Kritik Rencana Prabowo Bentuk Kopdes Merah Putih, Akademisi Anggap Upaya Pelemahan Kedaulatan yang Bertentangan dengan UU Desa

Melalui koperasi ini, negara menempatkan desa hanya sebagai objek dan lokasi proyek, kata akademisi

Floresa.co – Akademisi menilai rencana Pemerintahan Prabowo Subianto membentuk Koperasi Desa [Kopdes] Merah-Putih yang akan diluncurkan pada Juli mendatang sebagai cara negara melemahkan kewenangan desa dan yang bertentangan dengan spirit UU Desa.

Menurut Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa [STPMD] ‘APMD’ Yogyakarta, Sutoro Eko Yunanto, rencana tersebut bukan saja bertentangan dengan spirit kemandirian desa yang termaktub dalam UU Desa, tetapi juga bertentangan dengan spirit koperasi itu sendiri.

Ia memberi catatan bahwa koperasi bukanlah negara, melainkan sebagai kolektivitas rakyat [people] yang bebas dan merdeka, lalu membentuk masyarakat [society] karena memiliki kepentingan dan tujuan yang sama. 

Koperasi, kata dia, memiliki alas sosial yang tidak dimiliki negara seperti swadaya, edukasi dan solidaritas. 

Koperasi merupakan “katup pengaman bagi rakyat ketika negara tidak hadir.”

“Kalau Anda bicara koperasi, tidak perlu menyeret desa. Kalau Anda bicara desa, maka tidak perlu mengoplosnya dengan koperasi,” katanya. 

Sutoro Eko Yunanto, Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) ‘APMD’ Yogyakarta. (Dokumentasi Vansianus Masir)

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan rencana pembentukan Kopdes tersebut dalam rapat terbatas dengan sejumlah menteri di Istana Merdeka, Jakarta pada 7 Maret. 

Prabowo mengklaim akan membentuk 70 ribu unit Kopdes di seluruh desa di Indonesia dengan anggaran Rp350 triliun yang bersumber dari Dana Desa.

Masing-masing desa diperkirakan mengeluarkan anggaran Rp3 sampai Rp5 miliar per tahun untuk pembangunan gedung, kantor koperasi, klinik dan apotek desa, tempat penyimpanan hingga pengadaan truk dan kebutuhan logistik. 

Kopdes juga diklaim akan didukung oleh dana dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Himpunan Bank Milik Negara melalui skema cicilan tiga sampai lima tahun.

Selain itu, biaya Kopdes berasal dari 30 persen Anggaran Pendapatan Belanja Desa yang digunakan untuk mendukung program pemerintah pusat dan Kementerian Keuangan. 

Pembentukan Kopdes akan dilaksanakan melalui tiga model, yakni pembentukan koperasi baru, merevitalisasi koperasi yang sudah ada dan membangun serta mengembangkan koperasi baru.

Pembentukan Kopdes diharapkan memperkuat perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Ia berkata, peluncuran Kopdes akan dilakukan pada 12 Juli, bertepatan dengan Hari Koperasi Indonesia. 

Putra Perdana, dosen Program Studi [Prodi] Ilmu Pemerintahan STPMD ‘APMD’ memberi catatan pada rencana ini.

Kopdes, katanya, tidak akan menciptakan ekonomi desa yang kuat, hanya akan menjadi “proyek ekonomi ala teknokrat yang anti dan tidak berpihak pada desa.”

Ia berkaca dari pengalaman pembentukan Koperasi Unit Desa [KUD] pada masa Orde Baru maupun Badan Usaha Milik Desa [BUMDes] yang dibentuk sejak munculnya UU Desa.

Baik KUD maupun BUMDes kerdil karena “negara lebih memilih campur tangan, ketimbang turun tangan.” 

Putra berkata, rencana pembentukan Kopdes merupakan perwujudan “cara pandang negara yang melihat desa sebagai objek dan lokasi proyek yang kemudian diberikan label-label tanpa makna.” 

Selama ini, kata dia, pemerintah desa dipaksa menjadi pegawai kantor dan sibuk mengurus administrasi serta melayani kepentingan teknokrat yang mempunyai proyek yang masuk dan menindas desa. 

“Ketika tidak melayani kepentingan negara, pemerintah desa akan diancam, diintervensi, diintimidasi, dibatasi aksesnya serta diberikan label macam-macam seperti dianggap tidak mampu, SDM rendah, sarang koruptor, primitif, dan tidak melek teknologi,” katanya. 

“Karena dipaksa melayani ambisi negara, pemerintah desa sering kali mengabaikan dan tidak melayani kepentingan masyarakat. Hal itu membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah desa,” tambahnya. 

Putra berkata, pada dasarnya, pemerintah desa memiliki peran dan fungsi untuk melayani masyarakat. 

Desa, kata dia, adalah pemerintahan masyarakat, yaitu campuran antara masyarakat yang berpemerintahan sendiri [self governing community] dan pemerintahan yang berasal dari masyarakat [local self government]. 

Dalam konteks ini, desa bukan lagi sebagai organisasi pemerintahan yang kedudukannya berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota [local state government] yang tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat. 

Hal tersebut, kata dia, merupakan konsekuensi dari asas rekognisi dan subsidiaritas yang terkandung dalam UU Desa.

Asas rekognisi adalah pengakuan akan hak asal-usul di mana negara tidak hanya mengakui keberadaan desa secara historis, tetapi juga mengakui nilai-nilai kearifan lokal yang ada di dalamnya. Sementara itu, asas subsidiaritas berkaitan dengan distribusi kewenangan lokal berskala desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk kepentingan masyarakat setempat. 

“Kedua asas ini sudah sangat jelas menyatakan pemerintah desa memiliki kewenangan mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri berdasarkan kepentingan dan prakarsa masyarakat setempat,” katanya. 

“Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak bisa melimpahkan tanggung jawabnya ke desa, menekan dan menambah beban pemerintah desa,” tambahnya. 

Putra berkata, pemerintah desa “hanya mengurus urusan desa serta membantu negara dan pemerintah daerah sebagai jembatan penghubung kepada warga.” 

Karena itu, dana pembentukan koperasi “jangan dibebankan kepada desa, melainkan dari pemerintah daerah atau negara sendiri sesuai keperluannya.”

“Dana desa merupakan uang rakyat yang dikelola negara. Jadi, bukan uang negara seperti yang disampaikan kaum teknokrat untuk membahasakan uang rakyat,” katanya. 

Putra menegaskan dana desa merupakan “hak desa yang wajib dipenuhi negara” sebagai konsekuensi asas rekognisi dan asas subsidiaritas, “bukan untuk mendanai proyek titipan yang masuk ke desa.” 

Bertentangan dengan Spirit Koperasi

Sementara itu, Gregorius Sahdan, Ketua Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD ‘APMD’ menilai gagasan tentang Kopdes bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar koperasi sendiri. 

Koperasi, kata dia, adalah wadah ekonomi yang didirikan oleh anggota dengan prinsipnya “dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota,” bukan “dari negara, oleh negara dan untuk negara.” 

“Jika gerakannya berasal dari negara, maka tidak tepat bila disebut koperasi. Karena koperasi itu merupakan gerakan ekonomi rakyat, bukan gerakan ekonomi negara,” katanya. 

Gregorius Sahdan, Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan di STPMD “APMD” Yogyakarta. (Dokumentasi pribadi)

Sementara itu, Syarief Aryfaid, Direktur Lembaga Strategi Nasional — lembaga berbasis di Yogyakarta yang konsen dengan penelitian dan pemberdayaan desa — menilai rencana pembentukan Kopdes bukan berbasis pada aspirasi dan kehendak masyarakat desa, melainkan demi kepentingan korporasi. 

Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, kata dia, asas koperasi adalah “kekeluargaan dan gotong royong.”

Artinya, keputusan diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat di mana anggota memiliki hak dan kewajiban yang sama dan keuntungan dibagi secara adil sesuai partisipasi mereka.

Sementara prinsip dasar koperasi, kata dia, di antaranya keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, tidak ada paksaan dan semua orang yang memenuhi syarat bisa bergabung. 

“Menurut UU Koperasi, prinsip dasar yang paling penting dalam pengelolaan koperasi adalah harus dilakukan secara demokratis, di mana setiap anggota memiliki hak suara yang sama dan tidak ditentukan berdasarkan besar modal yang disetor,” kata Syarif yang merupakan alumnus STPMD “APMD.” 

Ia berkata, koperasi menerapkan prinsip partisipasi ekonomi di mana setiap anggota berkontribusi dalam penyertaan modal dan mendapat manfaat dari koperasi.

Koperasi, kata dia, juga menganut prinsip otonomi dan kemandirian di mana tidak bergantung kepada pihak eksternal dan “di sana ada kesadaran kolektif.” 

Karena itu, upaya pemerintah “meng-koperasikan dana desa” merupakan “langkah mensubstitusi dan mensubordinasi kewenangan desa dan hak masyarakat.” 

“Kopdes ini proyek elit yang akan menciptakan pemburu rente dan klien baru dalam sistem ekonomi-politik yang sangat bertentangan dengan asas dan prinsip dasar koperasi,” katanya. 

Bertentangan dengan UU Desa

Syarif menilai pembentukan Kopdes tidak berbasis pada “semangat membangun dan memperkuat desa.” 

Sebaliknya, Kopdes merupakan “model penaklukan baru” untuk mengonsolidasi masyarakat desa dalam satu peta jalan hierarki kekuasaan.

Berdasarkan kajian lembaganya, “meng-koperasikan dana desa” bertentangan dengan semangat UU Desa dan BUMDes.

BUMDes, katanya, merupakan lembaga utama dalam pengelolaan ekonomi desa, termasuk pengelolaan dana desa untuk usaha produktif. 

“Jika koperasi ini beroperasi secara terpisah dari BUMDes, maka akan menciptakan duplikasi peran dan konflik kepentingan dalam pengelolaan dana desa,” katanya. 

Syarief Aryfaid, Direktur Lembaga Strategi Nasional — lembaga berbasis di Yogyakarta yang konsen dengan penelitian dan pemberdayaan desa. (Dokumentasi pribadi)

Syarif berkata, Kopdes berpotensi mengalihkan fungsi dana desa yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Dana desa, kata dia, tidak dimaksudkan untuk simpan-pinjam atau aktivitas kredit yang berisiko menjerumuskan warga ke utang dan menimbulkan masalah finansial.

Ia berkata, koperasi bersifat “swadaya,” sedangkan dana desa adalah “anggaran negara.” 

Jika dana desa dimasukkan ke koperasi tanpa pengawasan yang ketat, ada “potensi penyalahgunaan dan tidak transparan dalam pengelolaannya.” 

“Dalam beberapa kasus, ‘meng-koperasikan dana desa’ justru menjadi alat bagi segelintir orang untuk menguasai dana desa tanpa mekanisme akuntabilitas yang jelas.” 

Syarif juga menilai pembentukan Kopdes “tidak sejalan dengan semangat UU Desa” yang menekankan kemandirian desa melalui BUMDes yang dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat. 

Ia juga mengingatkan pembentukan Kopdes “tanpa koordinasi dengan BUMDes bisa menciptakan dualisme kebijakan ekonomi desa yang membingungkan pemerintah dan masyarakat desa.” 

Vansianus Masir merupakan Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD ‘APMD’ Yogyakarta

Editor: Herry Kabut

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA