten Malaka dan Kabupaten Kupang dan food estate di Kabupaten Sumba Tengah.
Berbagai PSN yang masuk di desa itu, kata dia, memicu masalah perampasan ruang hidup (space of life) tanah (land dispossession).
Tanah-tanah warga yang “belum atau tidak punya sertifikat” rentan sekali dirampas demi pembangunan atau kepentingan investor.
Ia juga menyinggung soal pemerintah yang kerap membenturkan logika “konservasi dan produktivitas” serta “pembangunan pariwisata berbasis investasi dan pembangunan pariwisata berbasis komunitas.”
Ia menyebut lembaga seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan media Floresa yang memegang teguh ide konservasi seringkali berhadapan dengan wacana produktivitas yang diproduksi negara.
Wacana ini mengklaim pemanfaatan sumber daya alam adalah untuk kepentingan banyak orang ada trickle down effect bagi masyarakat setempat.
“Namun ujung-ujungnya pembangunan tersebut untuk kepentingan privat, bukan untuk kepentingan rakyat,” katanya.
Ia juga berkata, berbagai PSN ini “telah melahirkan pembelahan di antara masyarakat yang pada gilirannya mempengaruhi kontrol publik.”
Yon menambahkan, beberapa di antara PSN itu mudah sekali masuk ke NTT karena “suasana desa dan kultur ketimuran yang tidak punya kebiasaan melawan otoritas,” kecuali difasilitasi organisasi masyarakat sipil.
Di NTT, kata dia, budaya sopan santun sangat kental, hal yang membuat masyarakat agak susah melawan struktur hierarki yang lebih tinggi.
Apalagi, PSN seringkali hadir dengan memboncengi tokoh-tokoh agama, yang ketika mereka mengucapkan sesuatu, dianggap susah untuk dilawan.
“Dalam beberapa kasus, kehadiran PSN dilegitimasi oleh keberadaan aktor-aktor tersebut,” katanya.
Desa yang Makin Terkooptasi
Sementara itu Titok Hariyanto, Direktur Atmawidya Alterasi Indonesia berkata, PSN yang penetapannya hanya oleh pemerintah pusat merupakan upaya untuk mematikan desa sehingga semakin tereksploitasi dan bergantung pada negara.
Padahal, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) mengandung lima spirit, yakni demokratisasi, pengakomodasian jenis desa yang beragam, memberikan kewenangan berdasarkan rekognisi dan subsidiaritas, perencanaan yang terintegrasi dan konsolidasi keuangan serta aset desa.
Secara substantif, kata dia, UU Desa telah mengatur kedudukan desa yang bukan lagi secara vertikal berada di bawah pemerintah daerah.
Desa, katanya, merupakan gabungan antara self governing community (masyarakat yang berpemerintahan sendiri) dengan local-self government (pemerintahan yang berasal dari masyarakat).
Namun, pemerintah supra desa “tidak memiliki suatu keinginan dan tekad untuk menjadikan desa lebih kuat, berdaya dan mandiri.”
“Pemerintah supradesa selalu berupaya mengkooptasi dan membuat desa tergantung kepada negara,” katanya.

Titok berkata, beberapa peraturan turunan dari UU Desa justru mendistorsi pemahaman asas rekognisi dan subsidiaritas terhadap desa. Kedua asas itu masing-masing terkait pengakuan keberadaan desa secara historis dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di dalamnya serta distribusi kewenangan lokal berskala desa.
“Akibatnya, pemerintahan supradesa masih mendominasi kehidupan desa. Pemerintah supradesa masih mengendalikan dan mengontrol desa melalui kebijakan, peraturan dan perannya yang otoritatif,” kata Titok.
Selain soal PSN, ia menyoroti kebijakan baru pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang membentuk Koperasi Desa Merah Putih.
Alih-alih demi memperkuat desa, kata dia, koperasi itu adalah desain pelembagaan ekonomi untuk menghimpun modal demi kompetisi pada pemilu 2029.
Bagi Titok, koperasi tidak bisa dibuat pemerintah pusat karena bertentangan dengan prinsipnya yaitu dari inisiatif rakyat.
Ia menyoroti kegagalan Koperasi Unit Desa (KUD) pada era Orde Baru karena dananya digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan organisasi masyarakat milik rezim.
KUD juga hanya menjadi ‘sapi perahan’ politisi lokal yang menjadi pengurus.
Karena itu, ia mewanti-wanti, Koperasi Desa Merah Putih sebagai program yang dapat menjerat kepala desa bila dalam pelaksanaanya tidak sesuai dengan prosedur, misalnya musyawarah anggota.
“Yang paling getol menyuarakan ide itu adalah Menteri Koperasi — merujuk Budi Arie Setiadi. Kita dapat melacak dia dekat dengan siapa,” katanya.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Berhadapan dengan masalah-masalah ini, baik Titok Hariyanto maupun Yon Lopo menekankan pentingnya upaya penguatan desa.
Titok berkata, “selama ini kita terlalu sering berbicara demokrasi, tetapi yang absen untuk didiskusikan adalah soal republikanisme” sebagai prinsip yang menekankan bahwa rakyat adalah sebagai pemilik sah kedaulatan tertinggi.
Karena, masyarakat tidak dilibatkan untuk mengkritik dan menyampaikan usulan agar desain program yang dijalankan pemerintah pusat, seperti PSN, bermanfaat dalam rangka mewujudkan res publica (kepentingan publik).
“Kebanyakan program dari pusat yang dijalankan di desa kental dengan dimensi privat (res privata) ketimbang res publica. Ini persoalan serius,” katanya.
Ia berkata, kebijakan yang dibuat pemerintah seringkali dibuat tanpa menjadikan kebajikan sebagai spirit republik dan pegangan utama.
Tanpa kebajikan, kebijakan dibuat tidak melalui proses dialog sehingga tidak bermanfaat bagi publik, malah menimbulkan dominasi satu kelompok terhadap kelompok yang lain.
Ia menyatakan, saatnya “kita harus menjadi warga negara,” yakni orang yang bertindak dan berani melawan segala ketidakadilan dan ketimpangan struktural.
Ketika tidak mendapatkan hak, kata dia, warga negara punya keberanian dan kebebasan untuk berekspresi dalam rangka “menghidupkan roh republikanisme dan pembentukan demokrasi di Indonesia.”
Ia menegaskan warga negara hanya mungkin lahir dan tumbuh dalam ruang publik karena “di situ setiap orang berhak mengemukakan pendapat dan berdialog untuk menemukan kebajikan dalam pembuatan kebijakan.”
“Desa adalah ‘republik kecil’ karena di sana kebajikan-kebajikan selalu tumbuh,” katanya.
Sementara menurut Yon Lopo, ada tiga rute yang bisa ditempuh desa di tengah kepungan hegemoni PSN.
Salah satunya rute akademik, yaitu dengan melampaui dikotomi desa versus negara serta memahami republikanisme dan membaca demokrasi lokal melampaui tradisi elektoralisme.
Ia berkata, rute gerakan sosial atau advokasi juga sangat penting untuk melakukan konsolidasi gerakan elemen-elemen masyarakat sipil melampaui sekat-sekat identitas.
“Persoalan sawit di Kalimantan bukan hanya persoalan orang Kalimantan. Persoalan geotermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai tidak bisa diblokade hanya menjadi persoalan orang Manggarai,” katanya.
“Harus ada solidaritas kolektif lintas daerah dan disiplin ilmu yang perlu dibangun,” tambahnya.

Yon juga menawarkan rute politik, kendati “ini penting untuk dikawal.”
“Kita sering menggerutu, banyak orang yang sebelumnya membela desa dan kepentingan publik, tapi setelah masuk ke dalam sistem, justru menjadi bagian dari orang-orang yang menghegemoni, menenggelamkan dan membuat desa menjadi tidak berdaya.”
“Kita tidak punya opsi banyak selain merebut ruang-ruang yang mungkin dan bisa dipakai untuk membuat kemenangan-kemenangan kecil,” katanya.
Yon mengaku pernah membantu beberapa desa di Kabupaten Kupang menyusun peraturan desa tentang kewenangan lokal berskala desa.
Langkah tersebut merupakan bagian dari penyadaran terhadap masyarakat dan pemerintah desa karena sebelumnya “mereka belum menganggap peraturan ini sebagai sesuatu yang penting.”
Peraturan tersebut merupakan basis bagi mereka untuk bernegosiasi dengan pemerintah kabupaten terkait kebijakan tertentu.
“Karena itu tidak dianggap penting, pemerintah desa memosisikan diri seakan-akan sebagai perangkat dan menjadi pesuruh bupati dan itu dilakukan dengan penuh kesadaran,” jelasnya.
Yon menegaskan negara hanya to give power (memberi kuasa) berupa kewenangan dan dana desa kepada desa melalui UU, tetapi absen to give ability, yakni memberdayakan dan memampukan desa.
“Itu tugas kita untuk mengisi ruang kosong tersebut, supaya desa mampu bernegosiasi di hadapan lembaga supradesa dan di hadapan proyek-proyek pemerintah pusat,” katanya.
Yon juga berkata, isu desa sangat penting untuk dikawinkan dengan wacana lain — seperti lingkungan dan konservasi — sebagai bagian dari upaya kontra hegemoni.
Isu tentang kemiskinan di desa dan ketimpangan akses terhadap barang-barang publik, kata dia, harus dikawinkan dengan “sejauh mana pemerintah mampu melindungi dan mendistribusikan sumber daya kepada warga.”
Selain itu, “kadang mitos perlu diciptakan” sebagai strategi perlawanan terhadap hegemoni proyek-proyek negara yang membuat desa semakin tidak berdaya.
Ia mencontohkan mitologi atau wacana kosmologi Ata Modo — komunitas warga adat yang mendiami Pulau Komodo — bahwa komodo adalah saudara kembar mereka.
Menurutnya, wacana seperti ini penting untuk menjunjung tinggi kesetaraan dengan makhluk hidup lain sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan di alam semesta.
“Kita tidak bisa membedakan human (manusia) dan non human (bukan manusia). Itu terminologi-terminologi yang bias barat,” katanya.
Wacana semacam itu, jelasnya, bisa dipakai ketika sebuah hutan yang dikonversi menjadi lahan produksi atau spot wisata dan tidak memikirkan flora dan fauna. Padahal, mereka juga punya hak atas ruang hidup.
“Cara berpikir itu membantu kita untuk tidak semena-mena memperlakukan sumber daya di sekitar kita,” katanya.
Vansianus Masir merupakan Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD ‘APMD’ Yogyakarta
Editor: Herry Kabut