Warga Gede-Pangrango di Jawa Barat Tolak Proyek Geotermal, Dikerjakan Perusahaan yang Berafiliasi dengan Pengelola Proyek di Flores

Tak sebatas menikmati pemandangan alam, pendaki diminta lebih peka pada isu sosial di sepanjang jalur pendakian taman nasional di Jawa Barat itu

Floresa.co – Lebih dari seratus warga di lereng Gunung Gede-Pangrango, Jawa Barat mendatangi Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) pada 17 Juli.

Mereka merespons undangan balai besar itu lewat surat sehari sebelumnya untuk menindaklanjuti pengerjaan proyek geotermal.

Dalam surat bertarikh 16 Juli tersebut yang diteken Kepala Balai Besar TNGGP Arief Mahmud, dijelaskan bahwa mereka diundang untuk “Pemutakhiran Data Penggarap dan Orientasi Batas Area Kerja Eksplorasi Proyek Strategis Nasional (PSN) Pemanfaatan Panas Bumi di TNGGP Seluas 5,46 Hektare.” 

Sebagian besar warga di lereng Gunung Gede-Pangrango bermatapencaharian sebagai penggarap. Lebih dari seperempat abad silam, lahan garapan mereka masuk dalam kawasan Perhutani, BUMN di bidang kehutanan. Di lahan itu mereka menanam pelbagai sayur.

Langkah pemerintah pada 2003 memperluas kawasan taman nasional dari 15.196 hektare menjadi 22.851 hektare membuat lahan garapan mereka kemudian berada di bawah Balai Besar TNGGP. 

Tak hanya penggarap yang datang ke kantor Balai Besar TNGGP di Cibodas, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur merespon undangan itu. 

Warga lain yang tinggal di lereng Gede-Pangrango yang khawatir dengan dampak proyek juga ikut serta.

“Saya bukan penggarap lahan,” kata Soenarjo Sugiarto, salah satu warga. “Saya datang ke sini dan menolak geotermal karena mengancam ruang hidup saya.”  

Aryo–sapaannya-berkata, “geotermal hanya akan merusak warisan leluhur, ekosistem hutan dan bentang air serta meracuni udara.”

Menengok ke arah pagar kantor Balai Besar TNGGP yang tertutup sembari dijaga aparat gabungan, ia bertanya: “Yang di dalam situ, adakah yang bisa menyangkal bahwa geotermal meracuni udara?”

“Silakan disangkal,” katanya mengakhiri orasi dalam unjuk rasa yang berlangsung hingga pukul 17.00 WIB. 

Kantor Balai Besar Taman Nasional Gede-Pangrango dijaga aparat pada 17 Juli 2025. Hari itu lebih dari 100 warga lereng Gede-Pangrango berunjuk rasa di depan kantor tersebut. Warga menyatakan menolak proyek geotermal di ruang hidup mereka. (Dokumentasi Anastasia Ika)

Arief Mahmud tak terlihat hingga massa membubarkan diri. Ia menjabat kepala balai besar itu sejak 5 Mei setelah sebelumnya berposisi sebagai Kepala Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam NTT. 

Merespons permintaan wawancara tatap muka dari Floresa pada 18 Juli pagi, tak sampai sehari pascademonstrasi, ia berkata, “mungkin sementara cooling down dulu.”

Sekitar 20 menit kemudian, Arif menyatakan kesediaan untuk wawancara.

Menurutnya, PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) yang mengerjakan proyek itu “sudah melakukan semua prosedur dengan benar.”

DMGP telah mulai melakukan eksplorasi pada paruh kedua 2022. Eksplorasi disertai upaya pematokan dan pembebasan lahan–baik untuk akses jalan maupun pengeboran.

Karena itu, kata Arif, verifikasi lahan “harus dilakukan.”

Dalam pernyataan tertulis kepada Floresa pada 10 Mei, DMGP tak secara gamblang menjabarkan luas lahan yang telah dilepaskan berikut lokasi kampungnya, berdalih “saat ini proses masih berlangsung.”

Perusahaan itu juga mengklaim “telah melakukan sosialisasi, menyampaikan informasi proyek secara terbuka dan transparan, sekaligus mendengarkan serta menampung masukan dari masyarakat.”

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sumber daya geotermal di kawasan itu sebesar 85 MW, dengan rencana pengembangan proyek sebesar 55 MW. 

Pembangkit listrik ditargetkan beroperasi komersial pada tahun 2030. Dengan asumsi satu rumah terpasang listrik 900 watt, diperkirakan dapat menjadi sumber listrik bagi kurang lebih 61 ribu kepala keluarga.

Tanah subur Gede-Pangrango merupakan sumber penghidupan bagi para perempuan yang tinggal di kampung-kampung sekitar. (Dokumentasi Anastasia Ika)

DMGP yang mengerjakan proyek ini adalah lini usaha dari PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSS), yang bernaung di bawah Grup Sinarmas.

Lini usaha lain dari DSS adalah PT Daya Anugerah Sejati Utama yang mengerjakan proyek di  Nage, sekitar 20 kilometer sebelah selatan Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada.

WKP Nage memiliki kapasitas pengembangan 40 MW dari cadangan terduga sebesar 46 megawatt ekuivalen [MWe].

WKP Nage terletak di kawasan hutan yang memiliki luas 10.410 hektare. Lahan itu terdiri atas 2.083,85 hektare hutan produksi, 825,78 hektare hutan produksi dapat dikonversi dan 7.500,37 hektare Area Penggunaan Lain.

Selain Gunung Gede-Pangrango dan Nage, DMGP juga mengeksplorasi geotermal di Cisolok, Jawa Barat.

Dalam laman keterbukaan informasi, DSS menyatakan tiga proyek dari kedua lini usaha tersebut “diproyeksi mulai beroperasi secara komersial” atau Commercial Operation Date (COD) pada 2029 dengan total potensi energi mencapai 140 MW.

Pendekatan Represif

Langkah pemerintah dan perusahaan meloloskan proyek ini mendapat sorotan dari lembaga advokasi, termasuk terkait pola pendekatan yang dinilai represif.

Salah satunya perihal surat undangan pada 16 Juli yang tembusannya dikirimkan ke Polda Jawa Barat, Brimob Yon B Cipanas, Korem 061 hingga Batalyon Armed 5-105.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung berpendapat tembusan surat itu “merupakan ancaman serius bagi warga karena telah dengan sengaja menarik TNI dan Polri.”

“Pendekatan represif yang melibatkan unsur aparat yang memiliki akses pada senjata merupakan bentuk intimidasi yang melanggar prinsip-prinsip HAM,” tulis LBH Bandung dalam pernyataan resmi.

Kepada Floresa, Arief beralasan, ia menembuskan surat undangan ke aparat gabungan “sebagai bentuk fungsi koordinasi pemerintah.”

Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Arief Mahmud. Arief sebelumnya menjabat kepala Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam NTT. (Dokumentasi Anastasia Ika)

Cece Jaelani, seorang warga yang ikut dalam gerakan penolakan terhadap proyek ini berkata, “kami hanya ingin menyuarakan hak kami.”

“Mengapa harus turunkan aparat?” katanya, menilai  “negara sedang mengorbankan rakyat demi kepentingan investasi.”

Selain itu, LBH Bandung mengingatkan hak atas tanah, hak untuk didengar serta hak atas rasa aman merupakan hak-hak universal yang dilindungi dalam International Covenant on Civil and Political Rights.

Salah satu instrumen penegakan HAM itu telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.

LBH Bandung juga menilai pengambilalihan paksa ruang hidup atas nama PSN melanggar Pasal 28H dan 28I UUD 1945. 

Keduanya menjamin hak atas lingkungan yang baik dan sehat serta perlindungan terhadap hak-hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights).

Cece Jaelani sedang bekerja di lahan garapan. (Dokumentasi Anastasia Ika)

Berulang Kali Dipanggil Polisi

Upaya warga Gede-Pangrango melakukan penolakan  membuat mereka harus berhadapan dengan pemanggilan oleh aparat keamanan.

Cece Jaelani telah tiga kali dipanggil Polsek Pacet, Kabupaten Cianjur sejak tahun silam.

Pemanggilan pertama terjadi pada 1 September 2024 dan kedua pada 4 September 2024.

Isinya sama yaitu untuk memberikan keterangan atas dugaan tindak pidana penghasutan melakukan tindak pidana seperti yang termaktub dalam Pasal 160 KUHP.

Dalam pemanggilan pertama, dugaan penghasutan disebut terjadi pada 2 Agustus 2024 di halaman kantor Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Cianjur. 

Kala itu, ia terlibat dalam aksi pembubaran pertemuan 50 warga yang diinisiasi pihak pemerintahan desa dengan menghadirkan sejumlah Ketua RW dan RT. Pejabat desa disinyalir sedang membahas proyek geotermal tanpa mengajak warga lainnya.

Selepas pemanggilan tersebut, Cece didampingi sejumlah organisasi pendukung warga.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan LBH Bandung lalu mengadukan kasus tersebut ke Komnas HAM.

Cece menerima pemanggilan ketiga pada Februari. Soenarjo Sugiarto juga ikut dipanggil. 

Selain dinilai melanggar Pasal 160 KUHP, polisi menambahkan dugaan pelanggaran Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pasal tersebut mengatur tentang larangan menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Cece dan Aryo belum merespons pemanggilan tersebut ketika Komnas HAM menerbitkan surat rekomendasi yang bertarikh 7 Mei. 

Dalam surat tersebut, Komnas HAM merekomendasikan penghentian penyelidikan terhadap Cece yang “mengalami dugaan kriminalisasi.”

Komnas HAM juga mendesak polisi “menjamin tidak terjadi keberulangan upaya pemidanaan terhadap warga yang mengajukan keberatan atau penolakan terhadap proyek geotermal Gunung Gede-Pangrango.”

Andi Daffa Patiroi dari LBH Bandung menyatakan pemanggilan terhadap Cece masih berstatus penyelidikan.

Meski begitu, “tidak ada tindakan apapun dari kepolisian semenjak Komnas HAM menerbitkan surat rekomendasi.”

“Kasusnya menggantung hingga hari ini,” katanya.

Menjadi Lebih Peka

Cece memiliki dua sarang lebah di teras rumahnya. Ia menjual madunya kepada para tetangga. Berbotol-botol madu tak lupa ia bawa ketika bepergian ke luar daerah, yang lalu ia tawarkan ke orang-orang yang ditemui. 

Beternak lebah dan menjual madu merupakan caranya “memulihkan diri di tengah-tengah perjuangan yang panjang.”

Dadang, warga pemilik sebuah base camp di dekat pintu hutan Gede-Pangrango, turut mendengarkan ceritanya sebelum seorang tetangga memanggilnya.

“Sepuluh pendaki yang kemarin sewa tempatmu sudah datang,” kata tetangga itu.

Ilustrasi pendaki yang melekat pada sisi pintu utama Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango di Cibodas, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur. (Dokumentasi Anastasia Ika)

Semenjak tiga tahun silam, kepada para pendaki gunung itu, Dadang–juga pengelola base camp lainnya–tak lupa bercerita soal proyek geotermal yang masuk ke kampung mereka.

“Kami berharap pendaki tak hanya mengetahui, tetapi juga peduli pada masalah warga di tempat-tempat yang mereka jelajahi,” kata Dadang. 

“Mendaki itu soalnya tak sebatas menikmati pemandangan alam. Banyak masalah di sepanjang jalur pendakian, bila mereka mau membuka mata,” katanya.

Ia lalu berpamitan pada Cece yang masih mengamati sarang lebahnya.

“Lebah-lebah ini kawanan yang peka,” katanya, “bahkan bila ada seekor yang mati, akan mereka angkat sama-sama dari sarang.”

Solidaritas Sesama Warga

Cece juga merasa tidak sendirian dalam perjuangan usai dipertemukan dengan warga antarlingkar geotermal di pelbagai wilayah Indonesia. Salah satunya dengan warga di Flores.

Cece pernah tinggal beberapa hari di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, yang menjadi lokasi proyek pengembangan PLTP Ulumbu.

Setelahnya, mereka terbiasa berdiskusi dan berbagai pengalaman tentang perlawanan.

Servasius Masyudi Onggal, pemuda Poco Leok, mengaku ikut memantau situasi Cece dan rekan-rekannya di Gede-Pangarango saat peristiwa pada 17 Juli.

“Kami, masyarakat adat Poco Leok menyatakan solidaritas bagi saudara-saudara kami di Gunung Gede-Pangrango yang sedang memperjuangkan ruang hidup,” kata Yudi selepas demonstrasi itu.

“Persoalan saudara-saudara kami di Gunung Gede-Pangrango ialah persoalan kami juga. Kami menyatakan satu rasa dalam perjuangan melawan geotermal, di manapun di seluruh negeri ini,” katanya.

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA