ReportaseMendalamPenahanan Ijazah, Mahalnya Biaya Masuk, Hingga Akses Minim bagi Anak Miskin; Sejumlah Sengkarut Sekolah Negeri di NTT yang Jadi Sorotan Ombudsman

Penahanan Ijazah, Mahalnya Biaya Masuk, Hingga Akses Minim bagi Anak Miskin; Sejumlah Sengkarut Sekolah Negeri di NTT yang Jadi Sorotan Ombudsman

Di tengah rendahnya partisipasi pendidikan dan maraknya anak putus sekolah, mereka mencontohkan terobosan di SMK Kolbano dan SMAN 2 Kupang Barat sebagai model kebijakan pendidikan gratis yang perlu direplikasi

Floresa.co –  Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan NTT mengungkapkan adanya praktik pungutan oleh sekolah negeri yang membebani peserta didik menengah di provinsi itu.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTT, Darius Beda Daton berkata, praktik pungutan atau sumbangan komite kerap dijadikan “syarat mengikuti ujian sekolah maupun pengambilan ijazah.”

Praktik semacam ini, kata dia, bertentangan dengan prinsip pelayanan pendidikan yang seharusnya “inklusif dan tidak diskriminatif.”

Darius mendorong agar ada pengawasan yang lebih ketat, termasuk kemungkinan membentuk atau memperkuat lembaga pengawas khusus. 

“Penggunaan uang komite harus transparan dan tidak boleh dijadikan syarat  bagi siswa untuk mengikuti ujian atau mengambil ijazah,” katanya dalam keterangan yang diterima Floresa pada 12 Juni. 

Dalam dokumen kajian bertajuk “Evaluasi Penggalangan Dana Satuan Pendidikan di NTT,” yang diperoleh Floresa pada 17 Juni, Ombudsman NTT menyatakan, “pendidikan adalah layanan dasar yang wajib disediakan negara.”

Hal itu, tulis Ombudsman, sesuai dengan pasal 31 UUD 1945 “yang mengamanatkan alokasi 20% APBN/APBD untuk pendidikan.”

Terkait perbedaan pengaturan mengenai pungutan dan sumbangan, mereka merujuk pada Permendikbud No. 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah.

Dalam regulasi itu, diatur bahwa pungutan pada dasarnya bersifat wajib dan mengikat, sementara sumbangan bersifat “sukarela dan tidak mengikat.”

Kendati demikian, tulis Ombudsman, “di NTT, banyak SMA/SMK Negeri masih menerapkan pungutan melalui komite sekolah yang bertentangan dengan ketentuan.”

Karena itu, Darius berkata, pihaknya telah meminta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT untuk segera menyurati seluruh sekolah agar kejadian serupa tidak terulang. 

Pernyataan itu mencuat seiring dengan kasus yang baru-baru ini terjadi di SMA Negeri Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur. 

Di sekolah tersebut, sejumlah siswa tidak diizinkan mengikuti ujian karena belum melunasi sumbangan komite. 

Mereka tidak diberikan kartu ujian, bahkan sempat dipulangkan sehingga hanya dapat mengikuti ujian susulan.

Kasus ini, kata Darius, mencuat ke publik pada 2 Juni ketika para orang tua mengadu kepadanya. 

Menindaklanjuti aduan itu, pihaknya langsung berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi NTT. 

Hasilnya, siswa yang sempat dipulangkan akhirnya diizinkan mengikuti ujian pada hari kedua.

“Peserta didik berhak memperoleh pendidikan yang merupakan hak konstitusional mereka,” katanya.

Ketentuan mengenai larangan mengaitkan pungutan pendidikan dengan hak akademik siswa tercantum dalam Pasal 52 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. 

Pasal ini menegaskan bahwa pungutan tidak boleh dijadikan syarat untuk “penerimaan peserta didik baru, penilaian hasil belajar, maupun kelulusan siswa.” 

Karena itu, Darius berkata, “hak anak untuk mendapatkan pendidikan tidak boleh dibatasi karena alasan ketidakmampuan orang tua membayar sumbangan atau pungutan sekolah.”

Aturan ini dipertegas oleh Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT Nomor 421/1539/PK 2.2/2024 yang dikeluarkan pada 19 April 2024. 

Surat edaran itu menginstruksikan seluruh sekolah agar tidak memulangkan siswa saat ujian berlangsung hanya karena belum melunasi sumbangan komite serta mewajibkan semua peserta didik mengikuti ujian tanpa terkecuali.

Karena itu, Darius mengkritik cara pandang sekolah yang “masih mempraktikkan logika bisnis dalam pendidikan.” 

“Sekolah tidak boleh menahan hak anak untuk ujian hanya karena orang tuanya belum membayar. Uang sekolah adalah urusan orang tua, bukan urusan anak,” katanya.

Ia menekankan bahwa ijazah siswa, apapun alasannya, wajib diserahkan oleh pihak sekolah paling lambat beberapa hari setelah pengumuman kelulusan. 

Tantangan dan Beban Biaya

Dalam kajiannya, Ombudsman juga menyoroti persoalan terkait rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengakses pendidikan formal, terutama pada jenjang yang lebih tinggi.

Ketimpangan itu terlihat dari data yang menunjukkan bahwa hanya 32 persen lulusan SMA, SMK, dan SLB di NTT yang berhasil melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. 

Sementara itu, tercatat masih ada “10.590 anak yang belum pernah mengenyam bangku sekolah, dan sebanyak 27.827 murid tidak menamatkan pendidikan di tingkat SD maupun SMP.”

Menurut Darius, rendahnya akses pendidikan ini tak lepas dari kebijakan pungutan atau sumbangan komite yang memberatkan, berkisar antara “Rp 50.000 hingga Rp 150.000 per siswa setiap bulan.” 

Jumlah tersebut bahkan melampaui dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang diberikan oleh pemerintah. 

“Belum lagi, biaya awal masuk untuk siswa baru kelas X di sejumlah sekolah bisa mencapai Rp 2,5 juta per semester.”

Temuan lain lembaga itu juga mengungkapkan, siswa SMA dan SMK Negeri masih dibebani pungutan rutin sebesar Rp150.000 per bulan atau setara Rp1,8 juta per tahun—angka yang justru lebih tinggi dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang disediakan negara.

Dana BOS saat ini Rp1.590.000 untuk siswa SMA dan Rp1.690.000 untuk SMK. 

Di SMKN 2 Kupang, misalnya, dengan jumlah siswa mencapai 2.400 orang, akumulasi pungutan komite mencapai Rp4,32 miliar per tahun. 

“Sementara dana BOS di sekolah itu sebesar Rp4,056 miliar, sehingga total anggaran tahunan sekolah mencapai Rp8,376 miliar,” kata Darius. 

Ironisnya, pungutan komite dianggap bukan bagian dari uang negara, sehingga tak tersentuh proses audit. 

Ia menambahkan, audit atas dana BOS pun hanya dilakukan secara sampling karena keterbatasan SDM dan anggaran di lembaga pengawasan. 

Di tengah kondisi itu, Darius berkata, “banyak orang tua siswa justru masih dituntut membayar pungutan, meski sebagian besar komponen yang dibiayai pungutan, seperti honor guru, kini sudah ditanggung negara lewat skema ASN dan PPPK.” 

Lebih miris lagi, sambungnya, pungutan itu kadang dipakai untuk membayar honor tugas tambahan guru dan kepala sekolah, yang bahkan bisa melampaui gaji pokok dan tunjangan resmi dari negara. 

Ada pula yang digunakan untuk membangun ruang kelas baru—fungsi yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah. 

“Bagaimana mungkin orang miskin yang masih 21 persen dari populasi dipungut untuk membangun gedung milik negara, sementara untuk makan saja mereka kesulitan?” tanya Darius. 

Kondisi ini, lanjutnya, diperparah oleh praktik-praktik diskriminatif di lingkungan sekolah, seperti penundaan ujian atau penahanan ijazah bagi siswa yang belum melunasi pungutan. 

“Situasi ini menciptakan penghalang serius bagi siswa dari keluarga kurang mampu,” katanya.

Ia menegaskan, praktik seperti ini tidak hanya melanggar prinsip keadilan dalam pendidikan, tetapi juga berpotensi memperlebar kesenjangan sosial yang sudah terjadi. 

Jika tidak dihentikan, Darius berkata “hal ini akan terus menyebabkan tingginya angka putus sekolah, banyaknya Anak Tidak Sekolah (ATS), serta rendahnya partisipasi di jenjang pendidikan lanjutan.”

Ombudsman dalam kajiannya menawarkan sejumlah “langkah korektif yang dapat dijadikan peta jalan menuju pendidikan yang lebih adil dan inklusif di NTT.”

Salah satunya melalui validasi kebutuhan guru dan efisiensi anggaran sekolah. 

Mereka menilai, pungutan terhadap siswa seharusnya bisa dikurangi karena “gaji guru ASN atau PPPK telah ditanggung oleh negara.” 

Selain itu, insentif tambahan yang membebani anggaran sekolah disarankan “untuk dihapus, sementara kegiatan-kegiatan non-esensial perlu dikaji ulang demi efisiensi.”

Langkah lain yang mendesak menurut Ombudsman adalah “penegakan aturan dan transparansi pengelolaan anggaran di satuan pendidikan.” 

Darius berkata, lembaganya menekankan pentingnya implementasi Keputusan Kepala Dinas Pendidikan NTT No. 421/25/PK/2021 yang “melarang sekolah menarik pungutan wajib tanpa dasar hukum yang sah.” 

Aturan ini, tulis Ombudsman, juga mengatur agar sekolah memisahkan antara pungutan yang bersifat mengikat dengan sumbangan sukarela dari orang tua siswa. 

Selain itu, mereka juga menyoroti pentingnya penyusunan Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) secara terbuka dan proporsional. 

RKAS merupakan dokumen perencanaan belanja tahunan sekolah yang idealnya disusun melalui musyawarah dengan melibatkan komite sekolah dan perwakilan orang tua. 

Kritik lain juga menyasar pada “praktik penahanan ijazah dan diskriminasi terhadap siswa dari keluarga kurang mampu.” 

“Ombudsman mendesak agar Surat Edaran Kadis Pendidikan No. 421/1539/PK 2.2/2024 ditegakkan, yang menyatakan siswa wajib diikutsertakan dalam ujian tanpa syarat pelunasan pungutan,” kata Darius.

Mereka juga menuntut agar “seluruh ijazah yang saat ini masih ditahan karena alasan tunggakan segera diserahkan kepada pemiliknya.”

Wujudkan Pendidikan yang Murah dan Gratis

Ombudsman menyerukan perlunya komitmen kolektif untuk mengakhiri praktik pungutan, dan mendorong seluruh sekolah negeri di NTT mengadopsi model pendidikan gratis seperti yang sudah diterapkan di SMKN Kolbano dan SMAN 2 Kupang Barat.

Ombudsman menggarisbawahi pentingnya mendorong kebijakan “nol pungutan” di sekolah-sekolah negeri, terutama yang telah cukup menerima dana BOS. 

Di SMK Negeri Kolbano, kebijakan pembebasan biaya pendidikan mulai diterapkan secara bertahap sejak 2022, ketika seluruh pungutan komite—baik bagi siswa baru maupun lama—dihapuskan sepenuhnya. 

Kepala sekolah SMK Negeri Kolbano, Joni Leo, menyatakan bahwa keputusan ini diambil berdasarkan “hasil evaluasi dan survei kebutuhan ekonomi warga.”

“Menyadari banyak orang susah di kampung, SMKN Kolbano membebaskan biaya pendaftaran murid baru dan pungutan komite bagi semua anak,” kata Joni.

Dampaknya, jumlah peserta didik meningkat signifikan, sehingga sekolah kini tengah menyiapkan pembangunan ruang belajar tambahan serta asrama untuk siswa dari desa-desa terjauh.

Kebijakan serupa mulai diadopsi oleh SMAN 2 Kupang Barat, yang telah menerapkan pendidikan bebas pungutan pada awal tahun ajaran 2025. 

Kendati belum terdokumentasi secara luas, kata Darius, inisiatif sekolah ini menunjukkan “adanya kesadaran kolektif untuk menegaskan hak pendidikan tanpa hambatan biaya.”

Karena itu, ia meminta kepada Pemerintah Daerah, DPRD, dan satuan pendidikan untuk mulai “mewujudkan pendidikan yang murah atau bahkan gratis secara bertahap.”

“Tahun pelajaran 2025/2026 mesti jadi momentum perubahan sistemik menuju pendidikan yang inklusif, adil, dan bebas pungutan di NTT,” katanya. 

“Bersama, kita bisa membangun masa depan pendidikan yang cerah dan mewujudkan NTT Cerdas.”

Editor: Petrus Dabu

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA