Pulau Kera dan Reklamasi Kekuasaan

Masalah mendasar di Pulau Kera bukan semata soal rencana relokasi, melainkan cara kekuasaan bekerja—baik secara halus maupun terang-terangan—untuk meminggirkan komunitas pesisir atas nama pembangunan

Oleh: Ernestus Holivil

Di negeri ini, kekuasaan tidak selalu hadir sebagai entitas pelindung. Ia kerap menjelma menjadi mesin penindas, bahkan terhadap rakyatnya sendiri. Penindasan itu juga tak selalu hadir dalam bentuk kekerasan; ia bisa muncul sebagai proyek wisata, relokasi dan tata ruang, yang terdengar legal tetapi sejatinya adalah pengusiran terselubung.

Inilah yang bisa kita sebut sebagai reklamasi kekuasaan—pengambilalihan ruang hidup rakyat yang dilakukan secara sistematis dan terorganisir. Reklamasi bukan sekadar urusan tanah yang ditimbun atau laut yang diubah jadi daratan. Ia juga tentang bagaimana kekuasaan membajak legitimasi hukum dan membentuk narasi sepihak untuk memperkuat posisinya.

Konflik Pulau Kera di Kabupaten Kupang, NTT adalah gambaran paling nyata dari paradoks itu. Sebuah pulau kecil yang mestinya menjadi ruang hidup damai bagi warganya, tiba-tiba berubah menjadi medan konflik. 

Di satu sisi, ada warga yang bertahan di tanah leluhur mereka. Di sisi lain, hadir modal besar—Pitoby Grup—dengan dalih investasi dan pembangunan.

Inilah bentuk baru kolonialisme: tidak datang dari bangsa asing, tapi dari dalam tubuh bangsa sendiri. Dan, kita harus sadar: ini bukan cerita satu pulau. Ini adalah pola. Dari pesisir hingga pegunungan, dari kota ke desa—logika yang sama terus berulang. Janji kemajuan dipakai untuk melegitimasi ketimpangan. Warga disingkirkan atas nama pertumbuhan ekonomi.

Pulau Kera adalah simbol tentang bagaimana kekuasaan hari ini bekerja—halus dalam narasi, brutal dalam kenyataan. 

Pertanyaannya: sampai kapan kita diam? Sampai kapan kita rela negeri ini dibajak oleh mereka yang menjual masa depan atas nama pembangunan?

Reklamasi Kekuasaan

Konflik Pulau Kera bukan pertama kali muncul. Sejak awal 2000-an, pulau di sebelah barat Pulau Timor dengan luas 48,17 hektare itu telah beberapa kali nyaris dikosongkan dengan berbagai alasan. Kadang demi konservasi, kadang demi kesejahteraan, kali ini demi pengembangan wisata.

Namun, di balik semua alasan itu, ada satu pola yang tak pernah berubah: suara rakyat tidak pernah benar-benar didengar. Masyarakat hanya menjadi bagian dari rencana, tetapi tidak pernah menjadi pemilik keputusan. Bahkan, rencana relokasi warga sekali pun dibangun di atas instruksi, bukan partisipasi.

Bagi saya, masalah mendasarnya bukan semata relokasi, melainkan cara kekuasaan bekerja—baik secara halus maupun terang-terangan—untuk meminggirkan komunitas pesisir atas nama pembangunan. 

Cara bekerjanya sederhana. Negara kerap menggunakan jargon “perintah presiden” sebagai alasan, sebagaimana pernyataan Bupati Kupang Yosef Lede, sehingga bukan distribusi keadilan yang terjadi, melainkan ekspansi kuasa.

Dalam bahasa David Harvey, ini adalah bentuk paling vulgar dari accumulation by dispossession, akumulasi dengan perampasan. Tanah, ruang hidup, dan bahkan identitas rakyat ditarik masuk ke dalam logika pasar. 

Di sini, kekuasaan tidak lagi berfungsi untuk kebaikan bersama, tetapi menata ulang ruang untuk memperkaya segelintir orang. Pemerintah berubah dari penjaga hak warga menjadi operator proyek. Kondisi ini semakin rumit ketika pemerintah kemudian mengklaim sumber daya publik sebagai miliknya. 

Dalam konflik Pulau Kera, misalnya, pemerintah menggandeng perusahaan swasta, Pitoby Group yang mengaku memiliki sertifikat atas sebagian pulau sejak 1993. Di sisi lain, masyarakat menyatakan telah menghuni wilayah itu sejak 1884.

Terjadi konflik naratif yang serius di sini. Satu berdiri di atas dokumen administratif, satu lagi tumbuh dari ingatan kolektif dan jejak historis yang diwariskan lintas generasi. Namun ironisnya, negara justru memilih mendengar suara yang memiliki sertifikat, bukan yang memiliki sejarah.

Padahal, hukum formal negara bukan satu-satunya bentuk legitimasi. Hukum adat, nilai lokal, dan klaim historis komunitas juga sah secara sosial. Mengabaikan pluralitas hukum dan hanya mengakui dokumen formal adalah sebuah kebrutalan. Tak heran jika masyarakat adat kemudian dianggap sebagai pengganggu yang harus “disingkirkan secara legal.”

Lebih dari itu, narasi yang dibangun seputar ketidaklayakan Pulau Kera untuk dihuni karena tidak ada sumber air, juga patut dipertanyakan. Jika standar “layak huni” ditentukan semata dari ketersediaan air bersih, lalu mengapa negara tidak mengintervensi dengan infrastruktur publik, alih-alih memindahkan warga?

Hal ini mencerminkan ketidakmauan negara untuk berperan sebagai pelayan publik, tetapi  memilih menjadi broker proyek bagi kepentingan bisnis. Ketika ruang yang dianggap tidak pantas untuk rakyat tiba-tiba berubah menjadi lahan ideal bagi investor, di situlah wajah buruk kekuasaan terlihat jelas.

Perlu diingat, penolakan warga Pualu Kera bukan hanya soal resistensi fisik. Alasannya melampaui itu, bahwa identitas tidak bisa direlokasi. Laut yang mereka cintai bukan cuma tempat mencari ikan, melainkan tempat mereka berbicara dengan leluhur, merawat adat dan membesarkan anak-anak.

Ketika ruang itu diambil, bukan hanya tubuh yang terusir, tapi juga ingatan dan masa depan. Relokasi bukan hanya soal jarak, tetapi soal keterputusan dari sejarah dan harmoni yang telah berlangsung bertahun-tahun.

Pertanyaan yang harus kita ajukan bersama adalah: Apakah negara benar-benar miskin imajinasi sehingga tak mampu membayangkan pembangunan yang berawal dari mendengar? Mengapa masyarakat yang menjaga lautnya sendiri dianggap sebagai penghalang, sementara mereka yang membawa peta bisnis justru dipandang sebagai penyelamat?

Pengakuan atas Kedaulatan Komunitas

Persoalan Pulau Kera tidak bisa diselesaikan dengan relokasi, mediasi semu, apalagi janji infrastruktur. Solusinya harus melampaui itu. Mesti ada pengakuan politik atas kedaulatan komunitas pesisir sebagai entitas hukum dan sosial yang sah.

Bukan sekadar pengakuan simbolik, tetapi pengakuan yang mewujud dalam keputusan hukum dan kebijakan. Negara harus berhenti menganggap rakyat sebagai beban dan mulai menempatkan mereka sebagai subjek pembangunan yang punya suara, pilihan dan hak untuk tinggal.

Artinya, negara harus mulai membangun sistem pengelolaan wilayah yang berbasis pada kedaulatan rakyat atas ruang, bukan kepentingan investasi jangka pendek. Ini akan menciptakan model pembangunan baru yang tidak merampas, tetapi merangkul sejarah dan pengetahuan lokal sebagai landasan kebijakan.

Dengan pengakuan semacam ini, warga Pulau Kera akan ditempatkan sebagai mitra setara dalam pengelolaan wilayah, termasuk dalam merancang konservasi, pariwisata atau tata ruang laut. Mereka bukan lagi objek kebijakan, tetapi subjek yang berhak bicara dan menentukan arah ruang hidup mereka sendiri.

Pengakuan politik ini akan menjadi antitesis dari logika reklamasi kekuasaan yang menyingkirkan rakyat demi pasar. Ia membuka jalan bagi paradigma baru pembangunan yang tidak dimulai dari alat berat, tapi dari mendengar dan mengakui siapa sesungguhnya yang lebih dulu memiliki tempat itu—bukan dalam sertifikat, tapi dalam ingatan, jejak dan kehidupan yang tumbuh dari laut.

Ernestus Holivil adalah Dosen Administrasi Publik Universitas Nusa Cendana, Kupang

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING