Ibu-ibu Pedagang di Pantai Pede, Labuan Bajo: Stan Sempat Dibongkar, Bertahan di Tengah Ancaman Pengusiran

Mereka berusaha bertahan hidup dengan berjualan di satu dari sedikit pantai di Labuan Bajo yang masih bisa diakses publik dengan bebas

Baca Juga

Floresa.co Pada suatu sore dua bulan lalu, Fatima tiba-tiba mendapat telepon.

“Stan milik Ibu sudah kami bongkar, tidak boleh jualan lagi di sini. Kosongkan tempat ini, segera ambil barang yang ada di sini. Mulai hari ini, tidak ada lagi aktivitas di sini,” demikian suara penelepon pada Minggu, 10 September itu.

Fatima, 41 tahun, adalah pedagang yang sehari-hari berjualan di Pantai Pede, pantai di sebelah selatan Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.

Pada saat pembongkaran stan itu, “saya tidak ada di tempat,” katanya.

Karena itu, ia kaget “mendapatkan telepon dari nomor yang saya tidak kenal.”

Penelepon tidak mau memberitahu identitasnya saat ditanya Fatima, “Ini siapa dan dari mana?”

“Tidak perlu tahu saya siapa dan darimana,” kata penelepon, lalu menutup percakapan.

Pembongkaran stan itu bertepatan dengan hari di mana penyidik dari Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur [NTT] bersama Satuan Polisi Pamong Praja [Satpol PP] Manggarai Barat memasang plang berisi tulisan tanah dan bangunan ini di pantai itu disita. Pemasangan plang disertai dengan pembongkaran semua stan para pedagang.

Fatima berkata, sebelum kedatangan penyidik dan Satpol PP itu, para pedagang memang didatangi oleh Camat Komodo, Fransiskus Gampur, meminta mereka tidak lagi berjualan di pantai itu.

Ia mengatakan, sempat merespons camat dengan berkata, “Kalau kami dilarang berjualan di sini, kami mau makan apa? Siapa yang mau menafkahi anak saya? Suami saya sudah meninggal.”

Fatima juga mempertanyakan kejelasan batas lahan yang disita oleh Kejaksaan dan bertanya “Apakah pinggir pantai sampai di laut juga disita?”

Namun, menurut Fatima, tidak ada  jawaban yang jelas.

“Jadi, kami menganggap bahwa pantai ini milik masyarakat umum, bukan perseorangan,” katanya merujuk pada lokasi stan mereka yang berada di bibir pantai.

Karena itu, kini Fatima tetap bertahan berjualan di pantai itu, dengan stan yang baru. Ia menjual berbagai jenis minuman dan makanan ringan.

Fatima, bertahan hidup bersama dua anaknya, dengan berjualan di Pantai Pede. (Dokumentasi Floresa)

Awalnya Pantai Publik

Pantai Pede adalah satu dari sedikit pantai publik di Labuan Bajo yang saat ini masih bisa diakses bebas oleh publik, setelah pantai-pantai lainnya dikuasai oleh hotel dan resor.

Lahan seluas 31.670 meter persegi di pantai itu diklaim sebagai milik Pemerintah Provinsi NTT.

Pada 2012, pengelolaan pantai ini diserahkan kepada PT Sarana Investama Manggabar [PT SIM], di tengah protes publik yang menginginkan agar pantai tersebut tetap bisa bebas diakses oleh masyarakat.

Di sisi lain, kepemilikan tanah di Pantai Pede oleh Pemerintah Provinsi NTT juga dinilai tidak sesuai dengan perintah UU No. 8 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat. Pasal 13 UU tersebut memerintahkan Gubernur NTT dan Bupati Manggarai [kabupaten induk] untuk menyerahkan pegawai dan barang milik/kekayaan daerah berupa tanah, bangunan dan lainnya ke Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat pada saat pembentukan kabupaten itu.

Pada 13 September 2016, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pernah menyurati Frans Lebu Raya, Gubernur NTT saat itu untuk menyerahkan Pantai Pede ke Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Namun, hal itu tidak dijalankan.

Sebelum kasus ini diusut Kejati NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, Gubernur NTT memutus kontrak dengan PT SIM pada April 2020.

Pada 18 April 2020 Pemerintah Provinsi NTT melalui Badan Pendapatan dan Aset Daerah secara resmi mengambil alih pengelolaannya, termasuk Hotel Pelago yang dibangun PT SIM, lalu menyerahkannya kepada PT Flobamor, sebuah perusahaan milik provinsi.

Mau Hidup Dari Mana?

Sejak dikelola PT SIM, hingga kemudian ditelantarkan, para pedagang kecil seperti Fatima berjualan di pantai itu, yang masih sering dikunjungi wisatawan lokal. Fatima berjualan di sana sejak 2014. 

Pantauan Floresa pada 8 November, terdapat sekitar 12 stan yang kini berdiri di pantai itu.

Seperti halnya Fatima yang memilih bertahan, Syha Ima, 43 tahun, juga mengambil sikap sama.

Ia berkata kepada Floresa, walaupun dilarang, ia akan tetap berjualan untuk mempertahankan hidup. 

Stan milik Syha Ima di Pantai Pede. (Dokumentasi Floresa)

Dalam salah satu kesempatan saat didatangi Pol PP, ia mengaku menantang mereka dengan berkata, “Silahkan angkut barang-barang jualan saya dan saya menerima konsekuensinya.”

Ima berkata, “tidak ada yang kami ambil dari tempat ini, selain berjualan di sini, ini pinggir pantai.”

Sementara kepada pegawai kecamatan yang pernah mengusir semua pedagang, Ima bertanya, “Kalian siap tidak menghidupi kami kalau kami dilarang mencari nafkah?”  

Pegawai itu, kata dia, merespons, “Kami tidak bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi pada kalian,” yang lalu dijawabnya; “Kami siap diperkarakan karena berjualan di tempat ini.”

Ima mengatakan, meski dilarang selama ini setiap bulan mereka tetap ditagih uang untuk membayar petugas pengangkut sampah.

“Kami punya tempat sampah sendiri, sementara sampah yang berada di pantai itu sampah pengujung,” katanya.

Sering Dimata-matai

Para pedagang bercerita, sejak lahan itu disita Kejaksaan, mereka sering dimata-matai oleh orang-orang yang mereka sebut ‘intel.’

Karena itu, saat ditemui Floresa, dari sejumlah orang yang diwawancarai, hanya Fatima dan Ima yang kemudian bersedia agar pernyataannya dikutip. Yang lain mengaku takut.

Salah seorang pedagang mengatakan, “ini menyangkut nasib kami karena di sini sering didatangi intel.”

“Jadi, pasti mereka tahu siapa saja yang omong kepada media,” katanya.

Fatima mengaku, pernah ditanya oleh seseorang yang ia curigai sebagai intel.

“Ibu menginap di sini?,” katanya meniru pertanyaan orang itu, yang datang pada suatu sore.

Floresa mendatangi Kantor pol PP Manggarai Barat pada 9 November, namun hanya bertemu dengan salah satu anggota Pol PP.

Ia berkata mereka hanya membantu mengamankan dan menertibkan para pedagang di Pantai Pede dan tidak melarang.

Anggota Pol PP itu yang meminta namanya tidak disebut mengklaim tidak mengusir pedagang  “karena belum ada surat perintah penugasan dari penyidik Kejaksan Tinggi NTT.”

Tidak Punya Pilihan Lain

Fatima berkata, ia memilih bertahan di pantai itu karena tidak memiliki lahan tempat tinggal.

Ia mengatakan memiliki lahan warisan suaminya yang berada di seberang jalan berhadapan persis  dengan pintu masuk menuju Pantai Pede.

Namun, kata dia, status kepemilikan tanah itu kemudian digugat oleh pihak lain, kendati ia memegang “surat kepemilikannya dan ada petah sejarahnya.”

“Namun, itu dianggap dokumen palsu oleh orang yang merampas tanah kami itu,” katanya.

Fatima sudah melaporkan kasus ini pada tahun 2017 bersama keluarganya, namun tidak kunjung diproses.

Ia mengaku mengecek tindak lanjutnya dengan sering mendatangi Polres Manggarai Barat dan Pengadilan Negeri Manggarai Barat, namun “tidak  mendapatkan jawaban apapun.” 

Kini, bersama dua anak laki-lakinya, masing-masing berusia empat dan tujuh tahun, Fatima menetap di stannya. Ada sebuah tenda tidak beratap di dekat stan itu yang terbuat dari bambu, tempat mereka tidur.

“Setiap malam saya tidur tanpa lampu, hanya mengharapkan senter,” katanya.

Tenda tidak beratap tempat Fatima dan dua anaknya tidur setiap malam. (Dokumentasi Floresa)

Fatima mengatakan dengan berjualan setiap hari di pantai itu, ia bisa mencukupi kebutuhan anak-anaknya.

“Lumayan bisa dapat Rp. 100.000-Rp.150.000 setiap hari.”

Ia berharap ada kebijakan pemerintah yang memikirkan nasib mereka, pedagang kecil yang berusaha bertahan hidup di tengah laju perkembangan kota pariwisata Labuan Bajo.

“Lindungi kami ini, buka mata untuk kami rakyat kecil. Berilah kami ruang yang aman untuk tetap hidup dengan layak,” katanya.

Ia berharap tetap bisa berjualan dan bersedia mengikuti ketentuan yang mesti mereka patuhi.

“Biar kami tidak berada di bawah ancaman. Kami juga mau cari nafkah di atas tanah kami sendiri,” katanya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini