Oleh: ALFRED TUNAME, kolumnis Floresa.co, pemerhati isu-isu sosial politik
Ide menarik datang dari novelis Fira Basuki dalam novelnya berjudul “Biru” (2003). Ia menulis begini, “menjaga bumi bisa pula dilakukan dengan menjaga pemikiran kita. Pemikiran postif bisa dimulai dari dalam hati sehingga orang lain akan merasakan dan bumi kita pun akan merasakannya…” (hlm. 63).
Dasar pemikiran dalam novel tersebut adalah bahwa manusia selalu hidup dalam keutuhannya dengan alam. Manusia hidup di dalam, dengan dan dari alam. Di situ, manusia adalah pengatur dan penata ulung dunia dan masa depannya.
Persoalan krisis air merupakan persoalan masa depan manusia dan lingkungannya. Terdapat banyak fenomena cuaca alam dan bahkan campur tangan manusia yang bisa mengakibatkan kekeringan dan krisis air. Diantaranya, El Nino, Indian Ocean Dipole Mode (IOD) dan penggundulan hutan.
El Nino dan PT Nampar Nos
Penggundulan hutan tentu saja berdampak langsung terhadap cadangan air tanah. Sementara El Nino dan IOD dikaitkan dengan fenomena cuaca yang berdampak pada curah hujan. El Nino merupakan istilah bagi gejala memanasnya suhu muka laut di bagian barat ekuator Lautan Pasifik yang berakibat banyak hujan di Peru dan kurang hujan di Indonesia. Kondisi sebaliknya dijuluki La Nina (Kompas, 2008).
Selain itu, Indonesia juga mendapat ancaman kekurangan curah hujan tinggi karena penyimpangan suhu muka laut di Samudera Hindia. Fenomena cuaca ini disebut Indian Ocean Dipole Mode (IOD), yang kalau Positif menyebabkan kekeringan, sedangkan yang Negatif menyebabkan curah hujan tinggi di Indonesia.
Pada tahun 1997, kekeringan melanda Indonesia karena fenomena El Nino dan IOD Positif terjadi secara bersamaan. Akibatnya, suplai uap air dari dua samudera (Samudera Pasifik dan Hindia) ke wilayah Indonesia terhenti.
Fenomena El Nino dibawa masuk oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Manggarai, Manseltus Mitak, untuk menjelaskan realitas krisis air di Ruteng, Manggarai, Flores, NTT (Floresa.co, 29/10/2014). Fenomena El Nino kata Mitak, berdampak pada krisis air di Ruteng. Penjelasan ini menabur badai polemik. Satu komentar menarik datang dari Yoakim Jehati, anggota DPRD Manggarai, bahwa penjelasan Sekda tersebut bersifat normatif.(Baca: Masalah Krisis Air di Ruteng Ramai Dibahas DPRD, Dirut PDAM Minta Dipecat)
Yoakim menampik penjelasan fenomena El Nino dikaitkan dengan realitas krisis air di Ruteng. Itu berarti, wakil rakyat tersebut membutuhkan jawaban yang lebih riil dan lebih dekat dengan rasionalitas masyarakat Ruteng untuk mengurai realitas krisis air tersebut.
Krisis air di Ruteng juga ditengarai sebagai akibat dari kehadiran PT. Nampar Nos. Perusahaan ini hadir di Ruteng karena terdapat banyak sumber mata air dan debit air yang melimpah di Ruteng dan sekitarnya. Karena itulah, privatisasi air di Ruteng malah semakin deras digalakkan. PT. Nampar Nos mengambil alih penyediaan air kepada masyarakat. Air dijual kepada masyarakat dalam bentuk kemasan berlabel “Ruteng”.
Untuk air kemasan “Ruteng”, PT. Nampar Nos mengeksploitasi dua sumber mata air yakni sumber air Wae Rowang dan Wae Lerong. Sumber mata air yang terkena dampak pengerukan ini adalah air di Kelurahan Golo Dukal (Taga, Ruteng Pu’u dan Leda) dan Wae Ces (Lawir, Ka, Mena) (Floresa.co, 15/10/2014). Dengan demikian, sebagian besar sumber mata air untuk masyarakat Ruteng telah diambil oleh PT. Nampar Nos demi kepentingan ekonomi perusahaan tersebut.
Bersamaan dengan itu, kondisi kualitas pelayanan publik akan ketersediaan air di Ruteng semakin buruk. Kehadiran PDAM tidak menjadi pionir pelayanan publik terbaik kepada masyarakat. Aliran air PDAM semakin loyo. Di sini, posisi PDAM bisa menjadi penyebab (crime by comission) krisis air sebab tidak mampu memenuhi kebutuhan air di masyarakat. Bisa juga, PDAM ikut “bermain” (crime by omission) dalam turbulensi kepentingan atas privatisasi air di Ruteng. (Baca: Krisis Air di “Kota Dingin”: PT Nampar Nos dan Kecemasan Orang Ruteng)
Kemana aliran air di Ruteng?
Pada konteks positivitas sains, kita boleh sepakat bahwa krisis air Ruteng juga merupakan dampak dari fenomena El Nino. Sebagian besar daerah dan kota besar di Indonesia terkena dampak El Nino sehingga debit air tanah menyusut.
Akan tetapi, persoalan krisis air di Ruteng adalah sebuah anomali. Ruteng sejak dahulu melimpah sumber air. Terletak di lembah gunung Nampar Nos, dengan ketinggian 2700 meter di atas permukaan laut, Ruteng menjadi sangat dingin. Kelembaban yang tinggi membuat di Ruteng sering terjadi hujan, bahkan ketika bukan musim penghujan. Dengan hutan gunung dan pepohonan yang lebat, Ruteng tidak mungkin kekurangan debit air.
Selain itu, kearifan lokal masih selalu dipegang teguh untuk menjaga sumber daya air. Kearifan lokal menjadi “oasis nilai-nilai” yang menjaga alam dan lingkungan Manggarai. Kearifan lokal sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Ruteng. Tradisi lisan Manggarai, misalnya, menyimpan kearifan lokal yang memperlihatkan pola relasi subyek-subyek, bukan subyek-obyek.
Mitos, cerita, goet, peribahasa, pemali, lagu-lagu dan lain-lain merupakan tuturan ritus (ritual speech) yang mengkontruksi hubungan manusia dengan alamnya. Tutur ritus ini merupakan etika biosentris hubungan orang Manggarai dengan alamnya.
Bagi orang Manggarai, alam bukanlah obyek melainkan bagian dari keutuhan hidup orang Manggarai an sich (subyek). Alam pun diperlakukan sebagai “sesama saudara”. Orang Manggarai melindungi alam dan tidak mengeksploitasinya. Manusia hanyalah satu bagian dari alam. Sikap semena-mena terhadap alam pun dilarang dalam kosmologi orang Manggarai. Maka sebenarnya, capaian kehidupan ekologis yang harmonis sudah terjadi dan berlangsung lama di Ruteng dan sekitarnya. (Baca:Editorial: Apresiasi dan Catatan untuk DPRD Manggarai)
Keelokan harmoni ekologis di Ruteng tiba-tiba menyisahkan ratapan. Air sebagai sumber kehidupan sudah menyusut. Maka, sebab spesifik krisis air di Ruteng adalah PT Nampar Nos. Eksploitasi air tanah itulah yang menyebabkan debit air tanah di Ruteng makin defisit. Dampaknya sudah dirasakan oleh masyrakat di Ruteng dan sekitarnya.
Desakan untuk menjabarkan hasil Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) PT. Nampar Nos, hanya akan memperpanjang kerontang kebutuhan akan air masyarakat Ruteng. Apa pun hasil AMDAL tidak akan mengubah situasi, sebab boleh jadi AMDAL hanya menjadi alat renegoisasi politis antara pemerintah dan kelompok berkepentingan.
Dengan mempertimbangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat, pemerintah daerah harus cepat dan tegas bertindak. Apa pun resikonya, pemerintah daerah harus membuat keputusan demi kebaikan bersama masyarakat Ruteng. Langkah yang paling baik adalah menutup PT. Nampar Nos dan meminta ganti rugi. Sebab, rakyat sangat menderita. PT. Nampar Nos sudah mengambil sumber hidup rakyat. PT. Nampar Nos sudah melanggar UUD 1945 (amandamen). Air untuk rakyat, bukan untuk perusahaan komersial.
Saat ini, masyarakat Ruteng menunggu political will dan political action pemerintah daerah. Krisis air di Ruteng adalah persoalan masa depan manusia dan alamnya. “Gerakan-lambat” pemerintah terkait krisis air, hanya akan memperkuat dugaan praktik politik “patron-klientilisme”, antara pimpinan pemerintah daerah dan PT. Nampar Nos. Selain itu, “gerakan-lambat” itu juga akan mengundang “penumpang gelap” dalam politik jelang kontestasi Pilkada Manggarai 2015.Sebab, situasi krisis air di Ruteng bisa menjadi komoditas politik pada elite-elite politik tertentu dan kepentingan rakyat jadi buram.
Akhirnya, masa depan harmoni ekologis bergantung pada pemikiran dan kebijakan positif pemerintah daerah untuk medesain kembali keberutuhan hidup antara masyarakat Ruteng dan alamnya. Menyelamatkan ekologi Ruteng berarti menyelamatkan generasinya. “Aliran” air di Ruteng pun harus kembali ke masyarakat Ruteng itu sendiri, bukan ke perusahaan komersial.