Keluarga di Labuan Bajo yang Tergusur dari Lahan: ‘Kami Kehilangan Segalanya,’ – Masih Berjuang Lawan Pengusaha Asal Surabaya yang Diduga Pakai Keterangan Palsu

Keluarga Pati Masang kehilangan tanah 5.000 meter persegi di dekat Pantai Pede, Labuan Bajo yang ditempati selama berdekade. Ada dugaan penggunaan keterangan palsu yang menjadi alasan klaim oleh pengusaha asal Surabaya

Floresa.co – Sekujur tubuh Pati Masang gemetar saat puluhan polisi dan petugas dari pengadilan memasuki lahannya di pesisir Pantai Pede, Labuan Bajo.

“Saya teriak memanggil arwah Haking, suami saya, untuk datang membantu menjelaskan kepada mereka bahwa itu lahan milik saya,” katanya.

Namun, ia tak bisa berbuat banyak mencegah alat berat yang meluluhlantakan rumah dan tanaman di atasnya.

Peristiwa pada Kamis, 19 Januari 2023 pagi itu diceritakan kembali oleh Pati Masang, 80 tahun, kepada Floresa pada 9 November.

Sekitar pukul 09.00 Wita hari itu, ia diberitahu anaknya, Subuhang, bahwa rumahnya akan digusur atas perintah Pengadilan Negeri Labuan Bajo.

Karena ia berontak, selama proses penggusuran beberapa polisi wanita membentuk formasi melingkar untuk menjaganya, “hingga saya tidak bisa keluar dari lingkaran itu.”

“Saya diperlakukan macam penjahat,” katanya. 

Pati Masang berkata, lahan itu, seluas 5.400 meter persegi dengan panjang 100 meter dan lebar 54 meter, telah ia jaga selama puluhan tahun untuk menghidupi anak dan cucunya.

“Saya tidak mengerti apa yang terjadi. Saya tidak mengerti ini kejahatan apa,” katanya.

Ia sempat berhenti berbicara selama sekitar lima menit sembari menangis sesenggukan. 

Usai menyeka air mata dengan kain yang dipakainya, ia memastikan Floresa bukan bagian dari orang yang telah mengambil alih lahannya itu. 

“Jangan datang tanya saya kalau akhirnya menjadi orang yang membunuh saya. Jaksa dan polisi itu orang yang telah membunuh saya dengan merampas hak saya,” katanya.

“Saya, anak dan cucu saya kehilangan tempat tinggal dan lahan untuk kembali bekerja.“

Selain rumah, ia merinci harta yang turut lenyap saat penggusuran adalah kayu jati berusia belasan tahun, pohon kelapa yang sudah berbuah dan puluhan pohon pisang yang ia tanam sebagai pembatas dengan lahan lain.

“Sekarang saya macam orang gila, sering bicara sendiri, seolah-olah orang yang merampas lahan saya itu ada di depan saya dan bisa saya lawan dengan penjelasan yang benar mengenai asal mula lahan itu,” ujarnya.

“Sekarang orang hanya bisa melihat saya hidup, tapi sebenarnya nyawa saya sudah diambil orang. Bagi saya tanah adalah nyawa.” 

Seperti ibunya, Subuhang juga bercerita sambil beberapa kali airnya matanya menetes.

“Waktu penggusuran, saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena di situ ada banyak aparat kepolisian yang jaga,” katanya.

“Kalau saya melawan aparat, sama saja dengan saya membunuh diri.”

“Kami kehilangan tempat tinggal, kami kehilangan tanah dan kami kehilangan segalanya sejak eksekusi itu.”

Subuhang berkata, lahan yang terletak di Pede Kecil, RT 005, RW 002, Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo itu merupakan milik ayahnya, Haking, yang diperoleh dari pembagian ulayat Nggorang oleh Puar Dia pada 1969/1970.

Puar Dia adalah orang yang dipercayakan Dalu Ishaka, Fungsionaris Adat Kedaluan Nggorang, pemuka adat yang mengatur pembagian lahan di wilayah Labuan Bajo dan sekitarnya.

“Bapak saya tidak pernah menjual tanah ini kepada siapapun. Ini hanya diklaim oleh orang yang mau cari untung saja.”

Karena itu, kata dia, penggusuran rumah di atas tanah warisan orang tuanya itu merupakan bagian dari “perampasan lahan” dan “itu yang tidak kami terima.”

Total sembilan rumah yang digusur pada awal tahun lalu itu. Kesemuanya milik Subuhang, saudara-saudarinya dan kerabat mereka.

Subuhang sedang menujukan lantai bekas rumahnya yang telah di gusur atas putusan Pengadilan Negeri Manggarai Barat pada Januari 2023. (Dokumentasi Floresa)

Jatuh ke Tangan Pengusaha Asal Surabaya

Penggusuran itu terjadi setelah Budiman Utomo, seorang pengusaha asal Surabaya, Jawa Timur yang ikut mengklaim lahan itu menang dalam gugatan di pengadilan.

Ia menang mulai dari gugatan di Pengadilan Negeri Labuan Bajo yang putusannya diumumkan pada 27 Juli 2016, banding di Pengadilan Tinggi Kupang pada 28 April 2017 hingga kasasi di Mahkamah Agung pada 27 April 2018.

Dalam putusan itu, 5.000 meter persegi lahan tersebut jatuh ke tangan Budiman, hingga berujung pada perintah eksekusi putusan pada 19 Januari 2023.  Hanya 400 meter persegi, dengan panjang 100 meter dan lebar empat meter yang kini masih jadi milik keluarga Pati Masang.

Mengutip dokumen putusan yang diakses Floresa pada 14 November, disebutkan bahwa menurut keluarga Pati Masang, tanah 5.400 meter persegi itu adalah hasil pembagian pemangku adat Nggorang.

Sejak pembagian pada 1969/1970 itu, Haking “menguasai tanah tersebut dengan bercocok tanam, namun tidak secara terus menerus” karena pekerjaan pokoknya adalah nelayan.

Pati Masang, istri Haking pun telah mengurus surat keterangan kepemilikan tanah itu dari Kepala Desa Gorontalo. Berdasarkan permohonan itu, terbit Surat Keterangan Kepemilikan Tanah dengan Nomor Surat Pem:100/053/XI/2009 pada 30 November 2009 atas nama Pati Masang.

Namun, persoalan muncul karena pada 20 Juli 2010 Pemerintah Desa Gorontalo juga menerbitkan Surat Kepemilikan Tanah atas nama Budiman Utomo dengan Nomor: Pem: 014.4/683/Vll/2010 untuk objek yang sama.

Budiman, menurut putusan itu, mengklaim telah membeli tanah seluas 5.000 meter itu seharga Rp25 ribu dari seseorang bernama Husen pada 1967 – dua tahun sebelum pembagian tanah oleh Fungsionaris Adat Nggorang. Husen merupakan ayah dari Ahmad Usman, Sultani Husen dan Umar Ilias Husen.

“Sejak terjadinya transaksi jual beli tanah obyek sengketa antara Almarhum Husen pada tahun 1967, maka sejak saat itu tanah obyek sengketa sah menjadi milik penggugat dan langsung dikuasai oleh penggugat secara terus menerus dengan aman, tanpa ada gangguan dari pihak lain termasuk para tergugat,” demikian tertulis dalam dokumen perkara Nomor 23/PDT.G/2015/PN.LBJ.

Karena itu, dalam gugatannya yang diajukan ke Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada 2015 dengan Nomor: 23/PDT.G/2015/PN.LBJ, Budiman menggugat Patiara, Subahan, Suryati, Kamarudin, Samsudin, Yustina Masung, dan Juna. Tiga anak Husen juga menjadi turut tergugat.

Budiman, yang saat gugatan itu diwakili kuasa hukumnya Gabriel Kou berkata, sejak tahun 1972 sampai 2006, Budiman menugaskan Moctar dan Hj. Madina sekeluarga tinggal di tanah obyek sengketa untuk menjaga dan merawatnya.

Namun, katanya, pada 2006 para tergugat “melakukan penyerobotan atas tanah obyek sengketa dengan cara mengusir Moctar/ibu Hj.Madina sekeluarga dari tanah obyek sengketa.”

Para tergugat, kata Budiman, selanjutnya “menguasai dan mendirikan/membangun rumah di atas tanah obyek sengketa”.

Menghadapi gugatan tersebut Umar Ilias Husen, selaku turut tergugat ll membuat jawaban tertulis atau eksepsi tertanggal 2 Maret 2016. Isinya membenarkan semua gugatan Budiman Utomo, bahwa ayahnya yang bernama Husen dan ibunya Hawang telah menjual tanah sengketa kepada Budiman.

Dua turut tergugat lainnya, Ahmad Usman dan Sultani Husen tidak pernah hadir sidang. Namun, pada 25 April 2011, mereka membuat surat pernyataan bahwa benar ayah mereka yang bernama Husen dan ibu Hawang telah menjual tanah sengketa kepada Budiman. Surat pernyataan tersebut ditandatangani oleh Kepala Desa Gorontalo, Aladin Nasar. 

Dua dokumen itu – jawaban tertulis Umar Ilias Husen dan surat pernyataan Ahmad Usman dan Sultani Husen kemudian dijadikan bukti oleh Budiman dalam persidangan.

Pada 15 Februari 2021, Budiman memberi kuasa kepada pengacara Daniel Liando H Sihombing untuk melakukan permohonan eksekusi atas perkara ini.

Permohonan diajukan pada  21 September 2022, hingga Pengadilan Negeri Labuan Bajo membuat penetapan eksekusi pada 9 Desember 2022.

Namun pelaksanaan eksekusi ditunda, sehingga terlaksana pada 19 Januari 2023.

Paskalis Makarius Baut, kuasa hukum Subuhang berkata, dua hari sebelum eksekusi itu, kliennya mendaftarkan gugatan perlawanan eksekusi.

Pengadilan Negeri Labuan Bajo pun menjadwalkan sidang perlawanan eksekusi pada 1 Februari 2023. 

“Meski gugatan perlawanan sudah dijadwalkan, eksekusi tetap dilakukan 19 Januari 2023,” kata Pakalis.

Saat 1 Februari 2023, Subuhang bersama kuasa hukum hadir di persidangan, hakim kemudian memberitahu mereka bahwa sidang tidak bisa dilanjutkan.

Alasannya, kata Paskalis, berdasarkan relaas panggilan sidang, Budiman Utomo telah meninggal dunia. Hal ini membuat Paskalis kemudian mencabut gugatan perlawanan eksekusi.

Sejak lokasi dieksekusi, kata dia, ahli waris dari Budiman Utomo belum pernah muncul di lokasi, “kecuali dua hari setelah eksekusi ada tukang yang memagari lokasi.”

Tukang-tukang itu, kata Paskalis, memagari lokasi atas perintah seseorang berinisial HS.

“Lokasi saat ini masih dijaga Subuhang dan keluarga sampai munculnya ahli waris dari Budiman Utomo,” kata Pakalis.

Sementara Subuhang mengaku heran karena meski memenangkan sengketa di Pengadilan, Budiman tak pernah muncul hingga kemudian dikabarkan meninggal dunia. Ahli warisnya pun tak juga muncul.

“Ini yang masih menjadi tanda tanya besar. Ada permainan apa di sini? Jangan sampai ada mafia yang bermain yang sekedar mau cari untung,” kata Subuhang.

Subuhang bersama Junaidin, adiknya, sedang berdiri di tengah lahan yang telah digusur. Di atas lahan itu terdapat bekas lantai dari sembilan unit rumah yang juga turut digusur. (Dokumentasi Floresa)

Dugaan Kesaksian Palsu, Lapor ke Polisi

Hingga kini, Subuhang mempersoalkan pengakuan para saksi dalam kasus ini, menyebutnya sebagai keterangan palsu.

Mereka merujuk pada keterangan Muhamad Tanje, salah satu saksi yang dihadirkan pihak Budiman Utomo dalam persidangan. Muhammad  menerangkan bahwa Umar Ilias Husen bukan anak kandung dari Husen.

“Demikian pun saksi yang dihadirkan oleh Subuhang menyatakan hal yang sama,” kata Paskalis.

Ia menambahkan, salah satu nama yang digugat dalam perkara tersebut adalah Patiara, sementara nama ibu dari dari Subuhang adalah Pati Masang.

Memang benar ada nama Patiara di Desa Gorontalo, “namun sudah meninggal dan tidak ada kaitanya dengan perkara ini,” kata Paskalis

Ia menjelaskan, pihaknya sudah membantah nama Patiara ini di persidangan dengan menunjukkan KTP asli atas nama Pati Masang, “namun diabaikan oleh hakim.”

Karena sejumlah kejanggalan ini, pada tahun 2017 sampai 2019, delapan kali Subuhang datang ke Polres Manggarai Barat untuk membuat laporan adanya dugaan keterangan palsu. 

Terlapor adalah Umar Ilias Husen, Ahmad Usman, Sultani Husen.

Namun, kata Paskalis, laporan itu “selalu ditolak tanpa alasan yang jelas.”

Pada 25 oktober 2022, laporan Subuhang baru diterima oleh Polres Manggarai Barat dengan Nomor LP/ B/279/X/SPKT/ Polres Manggarai Barat.

Kendati akhirnya diterima, kata dia, tindak lanjut laporan itu berjalan lambat.

Paskalis berkata, penyidik baru mengundang Daniel L Sihombing, sebagai kuasa hukum Budiman Utomo pada 5 Juni 2023 untuk klarifikasi, namun mangkir. 

Lebih dari delapan bulan kemudian, pada 7 Februari 2024, penyidik kembali mengundang Daniel untuk klarifikasi. Ia lagi-lagi mangkir, kata Paskalis.

Pada 30 Oktober 2024, Subuhang mendapat Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan [SP2HP] dari Polres Mabar. Isinya memberitahukan masih akan mengundang Daniel untuk klarifikasi.

Penyidik, kata Paskalis, dalam SP2HP juga menyampaikan “masih mencari surat kematian Budiman Utomo.” 

Karena itu, Subuhang mengajukan permohonan audiensi kepada Kapolres Manggarai Barat, AKBP Christian Kadang, untuk mempertanyakan perkembangan laporan mereka.

Subuhang berkata kepada Floresa pada 12 November, ia dan keluarga besarnya diterima pihak Polres Manggarai Barat, tetapi tidak bertemu secara langsung dengan Kapolres. 

Mereka diterima oleh Niko, Kepala Unit Tindak Pidana Umum dan Yopi, salah satu penyidik.

Namun, informasi yang disampaikan dalam pertemuan itu, kata dia, tak jauh berbeda dengan SP2HP 30 Oktober 2024. Penyidik masih mencari dokumen asli terkait ahli waris Budiman Utomo. 

Eks Pengacara: Ada Peran Sosok Bernama Hugeng

Dihubungi terpisah, Gabriel Kou, kuasa hukum Budiman Utomo dalam proses gugatan di Pengadilan Negeri Labuan Bajo hingga kasasi di Mahkamah Agung pada 2015-2017 berkata, kliennya langsung membeli lahan tersebut dari Husen.

“Dia dulu sering kerja gergaji kayu di Manggarai Barat, di Labuan Bajo,” ujar Gabriel yang dihubungi Floresa pada 15 November.

Ditanya soal bukti pembelian tanah itu, katanya, “ada” yang “didukung oleh keterangan saksi.”

Saat pembelian, katanya, Budiman mengikuti kakaknya, Sony Budiman yang memiliki bengkel kayu di Pede.

Merujuk pada pengakuan Pati Masang sebagaimana tertulis dalam putusan perkara kasus ini, sekitar tahun 1971 hingga 1973, di dekat Pantai Pede memang ada bengkel mesin pemotongan kayu milik seorang warga keturunan Tionghoa bernama Sony Budiman atau yang dipanggil Baba Sonung.

Bengkel kayu itu hanya beroperasi dua tahun, demikian tertulis dalam dokumen putusan itu. Namun, dalam dokumen itu, Pati Masang mengaku tidak pernah melihat Budiman.

Sejak 1974, Baba Sonung “tidak pernah datang ke objek sengketa maupun pada persidangan perkara Nomor:23/PDT.G/2015/PN.LBJ.”

Gabriel beralasan, kliennya itu memang sakit selama proses gugatan itu.

“Dia sudah tua. Jadi, waktu itu kita juga minta surat keterangan sakit dari dokter, dikirim dari sana [Surabaya],” katanya.

Soal ketidakhadirannya saat eksekusi, “saya tidak tahu, karena eksekusi bukan saya [pengacaranya].”

Terkait dugaan kesaksian palsu yang disampaikan Umar Ilias Husen dan dua saudaranya, kata dia, hal tersebut menjadi ranah pihak kepolisian.

“Saya tidak bisa menyatakan dia [memberikan] kesaksian palsu atau tidak. Tetapi karena pengakuan mereka [dalam surat pernyataan] seperti itu ya, kita ikut,” katanya.

Gabriel menjelaskan, Ilias yang mengaku sebagai anak Husen itu dibawa oleh Hugeng, sosok yang ia sebut keponakan Budiman Utomo.

“Hugeng yang bawa, [bilang bahwa] ini anaknya [Husen], keluarganya. Ya, sudah,” kata Gabriel.

Demikian juga soal dua surat keterangan kepemilikan tanah yang diterbitkan oleh Pemerintah Desa Gorontalo, katanya, “kita terima jadi.”

“Yang mengurus semua itu principal [klien],” katanya karena itu “mestinya lebih pas ini tanya ke Hugeng.” 

“Kita tidak ngurus yang begitu-begitu. Kita minta mana bukti-buktinya, dorang yang bawah. Apakah sebelumnya sudah ada surat keterangan kepemilikan untuk Ibu Pati Masang, saya tidak tahu. Ini juga baru saya tahu,” ujar Gabriel.

Soal tergugat yang menyatakan tidak pernah menjual tanah itu ke pihak manapun, Gabriel berkata, dalam persidangan mereka tidak menghadirkan saksi yang menyatakan “bahwa itu tanah tidak pernah dijual.”

“Justru sebaliknya, dari saksi penggugat waktu itu mereka menerangkan bahwa itu sudah dijual,” ujarnya.

“Kita harapkan dulu, mereka bilang ‘tidak menjual’,” tapi “mereka harus bisa buktikan.”

“Karena persidangan perdata ini adalah pembuktian formal. Selama itu [gugatan] tidak dibantah, itu dianggap benar,” ujarnya.

Floresa menanyakan asal usul tanah yang diperoleh Husen, yang kemudian diklaim dijual ke Budiman Utomo, “apakah dari pemangku adat atau dari pembelian?”

“Saya tidak ingat. Tetapi ada di gugatan jalan ceritanya. Ini sudah terlalu lama soalnya,” katanya.

Paskalis Makarius Baut bertakata, polisi seharusnya memeriksa orang-orang yang terkait dugaan laporan keterangan palsu oleh kliennya.

“Mereka harus dimintai keterangan. Benar bahwa kasus ini sudah berkekuatan hukum tetap, tapi bahwa putusan itu muncul berdasarkan keterangan yang patut diduga palsu menjadi penting dalam kasus ini, yang perlu ditelusuri,” katanya.

Gubuk milik Fatimah, adik kandung Subuhang, yang dibangun dari seng bekas rumahnya yang digusur pada Januari 2023. Di gubuk yang berada di pinggir lahan yang sudah digusur itu Fatimah hidup bersama tiga orang anaknya. (Dokumentasi Floresa)

Kini Terlunta-lunta

Setelah penggusuran, Subuhang membangun sebuah gubuk berdinding seng di atas tanah ukuran 400 meter persegi.

Untuk bertahan hidup, ia membuka kios kecil di gubuknya, dengan modal pinjaman dari keluarganya. 

Fatima, adik Subuhang yang rumahnya juga turut digusur pada 19 Januari 2023 itu menceritakan, mereka tak ada persiapan sama sekali.

“Kita huru-hara, barang-barang kita diambil orang,” katanya.

Setelah rumahnya rata tanah, tak lagi tempat yang nyaman bagi keluarga Fatima untuk berteduh.

Ia pernah membangun sebuah tenda di bibir Pantai Pede, di atas lahan milik Pemerintah Provinsi NTT.

“Mau tinggal di mana lagi, terpaksa saya buatkan tenda di sini,” ujar perempuan 42 tahun itu.

Namun, tenda Fatima dibongkar setelah penyidik Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur [NTT] bersama Satuan Polisi Pamong Praja [Satpol PP] Manggarai Barat memasang plang berisi tulisan tanah dan bangunan di pantai itu disita, bersamaan dengan pengusutan kasus dugaan korupsi pemanfaatannya. 

Pemasangan plang disertai dengan pembongkaran semua stan para pedagang.

Fatima sempat membuat lagi tendanya di Pantai Pede.  Namun, sejak awal November 2024, ia memilih membangun tenda di dekat gubuk saudaranya, Subuhang.

“Waktu itu pernah ada orang mabuk, mereka ribut dan berkelahi di luar tenda kami di Pantai Pede. Anak-anak saya sangat trauma dan meminta untuk jangan lagi tidur di tenda tersebut, makanya saya dirikan tenda di lahan tersisa tersebut,” tandas ibu empat anak tersebut. 

Tak hanya kehilangan rumah, penggusuran itu membuat anak kedua Fatima yang duduk di kelas II MTs Negeri II Manggarai Barat enggan ke sekolah, karena seragam sekolahnya lenyap saat penggusuran itu.

“Karena tidak masuk sekolah, dia tidak naik kelas,” ujarnya. 

Setelah dibujuk, katanya, anaknya itu kemudian kembali bersekolah, tetapi dilanjutkan di SMP Negeri 3 Komodo hingga tamat.

Ia hanya mampu menyekolahkan anaknya itu di jenjang SMP. Keluarganya kesulitan keuangan untuk bisa meneruskan pendidikan anak-anak.

“Saya  berusaha agar bisa lanjut sekolah, tetapi terkendala biaya, sudah tidak bisa lanjut lagi, karena sudah star dari nol, masih pikir urus bangun rumah seadanya,” ungkap Fatima.

Di tengah kesulitan ekonomi, ia mendapat bantuan dari seorang ustad untuk membiayai sekolah anaknya yang ketiga yang kini duduk di kelas I MTs Negeri II Manggarai Barat.

“Saya tidak tahu apa yang terjadi kalau tidak ada yang memberi bantuan ini,” tutup Fatima, yang anak bungsunya kini menginjak kelas dua SD.

Doroteus Hartono dan Anjany Podangsa berkolaborasi mengerjakan laporan ini

Editor: Petrus Dabu dan Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA