ReportaseMendalamHari Anti Tambang di Flores, Warga Belajar Bersama Perkuat Kapasitas Perlawanan terhadap Industri Ekstraktif

Hari Anti Tambang di Flores, Warga Belajar Bersama Perkuat Kapasitas Perlawanan terhadap Industri Ekstraktif

Kesaksian warga lingkar proyek geotermal mengungkap eksploitasi besar-besaran yang merusak alam dan mengancam hak asasi mereka

Floresa.co – Warga dari berbagai lokasi terdampak proyek industri ekstraktif di seluruh Indonesia saling belajar untuk penguatan kapasitas selama beberapa hari acara  Hari Anti Tambang (Hatam) 2025 yang berlangsung di Flores. 

Dalam Hatam yang digelar di Mataloko, Kabupaten Ngada itu pada 26-29 Mei, mereka ikut dalam berbagai kelas belajar dan seminar publik yang membahas penguatan kapasitas untuk melawan dan mempertahankan hak-hak mereka dan menjaga keutuhan alam.

Pada hari kedua, 27 Mei, warga dibagi dalam empat kelompok belajar, yakni Penguatan Pengetahuan Hukum Warga Melawan Ekstraktivisme, Pelatihan Uji Kualitas Air dan Udara, Pembuatan Sabun Organik dan Eco-Enzyme dan Jurnalisme Warga untuk Keadilan Ekologis.

Berlangsung pada pagi hingga siang hari, kelas-kelas belajar itu dipandu beberapa perwakilan lembaga advokasi dan media.

Organisasi yang mengisi kelas mencakup Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI], JPIC OFM, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Tim Hukum Keuskupan Agung Ende, Terranusa, Posko Keselamatan Korban Lumpur Lapindo (Posko KKLuLa), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Rumah Baca Aksara.

Sementara Floresa dari Ekora NTT memfasilitasi kelas Jurnalisme Warga untuk Keadilan Ekologis. 

Panitia Hatam berkata “pembelajaran antarkomunitas ini merupakan ruang temu untuk menguatkan pengetahuan warga.” 

Selain itu, kelas-kelas tersebut merupakan ruang untuk “merawat kemandirian warga melawan sekaligus memulihkan dampak negatif dari industri ekstraktif yang merusak lingkungan.”

Penguatan Advokasi Media dan Hukum

Di kelas jurnalisme warga, Anno Susabun dari Floresa membagikan refleksi terkait kondisi media, khususnya di Flores, di tengah gelombang proyek pembangunan ekstraktif yang merusak alam dan mengancam hak-hak warga setempat.

“Media-media cenderung memilih posisi netral untuk tidak terlibat dalam soal-soal yang dihadapi warga, bahkan secara ekstrem ada juga yang jelas menjadi kawan penguasa dan pengusaha untuk menundukkan warga,” katanya.

Akibatnya, warga “sampai pada level tidak percaya pada media”, terutama karena beberapa media lebih cenderung menyerang warga dengan narasi-narasi hoaks dan disinformasi.

Sementara Adeputra Moses dari Ekora NTT yang mengampu sesi pelatihan jurnalistik dasar berkata, keterlibatan warga dalam jurnalisme penting sebagai penyedia informasi bagi media-media independen, baik yang berbasis di daerah maupun nasional.

“Dalam kelas ini, warga mempraktikkan secara langsung cara-cara merumuskan informasi berdasarkan unsur dasar jurnalistik,” katanya.

Editor media lingkungan Mongabay, Sapariah Saturi dan mantan Pemimpin Umum Koran Flores Pos, Pastor Steph Tupeng Witin, SVD juga ikut dalam kelas itu dan berbagi pengetahuan dan pengalaman sebagai jurnalis.

Dalam kelas penguatan pengetahuan hukum, para pengacara membekali warga dengan pengetahuan dasar menyikapi sebagai bekal menghadapi  potensi pembungkaman dan kriminalisasi.

Menurut Jatam, ada 375 korban dari 33 wilayah yang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi selama satu dekade terakhir.

Sementara selama masa pemerintahan Prabowo-Gibran, terdapat 89 warga yang dikriminalisasi saat mempertahankan ruang hidup dari perampasan sistematis yang disponsori negara-korporasi. 

Ketua YLBHI Zainal Arifin berkata pelatihan itu berkaitan dengan strategi warga memperkuat perlindungan hukum.

Ia berharap warga dapat lebih siap menghadapi berbagai bentuk pelanggaran, mulai dari perampasan tanah, kriminalisasi, intimidasi hingga kekerasan negara-korporasi.

Anno Susabun dari Floresa saat memfasilitasi kelas Jurnalisme Warga pada hari kedua Hatam, 27 Mei 2025 di Mataloko, Kabupaten Ngada. (Foto: Dokumentasi Panitia Hatam 2025)

Cara Hidup Organik untuk Atasi Pencemaran

Harwati, perempuan 48 tahun, warga korban Lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur, yang ikut dalam kelas uji kualitas air dan udara mengaku bersemangat karena “sangat penting sebagai basis pengetahuan teknis melawan narasi ‘bersih’ milik penguasa.”

“Kelas tersebut dirancang agar warga secara mandiri dan dengan alat sederhana dapat memonitor kualitas lingkungan hidup yang dirusak oleh industri ekstraktif,” katanya.

Dalam praktik di dua lokasi sungai yang berbeda di sekitar Kemah Tabor-Mataloko itu didapati indikasi pencemaran berat, diduga akibat kehadiran tambang geotermal.

Menurut Harwati, praktik uji kualitas air dan udara menjadi temuan awal yang dapat ditindaklanjuti warga di Mataloko. 

“Kami bisa menindaklanjuti dengan melakukan uji laboratorium untuk memastikan seberapa buruk tingkat pencemaran yang terjadi,” katanya.

Temuan itu menjadi penting “karena berhubungan dengan kesehatan warga yang sehari-hari  mengonsumsi air dan menghirup udara tersebut.” 

Sementara Arif Harmi Hidayatullah dari Rumah Baca Aksara yang memfasilitasi puluhan warga lainnya dalam kelas pembuatan sabun organik dan eco-enzyme berkata, pembelajaran itu membekali warga pengetahuan pembuatan produk organik dengan menggunakan sumber daya lokal.

Selain membangun pengetahuan, panitia Hatam berkata berbagai kelas ini juga bisa membangun solidaritas dan merumuskan strategi perlawanan kolektif. 

“Dengan kata lain, workshop bukan sekadar ruang diskusi, tetapi juga bentuk perlawanan kultural dan politik—tempat di mana warga bisa merebut kembali narasi tentang tanah, hidup dan masa depan mereka.”

Warga lingkar proyek ekstraktif sedang mengikuti kelas Pembuatan Sabun Organik dan Eco-Enzyme pada hari kedua Hatam, 27 Mei 2025 di Mataloko, Kabupaten Ngada. (Foto: Dokumentasi Panitia Hatam 2025)

Seminar Publik

Pada hari ketiga, 28 Mei, warga mengikuti seminar publik bertajuk “Ekstraktivisme, Kekerasan Negara-Korporasi dan Perlawanan Rakyat.”

Acara itu menghadirkan pembicara Pater Simon Suban Tukan, SVD, Hendro Sangkoyo dan Siti Maimunah.

Selain warga, seminar juga dihadiri perwakilan Pemerintah Kabupaten Ngada dan DPRD dari beberapa kabupaten, seperti Manggarai Timur, Ngada, Sikka hingga Flores Timur dan Lembata.

Pater Simon Suban Tukan dari JPIC-SVD Ruteng membuka diskusi dengan materi, “Tanah adalah Tubuh, Air adalah Darah: Teologi Tanah dalam Semangat Katolik.”

Ia menekankan “tanah dan air adalah simbol ilahi yang mencerminkan anugerah dan keberkahan bagi kehidupan.”

“Sebagai sumber berkat, keduanya harus dihormati dan dijaga agar tetap menopang keseimbangan ekologi serta kesejahteraan masyarakat,” katanya.

Ia berkata, eksploitasi tanpa batas terhadap tanah dan air bukan hanya mengancam lingkungan, tetapi juga merusak makna spiritual dan kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. 

“Ada kesatuan yang erat antara manusia dengan seluruh ciptaan yang ada di sekitarnya. Tanah adalah bagian dari tubuh manusia dan dia adalah ibu,” katanya. 

Hendro Sengkoyo, aktivis dan pendiri Sekolah Ekonomi Demokratik membawakan materi “Energi Kotor yang Diklaim Bersih: Menyingkap Luka di Balik Tambang Panas Bumi.”

Ia berkata, selama ini, narasi palsu disebarkan oleh pemerintah dan korporasi untuk melegitimasi proyek geotermal sebagai solusi energi hijau. 

“Faktanya, proyek panas bumi menghadirkan berbagai daya rusak yang tak dapat dipulihkan dan mengancam keselamatan komunitas warga,” katanya.

Ia mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menyebut hingga April 2025 terdapat 63 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang tersebar dari barat hingga timur Indonesia dengan luas lahan 3.570.769 hektare. 

Di satu Pulau Flores saja, kata Hendro, terdapat delapan WKP dengan luas total 142.652 hektare dan satu wilayah penugasan survei pendahuluan eksplorasi (WSPSE) seluas 21.330 hektare. 

Ia berkata, dalam kasus geotermal di Flores, negara seolah tak jera menumbalkan keselamatan warganya.

Sebab, kata dia, di Mataloko, Flores, operasi Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) telah menyebabkan tenggelamnya lahan persawahan, pencemaran air, munculnya penyakit kulit dan amblesan tanah di sekitar pemukiman penduduk. 

“Meskipun proyek ini gagal, dampak yang ditinggalkan tetap berlangsung selamanya dan menjadi beban bagi warga Mataloko,” ungkapnya.

Sementara akademisi dan aktivis perempuan Siti Maimunah mengulas materi “Tanah, Tubuh dan Perlawanan: Perempuan dalam Pusaran Ekstraktivisme”.

Ia menjelaskan, ekstraktivisme tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menghancurkan kehidupan sosial dan ekonomi perempuan yang selama ini memiliki peran krusial dalam keberlanjutan komunitas. 

“Perempuan di garda depan melawan ekstraktivisme. Perempuan melawan karena merasa seluruh kehidupannya sangat berkaitan dengan alam,” katanya.

Seminar tersebut ditutup dengan kesaksian warga terdampak geotermal, mulai dari Dieng dan Gunung Gede Pangrango di Jawa, Sarulla dan Mandailing Natal di Sumatera hingga warga dari beberapa lokasi di Flores dan Lembata.

Mereka menceritakan pengalaman menghadapi perampasan tanah, pencemaran sumber air serta kekerasan yang dilakukan aparat demi melindungi kepentingan korporasi. 

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA