Masalah Krisis Air di Ruteng Ramai Dibahas DPRD, Dirut PDAM Minta Dipecat

Suasana sidang di kantor DPRD Manggarai, hari ini, Rabu (29/10/2014)
Suasana sidang di kantor DPRD Manggarai, hari ini, Rabu (29/10/2014)

Ruteng, Floresa.co – Masalah krisis air di kota Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang akhir-akhir ini menjadi keluhan umum masyarakat, akhirnya ramai dibicarakan di forum sidang II DPRD kabupaten itu, hari ini, Rabu (29/10/2014).

Dalam sidang tersebut, Mansetus Mitak, Sekertaris Daerah (Sekda) menjelaskan alasan krisis air di Ruteng. Kata dia, mengutip rekomendasi Badan Klimatologi dan Geofisika Manggarai, hal itu merupakan akibat langsung dari El Nino atau kemarau panjang.

Selain itu, krisis air tersebut disebabkan adanya upaya perbaikan saluran di beberapa titik di kota Ruteng.

Terhadap dalil pemerintah yang disampaikan dalam proses persidangan, beberapa anggota DPRD mengaku tidak puas dan bahkan merekomendasikan untuk memecat kepala Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) Ruteng.

Yoakim Jehati, Anggota DPRD Fraksi Golkar, misalnya, menyatakan, penjelasan pemerintah terkait kekurangan air karena El Nino sangat tidak masuk akal sebab letak kota Ruteng berada di tengah hutan dan iklimnya sangat dingin.

“Analisis kita orang awam, kekurangan air disebabkan  karena beberapa mata air di kota Ruteng sudah dialihkan pengelolaannya ke privatisasi air kepada pihak ketiga,” tegas Yoakim.

El Nino, seperti bisa dibaca di moklim.sains.lapan.go.id, merupakan gejala alam di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur, yakni memanasnya suhu permukaan laut di wilayah tersebut. El Nino dianggap sebagai faktor pengganggu dari sirkulasi monsun yang berlangsung di Indonesia, pengaruhnya sangat terasa, yakni timbulnya bencana kekeringan yang meluas.

Soe Flavianus, anggota DPRD dari Fraksi Nasdem menyatakan, alasan pemerintah itu sangat kontrakdiktif. Sebab kata dia, di tengah kekurangan air kota Ruteng, pihak PDAM masih melakukan  penjualan air.

Flavianus mengusulkan agar pihak PDAM tidak melakukan penjualan air, namun membuat kebijakan agar air disalurkan secara bergilir.

Sementara itu Marsel Ahang, anggota DPRD Fraksi PKS menyatakan, krisis air yang terjadi saat ini selain karena kemarau panjang juga akibat buruknya kinerja PDAM. Dirut PDAM Klemen Man dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.

“Saya desak bupati untuk segera copot Dirut PDAM. Orang itu kerjanya tidak benar. Kenapa dari dulu Ruteng tidak pernah alami krisis air walau kemarau panjang. Setelah dia masuk, semuanya jadi kacau,” kata anggota DPRD dari Dapil Kecamatan Ruteng dan Lelak itu.

Ia menilai, pemerintah daerah juga lemah dalam pengawasan kinerja pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

“Dari pencalonan dia saja sudah kontradiktif. Orang yang sudah pensiun kok diangkat jadi Dirut PDAM. Itu semua kerjaan pejabat di daerah ini. Masalah air, itu akibat Dirutnya yang tidak becus makanya harus dicopot,” tegas Ahang dengan suara keras.

Krisis air di Ruteng terus dikeluhkan warga selama beberapa waktu terakhir. Floresa sempat membuat laporan panjang terkait hal ini, dimana diuraikan kemungkinan kaitan masalah ini dengan privatisasi air oleh PT Nampar Nos, produsen air minum dan jus merek “Ruteng”. (Baca: Krisis Air di “Kota Dingin”: PT Nampar Nos dan Kecemasan Orang Ruteng)

Mengutip sebuah laporan berjudul “Wariskan Mata Air, Bukan Air Mata Kepada Anak Cucu Kita”, oleh tim peneliti JPIC-OFM dan JPIC Keuskupan Ruteng, PT Nampar Nos mengambil air dengan cara membor ke dalam tanah sedalam 75 meter.

“Proses pengambilannya melalui sistem teknologi canggih. Air disedot menggunakan mesin-mesin yang diatur otomatis untuk mengisi tempat penampungan yang tersedia. Air yang digunakan melalui proses ozon dan filterisasi yang katanya sangat higienes dan terjamin kualitasnya”, demikian laporan penelitian pada 2009 ini.

Cypri Jehan Padju Dale, peneliti alumnus Universitas Erasmus Belanda yang dalam bukunya “Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik (2013)”, juga menyinggung soal masalah air ini mengatakan, jika di pasaran, rata-rata harga air per liter adalah Rp. 2,000, maka penghasilan bruto/kotor perusahann ini dalam sehari adalah 101,720,000 rupiah. Dalam sebulan Rp. 3,051,600,000 atau Rp. 36,619,200,000 (36,6 miliar rupiah) dalam setahun.

“Kalau seluruh air itu dibeli oleh orang Manggarai, maka sebesar itulah uang orang Manggarai yang diserap oleh perusahaan ini”, tulis Cypri dalam bukunya. “Dalam kalkulasi kasar, memakai data 2011, maka setiap tahun ada 36 miliar sumber daya publik yang diprivatisasi, dan ada 36 miliar uang pribadi orang Ruteng yang dikeluarkan untuk beli air.”

Cypri mengaitkan fakta pencaplokan sumber daya air (water resources grabbing) di Ruteng dengan fakta memburuknya kualitas dan kuantitas pelayanan PDAM yang menyebabkan orang Ruteng semakin banyak menjadi konsumen PT Nampar Nos.

Ia berargumen, ini adalah salah satu contoh pemiskinan sistemik di Ruteng. “Orang Ruteng dimiskinkan dengan dua cara sekaligus, yakni dengan cara pencaplokan sumber daya air yang sebenarnya sumber daya publik dan orang Ruteng terpaksa menjadi konsumen air yang dicaplok oleh perusahaan dari sumber daya publik itu”, jelasnya.

“Jadi rugi dobel, hilang sumber daya dan harus mengeluarkan uang untuk membeli air yang sebenarnya bisa didapat gratis”, katanya.

spot_img

Artikel Terkini