Floresa.co – Ratusan warga dari berbagai wilayah di Indonesia mengikuti perayaan nasional Hari Anti Tambang (Hatam) 2025 Flores, bagian dari upaya kolektif memperkuat komitmen melawan industri ekstraktif yang merusak ekosistem alam dan sosial.
Warga tersebut berasal dari lingkar proyek geotermal di Mandailing Natal, Sumatera Utara; Gunung Gede-Pangrango yang tercakup dalam wilayah Kabupaten Cianjur di Jawa Barat; Dieng di Jawa Tengah dan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Sementara dari Flores, warga yang hadir adalah dari Atadei Kabupaten Lembata, Sokoria dan Lesugolo Kabupaten Ende, Satar Punda Kabupaten Manggarai Timur, Poco Leok di Kabupaten Manggarai, Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat dan Mataloko di Kabupateng Ngada.
Berlangsung di Kemah Tabor Mataloko, Kabupaten Ngada, kegiatan itu mengusung tema “Melawan Ekstraktivisme, Merawat Kehidupan, Menyatukan Perlawanan.”
Menurut panitia, pemilihan tema itu “untuk menggalang solidaritas rakyat melawan sistem yang mengorbankan kehidupan demi kepentingan oligarki ekstraktif.”
Dalam siaran pers yang diterima Floresa, panitia berkata, ekstraktivisme di Indonesia sudah “menjadi ideologi yang dilegitimasi negara” dan “dikemas dengan berbagai jargon pembangunan hijau.”
Praktik itu juga dilindungi oleh “berbagai regulasi yang secara culas diciptakan untuk memastikan berbagai agendanya berjalan mulus tanpa hambatan dan dijaga oleh aparat negara.”
“Dalam sistem ekonomi-politik yang mendewakan pertumbuhan, ekstraktivisme tidak dapat lagi hanya dipandang sebatas sebagai praktik eksploitasi sumber daya alam,” kata panitia.
Hatam 2025 mempertemukan warga dari berbagai lokasi lingkar tambang untuk membangun konsolidasi antarsesama korban yang terdampak proyek-proyek ekstraktif.
“Kalimantan dijarah tanpa henti—lubang tambang batubara merenggut nyawa anak-anak, sawit menggusur hutan adat, dan proyek industri hijau memperparah kehancuran ekologis,” kata panitia.
Sementara itu, Papua terus dirampas oleh tambang emas dan tembaga yang menghilangkan hak hidup suku-suku adat.
Di Sangihe dan Wawonii – masing-masing di Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara, operasi perusahaan tambang yang merusak lingkungan terus berlanjut kendati warga telah memenangkan gugatan hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara Kendari dan Mahkamah Agung.
“Di Flores dan Lembata, warga hidup dengan udara beracun dari tambang geotermal yang diklaim sebagai energi bersih; Sulawesi dan Maluku Utara menjadi ladang eksploitasi nikel yang menyisakan kemiskinan,” tambah panitia.
Hatam adalah perayaan tahunan pada setiap tanggal 29 Mei yang diinisiasi oleh warga terdampak proyek pertambangan bersama aktivis, jurnalis, akademisi dan jejaring masyarakat sipil.
Acara ini mulai digelar secara rutin sejak 2011, dengan lokasi yang berbeda-beda.
Panitia berkata, Hatam “lahir dari luka ekologis dan sosial akibat semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur pada 2006.”
“Ini merupakan bencana yang menjadi bukti nyata bahwa industri ekstraktif tidak hanya menghancurkan lingkungan, tetapi juga kehidupan rakyat.”
Alasan pemilihan Mataloko di Flores sebagai tuan rumah Hatam 2025 adalah karena Flores kini mengalami dampak langsung dari proyek panas bumi dan eksploitasi sumber daya lainnya.
Pembukaan Hatam 2025 pada 26 Mei berlangsung pada pukul 09.30, dimulai dengan penjemputan peserta oleh rombongan penari tradisional Ngada ’Ja’i’ dari SMP Katolik Soegijapranata di pintu gerbang Kemah Tabor.

Selanjutnya, diikuti pemukulan gong di Aula Kemah Tabor oleh perwakilan warga Poco Leok Agustinus Tuju, warga Porong Hariyati, perwakilan Keuskupan Agung Ende Pastor Charles Beraf, SVD dan Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar.
Dalam sambutannya, Hariyati menegaskan pentingnya soliditas antarwarga dalam melawan kekuasaan yang meloloskan berbagai proyek ekstraktif.
“Adat dan budaya adalah kunci untuk mempertahankan ruang hidup, menguatkan perjuangan kita mempertahankan tanah leluhur,” katanya.
Pastor Charles Beraf berkata perjuangan melawan industri ekstraktif, termasuk oleh Keuskupan Agung Ende berdasarkan pandangan bahwa “bumi adalah rumah bersama, bukan sekadar sumber daya, tetapi ruang hidup dan tempat suci.”
Ia berharap gelombang perlawanan warga membuat pemerintah semakin mendengarkan suara “umat yang menangis.”
“Membangun masa depan tidak bisa dengan menghancurkan masa lalu. Energi bersih tidak bisa dilahirkan dari energi kotor ketamakan yang menghancurkan,” katanya.
Sementara Melky Nahar menegaskan perlawanan terhadap industri ekstraktif beralasan karena dalam praktiknya proyek-proyek itu “hanya bentuk lain dari penjajahan yang menyaru dalam nama pembangunan.”
“Kita merawat hidup karena tanah, air, hutan, dan udara adalah bagian dari tubuh kita. Tak ada artinya pembangunan jika kehidupan rakyat dilenyapkan,” katanya.
Selain komunitas warga, turut hadir aktivis dari beberapa lembaga advokasi dan gerakan kolektif, seperti Jatam, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Terranusa, Trend Asia, Transparency International Indonesia, Rumah Baca Aksara, Sajogyo Institute, Yayasan Pikul dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Lembaga lainnya adalah Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Solidaritas Perempuan Flobamoratas, Yayasan Tanah Ile Boleng dan Sunspirit for Justice and Peace.
Dari lingkungan Gereja Katolik, hadir Komisi Justice Peace and Integrity of Creation dari Ordo Fratrum Minorum atau OFM dan Serikat Sabda Allah atau SVD.
Hatam 2025 berlangsung hingga hari puncak pada 29 Mei.
Rangkaian acaranya berupa seminar publik, lokakarya, konsolidasi pulau, aksi massa, toxic tour dan panggung seni.
Editor: Ryan Dagur