Cara Receh Reba Pitak

Dengan akal sehat kita bisa dengan mudah menemukan keserampangan data dan fitnahan akun Reba Pitak

Oleh: Ryan Dagur

Reba Pitak, demikian nama akun dari mereka yang rutin menyebarkan disinformasi terkait polemik proyek geotermal di Poco Leok via media sosial Facebook.

Dalam sejumlah unggahannya, ia memfitnah berbagai lembaga, baik lembaga advokasi berbasis Gereja Katolik, lembaga swadaya masyarakat maupun media, sambil dibubuhi klaim bahwa ulasannya berbasis data dan riset.

Tudingannya tak tanggung-tanggung, bahwa lembaga-lembaga itu yang selama ini mengadvokasi warga Poco Leok didanai asing, dengan nilai duit yang fantastis.

Floresa merupakan salah satu yang ikut dituding.

Dalam sebuah infografis yang disebar di Facebook pekan lalu, Reba Pitak menyebut Floresa bersama Victory News–media siber berbasis di Kupang-mendapat dana 250.000 dolar Amerika Serikat dari Walhi NTT untuk pelatihan jurnalistik. Jika dirupiahkan, dana itu setara Rp4,1 miliar.

Ia juga menuding lembaga-lembaga lain seperti JPIC-SVD dan JPIC-OFM-dua lembaga Gereja Katolik-, Jatam dan Walhi NTT kecipratan dana dari lembaga-lembaga asing.

Ia mengutip banyak tautan dari media, juga menyebut laporan beberapa lembaga sebagai rujukan informasinya – kendati tak dijelaskan laporan seperti apa yang dia rujuk.

Dengan menyebut nama lembaga-lembaga itu dan mengklaim melakukan riset, ia mungkin yakin bahwa informasinya akan dipercaya.

Keserampangan

Sebetulnya tidak sulit menemukan keanehan dari informasi yang disebarluaskan akun itu, juga keserampangannya menyajikan data.

Soal tudingan kecipratan dana, saya membatasi diri untuk mengomentari tudingan terhadap Floresa.

Informasinya itu seratus persen salah, sebuah fitnah. Selain tidak pernah melakukan pelatihan jurnalistik yang didanai Walhi NTT, Floresa juga tidak pernah bekerja sama dengan Victory News, media yang berafiliasi dengan mantan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat.

Jumlah dana yang disebut-sebut hingga ratusan ribu dolar dalam kerja sama itu juga lebay.

Seorang netizen berkomentar di Halaman Facebook Floresa: “Wah kalau benar dapat 250.000 dollar, harusnya Floresa.co sudah punya modal yang cukup untuk main proyek makan siang gratis.”

Entahlah, dari mana Reba Pitak mendapat informasi soal dana itu. Saya sebetulnya ingin ia buka semua saja data yang dia dapat.

Selain bahwa datanya hoaks, hal yang paling dasar untuk segera sadar bahwa informasinya adalah serampangan, dengan mengecek caranya menuliskan nama lembaga-lembaga itu.

Artikel Foresa pada 14 Mei telah mengulasnya. Menurut artikel itu, banyak dari lembaga-lembaga yang disebut sebetulnya tidak eksis. Misalnya, WOCdoc,” OFS (Fransiscane), OFS (Oil Fossil Syndicate), SHEL Fondatdion dan Sheil Foundation. 

Memang, ada beberapa yang mirip dengan beberapa lembaga yang benar-benar ada. WOCdoc misalnya diduga mengarah ke WatchDoc. Sheil Foundation bisa jadi mengarah ke Shell Foundation, yayasan filantropi milik Shell.

Hanya ada satu yang ditulis benar, yakni USAID, yang tampaknya merujuk pada lembaga bantuan internasional Amerika Serikat, United States for International Development. Namun, jika Anda cek baik-baik, alamat web yang disebut milik USAID – AUAIDgos.sov sebetulnya asal tulis, alias bohong-bohongan.

Mengapa Reba Pitak melakukan itu? Bisa jadi ia sengaja, demi menghindari tuntutan hukum dari lembaga-lembaga itu.

Disinformasi

Memang, salah satu pilihan menyikapi fitnah semacam ini adalah mengabaikannya. Namun, pilihan itu tampak membuat akun itu makin menjadi-jadi. Unggahan baru terus disebarluaskan.

Apakah ia tidak tahu bahwa datanya keliru, asal-asalan, palsu, hasil karang-karang? Saya menduga bahwa ia tahu itu.

Namun, ia memilih tetap menyebarluaskannya, bagian dari upaya membunuh karakter, kampanye hitam pada mereka yang dianggapnya menentang dan mengkritik proyek di Poco Leok.

Informasi yang ia sebarkan adalah jelas disinformasi, sebuah informasi yang keliru, namun pelaku sengaja menyebarkannya. Karena itu, niatnya sudah pasti buruk.

Cara kerja semacam ini tentu lahir dari asumsi bahwa publik yang mengkonsumsinya akan menelannya mentah-mentah, tidak punya daya kritis atau mudah untuk percaya saja pada informasi bohong, apalagi dipadu dengan desain grafis yang tampak bagus.

Ia lahir dari anggapan bahwa konsumennya adalah orang-orang rendahan. Bahwa, orang-orang Poco Leok misalnya akan mudah terpengaruh dengan informasi itu.

Ia mungkin percaya pada adagium bahwa informasi salah yang dikonsumsi terus-menerus lambat laun akan diyakini sebagai kebenaran.

Apa Dampaknya?

Dilihat dari isi ulasannya, sulit untuk tidak menduga bahwa akun itu sedang berusaha meloloskan proyek geotermal Poco Leok.

Namun, apakah strategi seperti itu akan manjur?

Proyek ini memang terus menuai polemik, termasuk penolakan yang kencang dari warga.

Mereka telah menggelar puluhan aksi protes, termasuk menduduki lahan setiap kali pihak pemerintah dan perusahaan datang.

Perlawanan yang kencang ini membuat Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) atau Bank Pembangunan Jerman sebagai pendananya mengirim tim independen tahun lalu.

Tim itu bertemu semua pihak dan menemukan fakta-fakta yang melucuti klaim selama ini bahwa semua urusan di Poco Leok sudah beres, sebagaimana yang tampak dalam rilis-rilis pers perusahaan.

Menurut tim tersebut, proyek ini tidak memenuhi standar-standar sosial internasional. Beberapa diantara prinsip yang dilanggar adalah soal menghormati hak dan budaya, menghindari dampak buruk pada masyarakat adat, persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan, partisipasi publik yang bermakna dan perlindungan hak atas tanah.

Ini adalah soal-soal serius yang butuh diselesaikan dengan serius pula.

Jika temuan macam itu malah dijawab dengan strategi penyebarluasan disinformasi seperti yang dilakukan Reba Pitak, tentu hanya memperburuk masalah, alih-alih menyelesaikannya.

Bisa dibilang, lain gatal lain garuk, lain yang disoroti KfW, lain pula cara responsnya.

Selain itu, penting dicatat bahwa dalam keseluruhan polemik proyek itu, yang paling berkepentingan adalah warga. 

Lembaga-lembaga yang dituding Reba Pitak hanya berperan mengadvokasi. Mereka bisa jadi mendapat dukungan dana asing dan itu hal lumrah, sebagaimana juga PT PLN yang mendapat dukungan dana asing via Bank KwF. 

Tidak ada yang salah dengan itu. Yang perlu diuji sebetulnya, sejauh mana pemanfaatan dukungan dana-dana itu. 

Upaya Sistematis

Jika ditilik ke belakang, model serangan semacam ini memang bukan hal baru.

Tahun lalu, Floresa diserang oleh sejumlah media siber, dengan tudingan melakukan provokasi dalam proyek ini. Salah satunya adalah Pijarflores.com yang kemudian diadukan ke Dewan Pers.

Keputusan Dewan Pers dengan terang menyatakan bahwa ada pelanggaran kode etik jurnalistik oleh media tersebut. Pimpinannya lalu meminta maaf “dari hati yang paling dalam” pada Floresa, insan pers dan publik.

Sayangnya, keputusan atas kasus macam itu tidak membuat yang lain mawas diri, berhenti sebar fitnah, seperti yang kini terjadi.

Penyebaran fitnah ala Reba Pitak adalah cara-cara norak, yang secara sadar menginjak-injak akal sehat, serentak mengungkap seperti apa kualitas orang-orang di baliknya.

Penting dicatat bahwa menyebarkan fitnah adalah perbuatan pidana. Sekalipun bersembunyi di balik akun palsu, suatu saat, apalagi bila ada pihak yang dirugikan melaporkan ke aparat hukum dan menuntut proses hukum, model akun palsu begini tentu akan bisa dilacak, selama aparat penegak hukum mau melakukannya.

Jika Bank KfW konsisten untuk menerapkan standar sosial internasional sebagaimana  temuan tim independennya, maka harusnya membuka mata pada cara kerja pendukung proyek seperti ini.

Bagaimana mengharapkan sebuah proses yang benar, yang manusiawi, jika respons terhadap suara-suara kritis saja dilakukan dengan cara-cara murahan seperti yang dipertontonkan Reba Pitak?

Pilihannya lempar batu sembunyi tangan adalah kerja pengecut. Kita hanya berharap bahwa para pengecut begini tidak dibiayai perusahaan dan pemerintah, atau malah didukung KfW.

Jika akhirnya Reba Pitak makin menjadi-jadi, terus memproduksi hoaks dan fitnah, jangan-jangan kita berharap terlalu tinggi bahwa pelaksanaan proyek yang dibiayai bank internasional dan dikerjakan BUMN ini akan dilaksanakan dengan cara beradab?

Jangan-jangan cara kerjanya ya memang begini: merespons suara kritis dengan disinformasi karena menganggap publik bisa dengan mudah dikibuli, bisa dipermainkan.

Ryan Dagur adalah pemimpin umum Floresa

Editor: Anno Susabun

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING