Floresa.co – Puluhan pipa berbahan plastik tampak berseliweran di sisi sebuah jembatan di Kampung Kemiri, Labuan Bajo.
Pipa-pipa itu ditancapkan ke dalam sebuah sumur di Air Kemiri, mata air yang bernaung sebatang pohon beringin.
Beberapa mesin pompa air–yang juga berseliweran–tersambung dengan pipa-pipa itu, menarik air dari sumur yang dibangun Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi NTT pada 2013.
“Kami Suku Bajo sebut mata air ini Boe Paruja,” kata Fatima, “sementara dalam Bahasa Manggarai disebut Wae Welu.”
Keduanya sama-sama berarti “Air Kemiri.”
“Dinamai Air Kemiri lantaran dulu tumbuh sebatang kemiri di atasnya,” kata Fatima.
Pohon itu kemudian mati dan yang tersisa hanya beringin.
Ketika ditemui Floresa pada 5 April sore, Fatima tengah mencuci pakaian di sebuah lorong yang tergenang air.
Sumur dan sebuah bak berukuran 2×2 meter mengapit lorong itu, yang mempertemukan air dari Wae Mata dan Air Kemiri.
Mata air Wae Mata terletak di Desa Gorontalo. Berada lebih tinggi ketimbang Air Kemiri, Wae Mata menjadi salah satu penyokong kebutuhan air warga Labuan Bajo.

Setiap hari perempuan 42 tahun itu datang ke lorong tersebut, mengendarai sepeda motor dari rumahnya di Pede Kecil yang terpaut sekitar satu kilometer.
Rumah Fatima yang berdiri di atas lahan seluas 5.400 meter persegi digusur pada 2023 atas perintah Pengadilan Negeri Labuan Bajo.
Penggusuran terjadi setelah pengadilan memutuskan 5.000 meter persegi dari lahan itu adalah milik Budiman Utomo, pengusaha asal Surabaya, Jawa Timur.
Fatima berkata, pipa-pipa yang bergelantungan di sekitar Air Kemiri milik warga dan beberapa hotel yang berjejer di sepanjang Pantai Pede.
“Yang pasang pipa di sini hanya orang mampu,” katanya.
Ia tak ikut memasang pipa lantaran “rumah jauh, uang pun tak ada.”
Setor ke Desa
Tercakup dalam wilayah administratif Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Air Kemiri bersisian dengan sejumlah hotel berbintang.
Harisyah, seorang warga sekitar menyebut setidaknya empat hotel di sepanjang Pantai Pede dan Gorontalo ikut memanfaatkan Air Kemiri, di antaranya La Prima, Bintang Flores, New Bajo Beach dan Pagi.
“Mereka pakai mesin dan pipa yang besar,” katanya merujuk mesin pompa air dan pipa berbahan besi berukuran sekitar tiga dim.
Ia berkata, pemakai dengan jumlah besar seperti hotel dan warga yang memiliki usaha indekos dan tempat cuci kendaraan menyetor Rp200 ribu ke pemerintah desa setiap bulan.
Sementara untuk hotel, “saya tidak tahu jumlah setorannya.”
Warga “tidak bayar karena hanya pakai untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk usaha.”

Manajer Operasional Bintang Flores, Lilik Handoko membantah pernyataan Harisyah yang menyebut hotel-hotel menyetor uang tiap bulan ke pemerintah desa.
Kendati demikian, ia mengaku “saat awal pemanfaatan Air Kemiri, bos kami memberi uang dalam jumlah besar kepada kepala desa.”
Hotel Bintang Flores mulai dibangun pada 2006 sebelum mulai beroperasi dua tahun kemudian.
Lilik mengklaim hotelnya mengebor sumur dengan kedalaman 120 meter dalam kompleks usaha mereka.
“Tapi ketika dites, kandungannya ternyata air payau karena terlalu dekat dengan pantai, sehingga tidak layak pakai,” katanya.
Air payau merupakan percampuran antara air laut dan air tawar. Rasanya lebih asin dari air tawar sekaligus kurang asin ketimbang air laut.
Kala Bintang Flores dibangun, kata Lilik, satu-satunya potensi air tersedia adalah Air Kemiri.
Lantaran itulah pemilik hotel meminta izin akses air ke Pemerintah Desa Gorontalo yang kala itu dipimpin Fransiskus Xaverius Erick Sahadoen.
“Fransiskus bilang air terbuka untuk umum. Timbal baliknya hotel harus bangun bak agar masyarakat bisa memanfaatkannya untuk cuci dan mandi,” katanya.

Pakai Filter
Lilik mengklaim Bintang Flores merupakan hotel pertama di wilayah itu yang memanfaatkan Air Kemiri.
Air itu dimanfaatkan untuk kebutuhan kamar mandi, cuci dan kolam renang.
Kendati tak merinci, ia menyebut hotel memiliki alat filter untuk mengantisipasi zat kapur dan kandungan bakteri.
Alat filter bermerek Best Water Technology itu ditempatkan dalam sebuah bangunan di dekat Air Kemiri dan gudang hotel.
Ia menuntun Floresa mengecek alat filter dalam gudang. Tampak beberapa fasilitas yang menopang filter itu, termasuk tiga tabung distribusi air.
Seorang teknisi alat itu yang tidak menyebutkan namanya berkata, filterisasi air dilakukan secara bertahap sebelum dialirkan ke sebuah bak, lalu ke setiap kamar dan kolam renang.
“Bak berisi campuran Air Kemiri dan air dari Perumda,” katanya.

Sementara untuk minum, kata Lilik, “kami awalnya pakai Aqua” — merujuk air minum dalam kemasan (AMDK) yang diproduksi oleh Aqua Group.
Dalam perjalanan waktu,“kami bekerja sama dengan air minum Ruteng” — AMDK yang diproduksi PT Nampar Nos di Kabupaten Manggarai.
Sementara Manajer Operasional La Prima, Kris Mola mengaku hotel tempatnya bekerja memanfaatkan Air Kemiri sejak 2012.
Pada November 2023, Pemkab Manggarai Barat mendenda La Prima–selain 10 hotel berbintang lainnya di Labuan Bajo–akibat memprivatisasi pantai.
La Prima didenda sebesar Rp5,8 miliar, sedangkan Bintang Flores dikenai sanksi Rp1,1 miliar.
Kepada Floresa, Kris mengaku La Prima memanfaatkan Air Kemiri untuk memenuhi kebutuhan mandi dan cuci.
“Karena Air Kemiri banyak zat kapurnya, kami punya alat filternya,” katanya.
Penjelasannya soal filter berhenti di situ. Pertanyaan lanjutan Floresa, termasuk soal privatisasi pantai, hanya ia jawab: “no comment.”
Pajak Air Permukaan
Lilik menyebut pihaknya membayar Pajak Air Permukaan (PAP) per tiga bulan ke Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas ESDM Provinsi NTT yang berkantor di Samsat Manggarai Barat.
Senada dengan Lilik, Kris Mola juga mengklaim pihaknya membayar PAP per tiga bulan, kendati tak merinci nominalnya.
“Kami hanya bayar PAP. Tidak ada retribusi lain,” katanya.
Kepala Seksi Penetapan Pajak Daerah Provinsi NTT UPTD Pendapatan Wilayah Manggarai Barat, Frederikus Daeng berkata pungutan PAP terhadap hotel bersifat wajib.
Pemungutan PAP dimulai sejak 2021, setelah sebelumnya “langsung dilakukan oleh Dinas ESDM.”
“Karena pertimbangan biaya pajaknya lebih kecil dibandingkan dengan biaya operasional pemungutannya, maka didelegasikan ke UPTD,” katanya.
Frederikus berkata, nilai PAP dihitung berdasarkan harga dasar air permukaan dikalikan bobot air permukaan. Penghitungan itulah yang membuat perbedaan besaran nilai pungutan terhadap setiap hotel.
Ia menunjukkan kepada Floresa bukti pembayaran pungutan keempat hotel tersebut periode Januari-Maret 2023, di antaranya New Bajo Beach Rp16.000; La Prima Rp97.000; Bintang Flores Rp60.000; dan Pagi Rp34.000.
“Pungutan itu satu kali per tiga bulan dan nilainya selalu sama,” katanya.

Frederikus mengaku tidak tahu tentang “retribusi Air Kemiri yang dipungut oleh desa.”
“Silakan konfirmasi ke ESDM, apakah pernah kasih delegasi ke desa untuk memungut retribusi?” katanya.
Akan Dikelola Bumdes
Kepala Desa Gorontalo, Vinsensius Obin mengaku mendapat informasi bahwa pada 2011 Air Kemiri berada di bawah pengawasan desa yang kemudian bekerja sama dengan pihak ketiga untuk membangun bak.
Kala itu terdapat kesepakatan “biaya pemeliharaan untuk beberapa hotel dan pelaku usaha untuk biaya pemeliharaannya dan warga digratiskan.”
Kesepakatan tersebut, katanya, memicu banyaknya pipa kecil dan mesin pompa air yang ditancapkan ke bak.
“Masuknya pipa-pipa itu tidak dikoordinir. Kalau tidak diatur, instalasinya akan berpotensi (mengalami) kebakaran,” katanya.
Vinsensius juga mengaku mendengar informasi bahwa pelaku usaha dan hotel yang memanfaatkan Air Kemiri membayar retribusi ke desa.
Namun, ketika “saya cek pemasukan kas desa periode sebelumnya, tidak ada bukti pembayaran dari hotel dan pelaku usaha itu.”
Ia juga mengklaim telah mengonfirmasi retribusi itu kepada perangkat desa periode sebelumnya, hasilnya “pengelolaan air tersebut tidak memiliki dasar hukum.”
“Sejak saat itu, pembayaran pemakaian air dihentikan karena tidak punya pendasaran (Peraturan Desa) untuk menarik retribusi air itu,” katanya.
Heri Jem, yang pernah menjadi anggota BPD pada 2019-2023 juga mengaku mendapat informasi serupa.
Namun, “pendapatan dari pengelolaan air itu tidak pernah ditunjukkan kepada kami,” katanya.
Ia menduga “mungkin karena retribusi sudah disetor ke Dinas ESDM makanya desa membangun sumur di belakang kantor desa.”
“Mungkin pembangunan sumur itu bertujuan agar dikelola Bumdes supaya ada pendapatan asli desa,” katanya.
Vinsensius Obin berkata, Air Kemiri sudah diregistrasi sebagai aset desa, namun “ada beberapa administrasi yang belum lengkap,” kendati tak merinci.
Desa, kata dia, berencana membuat peraturan tentang pengelolaan mata air tersebut.
“Kalau semua itu sudah fix, kami serahkan pengelolaannya ke Bumdes,” katanya.
Vinsensius menilai keterlibatan pihak ketiga dalam pengelolaan air “membuat repot karena mereka lagi yang atur kami.”
“Desa mau intervensi terlalu jauh juga tidak bisa karena pihak ketiga itu yang membangun di mata air itu,” katanya.
Bintang Flores “Mau Gratis”
Perumda Wae Mbeliling didirikan pada 16 Juni 2008 berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Manggarai Barat Nomor 10 Tahun 2008 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Wae Mbeliling
Namun, perusahaan itu baru mulai beroperasi secara efektif pada 31 Desember 2011, menyusul Surat Keputusan Bupati Manggarai Barat Nomor HK.035/247/XII/2011.
Lilik Handoko mengatakan pihaknya baru mendaftar menjadi pelanggan Perumda Wae Mbeliling pada 2021 bersamaan dengan pembukaan jaringan air bersih di sepanjang Jalan Gorontalo.
Namun, kata dia, air dari Perumda Wae Mbeliling hanya cukup untuk empat atau lima kamar dari total 101 kamar Bintang Flores.
“Apalagi di sini pakai jadwal. Keluarnya setiap hari mulai jam tiga sore. Keluarnya pun hanya sekitar 30 menit. Tidak bisa diharapkan,” katanya.
Untuk membuktikan klaimnya, Lilik meminta seorang teknisi air membuka keran dalam ruang filter. Air sama sekali tidak keluar.
Padahal, kata Lilik, setiap bulan pihaknya mengeluarkan anggaran Rp3 juta hingga Rp4 juta untuk membayar tagihan air.
“Kami lebih banyak bayar angin ketimbang air,” katanya.
Direktur Perumda Wae Mbeliling, Aurelius Endo membantah klaim Hotel Bintang Flores.
“Harus berbicara data. Bukan sekadar penyampaian orang hotel,” kata Endo kepada Floresa.
“Data pemakaian setiap hotel ada,” lanjutnya.
Ia menyebut Hotel Bintang Flores jarang menggunakan air PDAM.
“Memang hotel itu jarang pakai air PDAM. Tanya mereka kenapa bisa sampai tidak pakai air?,” katanya.
Sebagai pembanding, ia sempat mengarahkan Floresa untuk menanyakan ketersediaan air di beberapa hotel yang berada di jalur Pede sampai Gorontalo yang ia sebut memiliki satu pipa distribusi.
Endo menyebut, Hotel Bintang Flores “mau gratisan.”
“Bagi saya itu adalah alasan mereka menjustifikasi air di situ tidak jalan, itu ujungnya. Menyembunyikan fakta yang sebenarnya bahwa mereka pakai air yang hanya membayar 60.000 per tiga bulan”
Padahal di beberapa hotel yang memiliki satu saluran pipa, kata Endo, pemakaianya besar.
“Ini satu hamparan yang terintegrasi, jaringannya juga sama” kata Endo.

“Ini sudah yang ke berapa kalinya mereka menyembunyikan untuk gratis dan judge bahwa air PDAM di situ tidak jalan,” tambahnya.
Jumlah pemakaian air Hotel Bintang Flores selama April sebesar 251 m3 dengan total tagihan Rp3.263.000.
Ia membandingkan pemakaian hotel lainnya di sepanjang daerah Gorontalo selama April.
Di antaranya Hotel Jayakarta Rp12.641.500, Hotel Sudamala Rp29.085.500, Hotel Puri Sari Beach Rp12.716.000, Hotel Luwansa Rp10.493.500, dan Meruorah Rp83.227.450, dan Hotel La Prima Rp141.500.
“Angka mereka kecil karena pemakaian mereka, bukan karena air tidak jalan. Kenapa yang lain besar? Kesimpulannya mereka blending air kita dengan Air Kemiri,” ungkap Endo.
Menurut Endo, Hotel Bintang Flores sengaja mengatur pemakaian PDAM dengan catatan mengambil dari Air Kemiri untuk menutup kekurangan itu.
Pemakaian hotel, kata dia, menyesuaikan dengan okupansi kamar.
“Kalau banyak tamu, pemakaian air juga naik. Kalau okupansi kamar sedang rendah, bisa turun lagi.”
Dari gambaran tersebut, kata Endo, pemakain tiap hotel tergantung kebutuhan mengikuti okupansi.
Ia juga mencontohkan Hotel Meruorah yang terletak di sisi utara Bintang Flores yang pemakaiannya air PDAM-nya lancar.
“Hampir 90% kebutuhan air Bintang Flores menggunakan Air Kemiri, kenapa hotel-hotel lain tidak? Karena mereka menjaga kualitas,” katanya.
Ia mengklaim jaringan distribusi pipa PDAM hampir pasti selalu ada aliran.
“Intinya tidak seperti yang mereka sampaikan. Kenapa hotel dari ujung selatan sampai di Merourah pemakaiannya besar.”
Klaim Hotel Bintang Flores, kata Endo, “merupakan bentuk pembohongan publik.”
“Itu yang saya tidak terima,” katanya.

Ke Mana Janji Meteran Subsidi?
Harisyah ikut menancapkan pipa di sumur itu sejak 2021.
Rumahnya berjarak sekitar 50 meter dari mata air tersebut.
Keluarganya memanfaatkan air tersebut untuk mandi dan cuci.
Sementara untuk memasak, “kami menumpang menimba air yang bersumber dari Perumda Wae Mbeliling di rumah seorang tetangga.”
Pembayaran bulanan disepakati lewat sistem patungan.
Ia berkata, Perumda Wae Mbeliling menjatah distribusi air dua kali seminggu, baik saat musim hujan maupun kemarau.
“Setiap kali jalan kadang tidak sampai sore, kalau musim hujan bisa jalan dari pagi sampai malam,” katanya.
Sementara Fatima mengaku “pernah berlangganan air PDAM” — merujuk Perumda Wae Mbeliling.
“Karena rumah digusur, sudah tidak ada lagi air PDAM,” katanya.

Sehari-hari keluarganya mengisi ulang galon air guna memenuhi kebutuhan minum.
Dalam sepekan, keluarganya menghabiskan dua galon air minum dengan harga isi ulang masing-masing Rp5.000.
“Saya tidak pakai (Air Kemiri) untuk minum karena takut. Saya pernah coba memasak airnya. Ternyata banyak zat kapurnya,” kata ibu empat anak itu.
Harisyah mengaku pegawai Perumda Wae Mbeliling pernah menyosialisasikan program meteran air subsidi pada 2023.
Pegawai tersebut meminta warga yang belum menjadi pelanggan menyerahkan sejumlah dokumen, termasuk fotokopi Kartu Keluarga sebagai syarat untuk mendaftar program tersebut.
“Kami daftar untuk program 2024. Sekarang sudah 2025, tapi belum ada realisasi. Dokumen kami masih ada di mereka,” katanya.
“Katanya nanti tidak bayar full. Hanya untuk beli pipa dan uang rokok mereka saja. Kami belum tanya lagi kelanjutan program ini,” tambahnya.
Aurelius Endo mengklaim meteran subsidi merupakan program pemerintah pusat dan “kami hanya melakukan pendataan untuk diajukan ke mereka.”
Ia menyebut bantuan hibah dari pemerintah pusat itu menyasar 800 penerima yang tersebar hingga Warloka.
“Kami hanya diberi tugas untuk mendata rumah tangga yang belum ada saluran,” kata Endo.
Kendati tak merinci, ia menyebut program tersebut sudah dibatalkan pada tahun lalu.
Fatima, yang sehari-hari membuka warung di Pantai Pede menyebut “harga air di Labuan Bajo sangat mahal” sehingga “saya pakai air di sini saja untuk cuci dan mandi.”
Ketika kemarau datang, ia mesti membeli air untuk memenuhi tangki bervolume 5.000 liter berbiaya sebesar Rp130 ribu.
Fatima tak menjabarkan detail penggunaan air itu dalam keluarganya.
Ia hanya menyebut bulan-bulan ini debit Air Kemiri “cenderung stabil.”
“Nanti masuk kemarau panjang, tidak ada air yang keluar di dalam sumur. Kering, karena banyak disedot,” katanya.
Laporan ini merupakan hasil kolaborasi Tim Floresa dan Sunspirit for Justice and Peace, yang dikerjakan oleh Adriani Miming, Doroteus Hartono, Elisa Lehot dan Herry Kabut
Editor: Anastasia Ika dan Ryan Dagur