Floresa.co – Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) jadi lahan subur bagi tanaman kelor.
Sayangnya, upaya memaksimalkan tanaman bernilai gizi tinggi dengan nama Latin moringa oleifera ini belum mendapat banyak perhatian.
Padahal, kelor dinobatkan sebagai satu dari delapan makanan luar biasa (mega super food) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) karena kandungan gizinya yang kaya vitamin, serat, kalsium dan protein.
Di sisi lain, NTT terus tercatat sebagai daerah dengan prevalensi gizi buruk tertinggi di Indonesia.
Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 oleh Kementerian Kesehatan misalnya menunjukkan tingkat prevalensi gizi buruk balita NTT berdasarkan indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U) mencapai 8,1%, menempatkan NTT pada posisi tertinggi di seluruh Indonesia, jauh di atas rata-rata nasional 3%.
Indeks BB/U merupakan indikasi masalah gizi secara umum karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan.
Kondisi ini menggerakkan Dionisius Parera dari Lembaga Swadaya Masyarakat Insan Lantang Mulia (ILMU) mencari cara bagaimana mengatasinya.
Salah satunya adalah dengan melirik potensi kelor.
“Kelor tumbuh subur di NTT, tapi banyak anak kurang gizi dan stunting,” ujar Doni, sapaannya.
“Kami berpikir, bagaimana mengatasi keadaan ini. Kita harus lakukan sesuatu.”
Kendati sebagian wilayah NTT kekurangan hujan, namun baginya alam tetap adil karena “kelor seperti berjodoh dengan tanah NTT.”
Karena itu, bagi Doni, kekurangan gizi pada anak-anak NTT adalah kondisi yang seharusnya tidak terjadi.
Mulai dengan Survei
“Tahun 2021 kami mulai dengan survei pengetahuan masyarakat tentang kelor, terutama kaum perempuan di Manggarai Raya (Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat),” kata Doni.
Survei itu melibatkan 130 perempuan di beberapa pulau kecil, pesisir, kota hingga pegunungan.
Ia berangkat dari asumsi bahwa “tidak ada perempuan terutama kaum ibu yang ingin anaknya tidak sehat, stunting dan kelak tidak punya daya saing.”
“Semua perempuan menginginkan yang terbaik bagi manusia yang keluar dari rahimnya,” ujarnya.
Dari survei itu, 73% responden sama sekali tidak mengetahui kandungan gizi dan manfaat kelor.
Selain itu, mereka juga tidak menyukai aromanya dan malas mengolah karena daun kelor yang kecil harus dipetik satu per satu.
“Hasil survei ini sudah cukup memberi gambaran bagaimana kelor yang tumbuh subur di NTT kaya akan kandungan gizi, namun tidak dapat memberikan manfaat kepada manusia, terutama anak-anak,” ujarnya.

Inovasi Melalui Biskuit
Temuan dari survei ini, kata Doni, “membuat kami berinovasi supaya kelor mudah dikonsumsi.”
Ia menggandeng 12 perempuan anggota Koperasi Perempuan Desa Maju (KOPERSAMA) dampingan LSM ILMU untuk mencari cara menghasilkan produk olahan kelor.
“Mereka adalah ibu rumah tangga dan buruh tani yang tinggal di Desa Nanga Labang, Kecamatan Borong,” ujarnya.
Dari hasil diskusi para perempuan itu dan konsultasi dengan Dinas Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), mereka sepakat salah satunya produk inovasinya adalah bubuk kelor, agar “dengan mudah dicampur dengan pangan lainnya.”
“Misalnya dicampur saat menanak nasi atau ketika membuat telur dadar, dicampur susu atau diseduh langsung untuk teh,” ujarnya.
Inovasi lainnya adalah biskuit kelor agar mudah dikonsumsi anak-anak.
Produk biskuit ini, kata dia, menjadi solusi bagi ibu-ibu yang memiliki banyak kesibukan, namun tetap bisa menghadirkan manfaat kelor bagi anak mereka.

Untuk mempermudah pasokan bahan baku, para perempuan anggota koperasi menanam kelor di pekarangan rumah dan sebagai pagar lahan dan kebun.
Hal itu dipraktikkan di Desa Nangalanang, Kecamatan Rana Mese dan Desa Nangalabang, Kecamatan Borong.
Selain itu, pasokan kelor juga berasal dari petani di Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat, yang juga binaan LSM ILMU.
Doni berkata, selain kelor, bahan baku dua produk itu adalah gula, vanili, mentega, terigu, maizena dan susu bubuk.
Ia berkata, lembaganya melibatkan perempuan anggota koperasi supaya semua keuntungan kembali kepada mereka.
Selain itu, kata dia, kaum perempuan mesti sering dipasok pengetahuan tentang gizi yang praktis dan sederhana.
“Testimoni sesama perempuan juga akan mudah dipahami,” jelas Doni.

Berapa Omzet Setiap Bulan?
Kini dua produk itu dipasarkan oleh PT Flores Tanah Bora, perusahaan yang juga diinisiasi LSM ILMU deni memenuhi syarat-syarat administratif yang ditetapkan pemerintah.
Biskuit kemasan 100 gram yang di dalamnya berisi 10 keping dijual dengan harga Rp25.000.
Sementara untuk bubuk kelor dijual Rp75.000 per kemasan 250 gram.
Bicara mengenai omzet, Doni berkata, setiap bulan bisa menjual 150 sampai 200 bungkus bubuk kelor dan 100 sampai 150 bungkus biskuit kelor.
Dari penjualan tersebut, pendapatan yang diperoleh rata-rata Rp10 juta per bulan.

Pembelinya adalah pemerintah daerah dan desa di Manggarai Timur, beberapa kader Posyandu dan pesanan perorangan secara daring.
Ditanya sial rencana ekspansi pasar, Doni berkata, “kami ingin pertama-tama kelor dimanfaatkan oleh pemerintahan desa untuk membantu program penanganan stunting.”
“Kami sudah pernah menjual lewat platform online Shopee, namun kami hentikan karena ongkos kirim yang mahal.”
Produk biskuit dan bubuk kelor, jelas Doni, bertahan hingga satu tahun setelah diproduksi.
“Kemasannya menggunakan aluminium foil yang disegel dua kali dan standar pengolahan pangan yang ketat karena terus diawasi oleh Dinas Kesehatan dan BPOM.”
Mengapa Memilih Label Tanjung Bendera?
Produk biskuit dan bubuk kelor mendapat label “Tanjung Bendera”.
Pemilihan nama ini bertujuan mengangkat nama objek wisata Tanjung Bendera di Manggarai Timur, kata Doni.
Berlokasi di Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Tanjung Bendera merupakan savana luas di pantai selatan yang berhadapan dengan Laut Sawu.
Bagi Doni, “kelor dan keindahan alam NTT seperti Tanjung Bendera adalah anugerah yang harus kita manfaatkan maksimal, sambil terus melestarikannya bagi kemakmuran kita semua.”
Dengan berbagai upaya ini, Doni ingin cita-cita Indonesia emas yang digaungkan pemerintah dapat terwujud.
“Kami berharap langkah kecil ini bisa menjadi besar. Anak-anak Indonesia bisa terjangkau gizi yang sesuai dengan cara yang tidak rumit,” katanya.
“Ini bisa jadi kontribusi untuk pemberdayaan perempuan, edukasi, perbaikan gizi untuk sebuah mimpi bersama, Indonesia Emas 2045,” tambahnya.
Editor: Ryan Dagur