Floresa.co – Kejaksaan Negeri (Kejari) Manggarai Barat belum juga mengumumkan tersangka kasus dugaan korupsi proyek rehabilitasi irigasi Wae Kaca I di Kecamatan Lembor Selatan, kendati mengklaim sudah mengantongi angka kerugian negara.
Hal itu memicu kritikan dari praktisi hukum karena dinilai bertentangan dengan ketentuan hukum pidana terkait kasus korupsi dan terjadi diskriminasi dalam penegakan hukum. Apalagi kasus ini diduga punya kaitan dengan petinggi di Manggarai Barat.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Manggarai Barat, Ngurah Agung Asteka Pradewa Artha berkata, tersangka belum diumumkan karena pihaknya masih menelusuri aset milik terduga pelaku.
“Mereka ada niat untuk mengembalikan kerugian keuangan negara,” katanya kepada Floresa pada 17 Juni.
Namun, Artha tak memastikan waktu pengembalian kerugian negara dalam proyek tahun 2021 itu yang anggarannya hampir Rp800 juta.
Ia hanya berkata, “kami berharap bisa dikembalikan.”
“Kami menunggu benar-benar dikembalikan. Setelah dikembalikan, nanti akan diekspos,” katanya.
Kejaksaan, kata dia, masih “terus terus berproses” menelusuri aset terduga pelaku untuk memulihkan keuangan negara.
Artha merinci, aset-aset yang sedang ditelusuri berupa tanah dan kendaraan bermotor.
Karena itu, lembaganya berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) terkait aset tanah dan dengan Sistem Administrasi Satu Atap atau Samsat terkait aset kendaraan.
Ia mengklaim kejaksaan berkomitmen untuk terus mengusut kasus ini.
“Cuman, selain menahan orangnya (atau terduga pelaku), kalau bisa pulihkan keuangan negara,” jelasnya.
Setelah pengembalian kerugian keuangan negara, keputusan apakah “proses pidananya dilanjutkan atau tidak,” tergantung pimpinan.
“Kita menunggu dulu pengembaliannya,” tutup Artha.
Proyek ini dikerjakan oleh CV Duta Teknik Mandiri dan diawasi oleh PT Dwipa Mitra Konsultan.
Penelusuran Floresa di situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Manggarai Barat, tender proyek ini diumumkan pada 2 Juni 2021 oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang.
Awalnya, pagu proyek ini Rp 802.508.354 yang bersumber dari APBD Manggarai Barat, dengan peserta tender 41 badan usaha.
CV. Duta Teknik Mandiri yang mengajukan harga penawaran Rp785.477.233,75 ditetapkan sebagai pemenang tender.
Sebetulnya ada beberapa peserta yang mengajukan penawaran lebih rendah, yaitu CV Natalia senilai Rp642.045.777,64; CV. Mitra Mbepa senilai Rp686.196.539,19; CV. Wesang Putra senilai Rp707.700.225,97 dan CV. Bangun Inti Utama Rp766.789.263,79.
Namun, mengutip informasi di LPSE, meski mengajukan harga penawaran terendah, berdasarkan hasil evaluasi “pengalaman yang disampaikan” CV Natalia “tidak sesuai dengan syarat kualifikasi”
Sementara CV. Mitra Mbepa “tidak melengkapi laporan pajak pada isian kualifikasi.”
CV Bangun Inti Utama, berdasarkan evaluasi, memiliki kapasitas molen (concrete mixer) yang tidak sesuai. Perusahaan ini menyampaikan usulan kapasitas Concrete Mixer 350 liter atau 0,35 meter kubik, sementara persyaratan minimal 0,5 meter kubik.
Sementara itu, menurut evaluasi, PT Wesang Putra tidak mengisi tabel jadwal pemantauan dan evaluasi.
Proyek ini jadi sorotan semenjak dilaporkan oleh Lorens Logam, aktivis dari lembaga Pemantau Keuangan Negara pada 16 Februari 2023 kepada Kejari Manggarai Barat.
Kala itu, ia mengklaim proyek ini tidak dikerjakan oleh CV Duta Teknik Mandiri, tetapi diduga oleh salah satu adik kandung Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi.
Dalam salah satu wawancara dengan Floresa, Lorens mengklaim informasi itu ia dapat dari warga sekitar yang kerap melihat adik kandung bupati selama pengerjaan proyek itu.
Masalah lain adalah soal kualitas pengerjaan karena menggunakan material pasir laut.
Protes warga kemudian direspons Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Manggarai Barat yang mengutus tim teknis ke lokasi untuk membongkar semua pekerjaan yang menggunakan pasir laut.
Dugaan Diskriminasi
Semenjak menangani kasus ini, Kejari Manggarai Barat menuai sorotan karena dinilai lamban.
Salah satunya soal janji menelusuri aset para terduga pelaku yang i sudah disampaikan sejak awal tahun ini dan tersangka yang tidak kunjung diumumkan.
Di sisi lain, muncul kritik terkait praktik diskriminasi karena kejaksaan menunjukkan perlakuan berbeda pada kasus lainnya.
Salah satunya adalah korupsi pembangunan sarana dan prasarana Bumi Perkemahan Pramuka di Mbuhung yang sudah sampai pada putusan pengadilan, kendati dengan nilai anggaran jauh lebih kecil.
Praktisi hukum Ferdinansa Jufanlo Buba berkata, semangat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) memang bertujuan mengembalikan kekayaan negara ke kondisi semula (restitutio in integrum) bagi masyarakat sebagai penerima hak atas kebijakan pemerintah.
Namun, ia berkata, penetapan tersangka kasus korupsi mengacu pada bukti permulaan yang cukup.
“Lazimnya, penetapan tersangka bergantung pada hasil ekspos tim penyidik dan telah diperoleh bukti permulaan yang cukup,” kata pengacara yang juga alumnus magister hukum Universitas Atma Jaya Jakarta itu.
Dalam kasus dugaan korupsi Irigasi Wae Kaca I, kata Jufan – sapaannya -, unsur kerugian keuangan negara telah terpenuhi, “sehingga tidak beralasan bagi kejaksaan untuk menunda penetapan tersangka.”
Ia berkata, pengembalian kerugian negara dan alasan penelusuran aset sebagai tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu mencerminkan tindakan aparat penegak hukum di luar dari proses penyidikan yang efektif (undue process of law).
Proses penelusuran aset dan pengembalian kerugian negara, kata dia, dapat berlangsung sepanjang proses penyelidikan, penyidikan dan setelah penetapan tersangka, “bahkan saat berlangsung proses pemeriksaan di pengadilan.”
“Dengan adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat segera menetapkan tersangka, apalagi ada kerugian nyata atau actual loss,” katanya.
“Diharapkan tindakan penyidik tidak boleh diskriminatif,” kata Jufan.
“Beranikah aparat penegak hukum menetapkan tersangka, tanpa mengabaikan prinsip bahwa pengembalian kerugian negara tidak dapat menghilangkan tindak pidana yang telah terjadi?” tandasnya.
Akademisi Hukum Universitas Muhammadiyah Kupang, Andi Irfan mengingatkan, dalam hukum acara pidana, khususnya terkait tindak pidana korupsi, pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana.
Hal tersebut, jelas Andi, ditegaskan dalam Pasal 4 UU Tipikor yang menyatakan “pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.”
“Dengan demikian, walaupun pelaku mengembalikan uang negara, penyidikan dan penuntutan tetap harus dilakukan,” ujar Andi.
Senada dengan Jufan, Andi berkata, secara hukum, tidak ada kewajiban untuk menunda penetapan tersangka demi menunggu pengembalian kerugian negara.
Pengembalian kerugian negara, kata dia, hanya dapat menjadi faktor yang meringankan (circumstances in mitigation) dalam tahap penuntutan dan pemidanaan, “bukan syarat untuk menetapkan atau tidak menetapkan tersangka.”
Penetapan tersangka, kata dia, dilakukan berdasarkan dua alat bukti yang cukup.
Ia berkata, dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) dan UU Tipikor tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa pengumuman tersangka harus ditunda jika pelaku berencana mengembalikan kerugian negara.
“Namun dalam praktik, aparat penegak hukum terkadang menggunakan diskresi,” katanya.
Secara strategis atau politis, ungkapnya, langkah kejaksaan menunda pengumuman tersangka untuk mendorong penyelesaian administratif atau pemulihan kerugian keuangan negara.
“Namun, dari perspektif penegakan hukum yang adil dan transparan, praktik seperti ini rentan dimaknai sebagai bentuk impunitas,” katanya.
“Apalagi jika pelaku tidak diproses lebih lanjut setelah mengembalikan uang negara,” tambah Andi.
Editor: Petrus Dabu dan Ryan Dagur